BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak pasien yang mangalami kematian akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan kurang cepat serta cermat adalah salah satu penyebab kematian.
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi laki-laki dan perempuan di USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita infark miokard setiap tahunnya dan lebih dari 600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat mereka salah untuk pengambilan keputusan penangan utama. Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk ditangani. Hal ini yang sering menyebabkan kematian.
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 BagaimanaWeb of Cause dari STEMI.
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system pernafasan dengan penyakit asma, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Gambar 2.3.1: Sindrom Koroner akut (Dikutip dari Antman)
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
Gambar 2.3.2 Pembentukan Trombus
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
- Nyeri Dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
- Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
- Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
- Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
- Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
- Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
- Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
- CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
- cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
- Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
- Tatalaksana Awal
- Tatalaksana Pra Rumah Sakit
- Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
- Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
- Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
- Melakukan terapi perfusi.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
- JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
- Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
- Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.
- Tatalaksana di Ruang Emergensi
- Tatalaksana Umum
- Oksigen
- Nitrogliserin (NTG)
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
- Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
- Morfin
- Aspirin
- Penyekat Beta
- Terapi Reperfusi
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
- i. SELEKSI STRATEGI REPERFUSI
- Waktu onset gejala
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadapa laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.
- Risiko STEMI
- Risiko Perdarahan
- Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI:
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
- Waktu sejak onset gejala
- Risiko STEMI
- Risiko fibrinolisis
- Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu
Fibinolisis umumnya lebih disukai jika:
- Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasive.
- Strategi invasive bukan merupakan pilihan.
- Laboratorium kateterisasi belum tersedia
- Kesulitan akses vascular.
- Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
- Terlambat untuk strategi invasive:
- (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jm
- Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90 menit.
Strategi invasive umumnya lebih disukai jika:
- Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical contact to balloon atau door to ballon time <90 menit. (Door to ballon)-(Door to needle) time <1 jam.
- Risiko tinggi STEMI
- Klas Killip lebih atau sama dengan 3
- Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan perdarahan intracranial.
- Presentasi terlambat. Onset gejala > 3 jam yang lalu.
- Diagnosis STEMI tidak yakin.
- ii. PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)
- iii. REPERFUSI FARMAKOLOGIS
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
- Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.
- Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
- Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
- Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
- iv. OBAT FIBRINOLITIK
- Streptokinase (SK)
- Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)
- Reteplase (Retevase)
- Tenekteplase (TNKase)
Indikasi Terapi Fibrinolitik:
- Klas I
- Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.
- Jika tidak ada kontaindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
- Klas II a
- Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten dengan infark miokard posterior.
- Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemik yang terus berlanjaut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas.
- Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG dating dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah percutaneous coronary intervention (PCI).
- ICCU
- Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
- Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat kalium, magnesium dan rendah natrium.
- Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di amping tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari).
- Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
- i. TERAPI FARMAKOLOGIS
- Antitrombotik
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan.
- Penyekat Beta
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
- Inhibitor ACE
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif. Penelitian klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
2.7 Algoritma STEMI
Klien merasakan nyeri dada akibat iskemia
|
Lakukan penanganan :
- mulai untuk memeriksa fibrilasi
|
Lakukan pemeriksaan ED (<10menit)
|
Lakukan perawatan ED :
|
2.8 Komplikasi STEMI
- Disfungsi Ventrikular
- Gangguan Hemodinamik
c. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Penatalaksanaan: operasi.
2.8 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
- ASPIRIN®
- clopidrogel
- statin (cholesterol lowering) drugs
- beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot jantung)
- ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot) |
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%) |
Usia 65-74 tahun (2 poin) |
0 (0,8) |
Usia > 75 tahun (3 poin) |
1 (1,6) |
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) |
2 (2,2) |
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin) |
3 (4,4) |
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin) |
4 (7,3) |
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) |
5 (12,4) |
Berat < 67 kg (1 poin) |
6 (16,1) |
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) |
7 (23,4) |
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin) |
8 (26,8) |
Skor risiko = total poin ( 0-14 ) |
>8 (35,9) |
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
- Data Demografi/ identitas
- Nama : Tn. H
- Umur : 53 Tahun
- Alamat: Perak 73 Surabaya
- Keluhan Utama
- Riwayat Penyakit Sekarang
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST elevasi : V1 – V5 , ST depresed : II, III, AVF, V6
- Riwayat Penyakit Keluarga
- Keadaan Umum
- Suhu : 36,5ºC
- Nadi : 88x/menit
- Tekanan Darah: 120/80 mmHg
- RR : 30x/menit
- Breathing
Gejala : napas pendek
- Pemeriksaan fisik :
- Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
- Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi
- Bowel
- Bladder
Normal - Bone
Gejala: kelelahan, kelemahan.
- Terapi
3.2 Analisa Data
Data |
Etiologi |
Masalah Keperawatan |
DS: Klien mengeluh nyeri pada bagian anterior, diperberat oleh inspirasi, gerakan menelan. DO: Gelisah, pucat |
Vaskularisasi terganggu i Aliran darah ke arteri koronari terganggu i Iskemia i As Laktat i Nyeri akut |
Nyeri akut |
DS: Disritmia DO: riwayat penyakit jantung konginetal |
Kontraktilitas jantung menurun i Gagal jantung i Penurunan CO |
Penurunan Cardiac Output |
DS: Pasien mengeluh lemah karena hipoksia DO: Pasien terlihat lemah dan pucat karena O2 jaringan menurun. |
Rupture dalam pembuluh darah i Obstruksi pembuluh darah i Aliran darah ke jaringan terganggu i Perubahan perfusi jaringan |
Perubahan perfusi jaringan |
DS: Klien mengeluh sesak, nafas pendek. DO: dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal. |
Perubahan perfusi jaringan O2 dalam darah menurun i Kongesti pulmonalis i Sesak nafas i Ketidakefektifan pola nafas |
Pola nafas tidak efektif |
DS: Pasien mengeluh lemah DO:Pasien terlihat lemah karena hipoksia |
Perubahan perfusi jarigan i O2 dalam darah menurun i Hipoksia i Kelemahan i Intoleransi aktivitas |
Intoleransi aktivitas |
3.3Diagnosa dan Intervensi
- Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Intervensi :
Intervensi |
Rasional |
Kolaboratif Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
|
|
Mandiri
|
|
2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi |
Rasional |
Mandiri
|
|
Kolaboratif
|
|
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi |
Rasional |
Mandiri
|
1. Indicator yang menunjukkan embolisasi sistemik pada otak. 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan / atau organ vital lain, dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit katup, dan/ atau disritmia kronis 3. Dapat mencegah pembentukan atau migrasi emboli pada pasien endokarditis. Tirah baring lama, membawa resikonya sendiri tentang terjadinya fenomena tromboembolic. 4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran balik vena karenanya menurunkan resiko pembentukan thrombus. |
Kolaborasi Berikan antikoagulan, contoh heparin, warfarin (coumadin) |
Heparin dapat digunakan secara profilaksis bila pasien memerlukan
tirah baring lama, mengalami sepsis atau GJK, dan/atau sebelum/sesudah
bedah penggantian katup. Catatan : Heparin kontraindikasi pada perikarditis dan tamponade jantung. Coumadin adalah obat pilihan untuk terapi setelah penggantian katup jangka panjang, atau adanya thrombus perifer. |
4.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari hipoksia.
Intervensi:
Intervensi |
Rasional |
Mandiri:
|
|
Kolaborasi: Berikan tambahan oksigen dengan kanul atau masker, sesuai indikasi |
Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya gangguan ventilasi |
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang pembatasan terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:
Intervensi |
Rasional |
Mandiri
|
|
Kolaborasi Berikan oksigen suplemen |
Peningkatan ketersediaan oksigen mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktivitas. |
- Kurang pengetahuan kondisi penyakit
Intervensi
Intervensi |
Rasional |
Mandiri
|
|
3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
- Nyeri hilang atau terkontrol
- Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
- Suplai oksigen adekuat.
- Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
- Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar