selamat datang

Kampus ku

Pesan Kami

DATA

Postingan
Komentar

Total Tayangan Halaman

Like Facebook


Senin, 04 Maret 2013

Fans Page ALUMNI STIKES LAMONGAN


Askep dan Laporan Pendahuluan Pasien dengan Vertigo

Diagnosa Medik
VERTIGO
II.PengertianVertigo
Vertigo adalah gejala klasik yang dialami ketika terjadi disfungsi yang cukup cepat dan asimetris system vestibuler perifer (telinga dalam) (Smeltzer & Bare, 2002).
Vertigo adalah sensasi berputar atau berpusing yang merupakan suatu gejala, penderita merasakan benda-benda di sekitarnya bergerak-gerak memutar atau bergerak naik-turun karena gangguan pada sistem keseimbangan (Arsyad soepardi efiaty dan Nurbaiti, 2002).
Askep Vertigo 300x225 Askep dan Laporan Pendahuluan Pasien dengan Vertigo
III.Etiologi Vertigo
Vertigo merupakan suatu gejala, penyebabnya antara lain akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak, dll. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.
Penyebab umum dari vertigo:
- Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
- Obat-obatan : alkohol.
- Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo (jenis vertio yang menyerang dalam waktu yang singkat tetapi bisa cukup berat yang terjadi secara berulang-ulang. Vertigo ini muncul setelah terserang infeksi virus atau adanya peradangan dan kerusakan di daerah telinga tengah. Saat menggerakkan kepala/ menoleh secara tiba-tiba maka gejalanya akan muncul), infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere, peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
- Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.
- Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada arteri vertebral dan arteri basiler.
IV.Patofisiologi Vertigo
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik. Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.
V.MANIFESTASI KLINIS
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.
VI.Pemeriksaaan Fisik pad Pasien Vertigo
1.Pemeriksaan mata
2.Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh. Test pendegaran bisa menetukan adanya kelainan telinga yang mempengaruhi keseimbangan dan pendengaran. Untuk menguji keseimbangan pasien diminta untuk berdiri dan kemudian berjalan dalam satu garis lurus, awalnya dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.
3.Pemeriksaan neurologik
4.Pemeriksaan otologik
5.Pemeriksaan fisik umum
VII.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan  CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan saraf. Jika diduga infeksi maka bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang. Sedangkan kalau di duga terjadi penurunan aliran darah ke otak, maka di lakukan pemeriksaan angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak
VIII.Penatalaksanaan
Langkah-langkah untuk meringankan atau mencegah gejala vertigo:
- Tarik napas dalam-dalam dan pejamkan mata
- Tidur dengan posisi kepala yang agak tinggi
- Buka mata pelan-pelan, miringkan badan atau kepala ke kiri dan ke kanan
- Bangun secara perlahan dan duduk dulu sebelum beranjak dari tempat tidur
- Hindari  posisi membungkuk bila mengangkat barang
- Gerakkan kepala secara hati-hati
IX.Diagnosa Keperawatan Vertigo
1.Gangguan rasa nyaman nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospressor, peningkatan intrakranial.
2.Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan meningkatnya haluran cairan, perubahan pemasukan, dan obat-obatan
3.Risiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan mobilitas karena gangguan cara berjalan
4.Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.
5.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.
DAFTAR PUSTAKA
- Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC.
- Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patifisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.Vol.2. Jakarta: EGC.
- Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem, Ed: 2. Jakarta: EGC
- Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner & Suddarth, vol:3. Jakarta: EGC

Askep pada Anak dengan Impetigo


Pengertian Impetigo

Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit (Djuanda, 56:2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007).

Sinonim

Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar monyet (Djuanda, 56-57:2005).

Etiologi Impetigo

Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007).
Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 µm, berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005).
Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes) diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik, disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin (Brooks, 332:2005).

 Epidemiologi Impetigo

Impetigo terjadi di seluruh Negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa (Cole, 1:2007).
Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak atau juga pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole, 1:2007).
Askep Impetigo pada Anak 300x225 Askep pada Anak dengan Impetigo

Faktor Predisposisi

o    Kontak langsung dengan pasien impetigo
o    Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo
o    Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab
o    Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat
o    Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik
(Sumber Beheshta, 2:2007).

 Manifestasi Klinik

1). Impetigo Krustosa

Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005).
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus.
Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005).

2). Impetigo Bulosa

Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).

Pemeriksaan Penunjang

Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus (Brooks, 332:2005).

Diagnosis Banding

1.   Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.
2.  Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput lender atau daerah lipatan.
3.  Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang mengiritasi.
4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.
5.   Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).
6.  Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
7.    Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
8.   Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal pada malam hari.
9.    Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki, dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama (Cole, 3:2007).

 Komplikasi Impetigo

Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).

Penatalaksanaan

1.Terapi nonmedikamentosa

  •  Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah
  • Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
  •  Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh
  •  Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran local
  •  Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa
  •   Lakukan pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah

2.Terapi Medikamentosa

a.   Terapi topikal
Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005).
1). Antiseptik
Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003).
Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus (Suswati, 6:2003).
2). Antibiotik Topikal
Ø  Mupirocin
Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb, 1-3).
Untuk penggunaan mupirocin topikal dapat dilihat pada tabel berikut:
Ø  Fusidic Acid
Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.
Ø  Ratapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari bakteri (Buck, 1:2007).
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo (Buck, 1:2007).
Ø  Dicloxacillin
Penggunaan dicloxacillin merupaka First line untuk pengobatan impetigo, namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila dibandingkan dengan dicloxacillin. Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical pada impetigo sebagai berikut:
(Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007)
b.Terapi sistemik
1).  Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)
a.Penicillin G procaine injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari
Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari
b.Ampicillin
Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac
c.Amoksicillin
Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin)
Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac
Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac
e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac
Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac
2).  Eritromisin (bila alergi penisilin)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc
Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc
3).  Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)
Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari
Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
4).  Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya
Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah, sebagai berikut:
XI.PENCEGAHAN
Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya :
1.      Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka.
2.      Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita
3.      Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien
4.      Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
5.      Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih
6.      Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
7.      Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
8.      Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.
9.      (Sumber: Northern Kentucky Health Department, 1:2005).
XII.PROGNOSIS
Pada umumnya baik.
LAPORAN KASUS
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
I.IDENTITAS PENDERITA
Nama                           : -
Jenis Kelamin              : -
Umur                           : -
Suku                            : -
Agama                         : -
Pekerjaan                     : -
Alamat                                    : -
II.Keluhan Utama
Luka garukan di regio lumbal posterior dekstra
Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut Mbah pasien mulai 10 hari yang lalu pasien mengeluhkan gatal pada regio lumbal posterior dekstra, tanpa adanya keluhan gatal di daerah lain.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Pengobatan
Pernah berobat ke dokter umum, lalu diberi salep dan tablet, namun keluhan tidak berkurang.
Riwayat Alergi
Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran: komposmentis
Keadaan Umum: baik
Kepala/Leher: dalam batas normal
Thorak
Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal
Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal
Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal
Ekstremitas: dalam batas normal
Genitalia: dalam batas normal
Status Lokalis
Lokasi : regio lumbal dekstra bagian posterior
Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.
IV.RESUME
Seorang anak laki-laki 16 bulan, dating dengan keluhan utama adanya luka garukan di regio lumbal dekstra bagian posterior.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region lumbal dekstra bagian posterior, didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.
V.DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak
Varicella
Karbunkel
Furunkel
VI.DIAGNOSIS KERJA
Impetigo Bulosa
VII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat melakukan pemeriksaan isi vesikel dengan pengecatan gram, lalu bias dilakukan uji katalase.
VIII.PENATALAKSANAAN
1.    Nonmedikamentosa
Menjaga kebersihan, yaitu dengan :
-. Mandi teratur dengan sabun mandi
-. Pakaian, handuk, sprei, sering diganti dan dicuci air panas
-. Pakaian, handuk, sebaiknya hanya digunakan oleh satu orang (tidak untuk digunakan beramai-ramai)
-. Kontrol setelah 5-7 hari
2.    Medikamentosa
Sistemik : Eritromisin sirup 250 mg, 3 DD I ct
Topikal : Asam Fusidat
IX.PROGONOSIS
Pada umumnya baik, pada pasien ini 5-7 hari kemudian tidak kontrol mungkin saja sudah tejadi perbaikan sehingga menurut keluarga pasien tidak perlu kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Beheshti, 2007, Impetigo, a brief review, Fasa-Iran: Fasa Medical School.
Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA: University of Virginia Children’s Hospital.
Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo, Virginia:University of Virginia School of Medicine.
Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for Impetigo, Ohio: University School of Medicine.
NN, 2007, Primary Clinical Care Manual 2007,
Northern Kentucky Health Department, 2005, Impetigo, Kentucky: Epidemiology Services, Northern Kentucky Health Department.
Provider synergies, 2007, Impetigo Agents, Topical Review, Ohio: Intellectual Property Department Provider Synergies LLC.
Suswati. E, 2003, Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Yayasan Peduli Orang Tua, 2007, Impetigo, Jakarta Selatan: Yayasan Peduli Orang Tua.

ASKEP Emfisema Paru

Pengertian Emfisema Paru

Emfisema paru merupakan bentuk paling berat dari PPOM dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar menyebabkan banyak blab atau bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).
Emfisema paru juga dapat didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.

Klasifikasi Emfisema Paru

Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru.
a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.
b. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.

Etiologi Emfisema Paru

1.Merokok adalah penyebab utama
2.Faktor predisposisi. Genetik terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin alfa-1, yang merupakan suatu enzim inhibitor. Secara genetik sensitif terhadap faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen).

Manifestasi Klinik

1.Dispnea
2.Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
3.Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
4.Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
5.Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
6.Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7.Distensi vena leher selama ekspirasi
Emfisema Paru Askep pada Pasien Emfisema Paru

Diagnosis

a.Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b.Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
c.TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
d.Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
e.Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
f.FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma
g.GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
i.JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
j.Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer
k.Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
l.EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
m.EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi, obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik mencakup:
a.Tindakan pengobatan dimaksudkan untuk memperbaiki ventilasi dan menurunkan upaya bernapas
b.Pencegahan dan pengobatan cepat terhadap infeksi
c.Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonari
d.Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
e.Dukungan psikologis
f.Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang berkesinambungan
g.Bronkodilator
Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu mengurangi obstruksi jalan nafas serta memperbaiki pertukaran gas.Medikasi ini mencakup antagonis β-adrenergik (metoproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia jantung, dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.
  • Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel mrnjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebulizer menghilangkan edema mukosa dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini mempermudah proses pembersihan bronkhiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi.
  • Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan dengan infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen, batuk meningkat dan demam. Organisme yang paling sering adalah S. pneumonia, H. influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin atau trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.
  •  Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam perhari sampai 24 jam perhari

Asuhan Keperawatan

PENGKAJIAN

a. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
- Keletihan, kelelahan, malaise
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas
- Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
Tanda:
- Keletihan, gelisah, insomnia
- Kelemahan umum/kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala:
- pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda:
- Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher
- Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
- Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada)
- Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis
- Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Makanan/Cairan
Gejala:
- Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
- Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronkitis)
Tanda:
- Turgor kulit buruk, edema dependen
- Berkeringat, penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)
- Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)
d. Hygiene
Gejala:
- Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda:
- Kebersihan, buruk, bau badan
e. Pernafasan
Gejala:
- Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
- “Lapar udara” kronis
- Bentuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih dan kuning) dapat banyak sekali (bronkitis kronis)
- Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat terjadi produktif (emfisema)
- Riwayat pneumonia berulang: terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang (mis., rokok sigaret) atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu bara, serbuk gergaji)
- Faktor keluarga dan keturunan, mis., defisiensi alfa-anti tripsin (emfisema)
- Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda:
- Pernafasan: biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu pernapasan
- Dada: hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal
- Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau krekels, ronki, mengi sepanjang area paru.
- Perkusi: hiperesonan pada area paru
- Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.
f. Keamanan
Gejala:
- Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan
- Adanya/berulangnya infeksi
- Kemerahan/berkeringat (asma)
g. Seksualitas
Gejala:
- Penurunan libido
h. Interaksi sosial
Gejala:
- Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, ketidak mampuan membaik/penyakit lama
Tanda:
- Ketidakmampuan untuk/membuat mempertahankan suara pernafasan
- Keterbatasan mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu
i. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala:
- Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok, penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik.

Prioritas Perawatan

1. Mempertahankan patensi jalan napas
2. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3. Meningkatkan masukan nutrisi
4. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan

Diagnosa Keperawatan

1. Jalan nafas inefektif b/d bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental d/d pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman/kecepatan bernapas, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi nafas tidak normal, mis., ronki, mengi, krekels; batuk (menetap) dengan/tanpa produksi sputum
Kriteria Hasil:
- Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih dan jelas.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, mis., batuk efektif dan mengeluarkan sekret
Intervensi Rasional
Mandiri:
• Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas tambahan, mis., mengi, krekels, ronki
• Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
• Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu napas
• Tempatkan/atur posisi pasien senyaman mungkin, mis., peninggian kepala tempat tidur 15-30°, duduk pada sandaran tempat tidur.
• Pertahankan udara lingkungan/minimalkan polusi lingkungan, mis., debu, asap, dll.
• Bantu latihan napas abdomen atau bibir
• Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Berikan/anjurkan minum air hangat.
Kolaborasi:
• Berikan obat-obatan sesuai indikasi, mis., bronkodilator
• Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanyan bunyi napas advertisius.
• Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapt ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut.
• Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di Rumah Sakit.
• Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
• Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan dapat mentriger episode akut.
• Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara
• Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
• Merilekskan otot halus dan menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa.
2. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas) oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara, kerusakan alveoli d/d dispnea, bingung, gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sekret nilai GDA tidak normal (hipoksia dan hiperkapnea), perubahan tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil:
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi.
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat penggunaan otot bantu pernapasan, napas bibir.
• Tinggikan kepala tempat tidur, bantu klien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan
• Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
• Anjurkan mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan
• Auskultasi bunyi nafas, cata area penurunan udara/bunyi tambahan
• Awasi tanda vital dan irama jantung
Kolaborasi
• Berikan oksigen sesuai indikasi
• Berikan penekan SSP (anti ansietas sedatif atau narkotik) dengan hati-hati sesuai indikasi • Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan/kronisnya proses penyakit
• Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps paru
• Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)
• Sputum kental, tebal serta banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif
• Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi, adanya mengidentifikasi spasme bronkus
• Takikardi, disritmia dan penurunan td dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
• Dapat memperbaiki/mencegah buruknya hipoksia
• Untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi/kebutuhan oksigen
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d dispnea, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah d/d penurunan berat badan, kehilangan massa otot, tonus otot buruk, kelemahan, keengganan untuk makan.
Kriteri hasil:
- Menunjukkan BB meningkatkat
- Mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas tanda malnutrisi.
- Melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk menngkatkan dan mempertahankan BB yang tepat.
Intervensi Rasional

• Catat status nutrisi pasien pada penerimaan , catat turgor kulit, BB dan derajat kekurangan BB, ketidakmampuan menelan.
• Pastikan pola diet biasa pada pasien yang disukai/tidak disukai
• Awasi pemasukan/pengeluaran dan BB secara periodik.
• Selidiki anoreksia, mual dan muntah. Catat kemungkinan dengan obat, awasi frekuensi, volume, konsistensi feses.
• Berikan periode istirahat sering.
• Berikan perawatan mulut
• Hindari makanan penghasi gas dan minuman karbonat. Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
• Anjurkan makan sedikit tapi sering dengan makanan TKTP
• Motivasi orang terdekat untuk membawa makanan dari rumah dan untuk membagi dengan pasien kecuali kontraindikasi
Kolaborasi
• Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
• Kaji/observasi nilai pemeriksaan Laboratorium, mis., profil asam amino, besi, glukosa, pemeriksaan fungsi hati dan elektrolit. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi • Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
• Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
• Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
• Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan nutrien.
• Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
• Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum/obat yang merangsang pasien muntah.
• Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma. Suhu yang ekstrim dapat meningkatkan spasme batuk
• Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan, menurunkan iritasi gaster.
• Membuat lingkungan sosial lebih normal selama makan dan membantu memenuhi kebutuhan personal.
• Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat
• Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi
4. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan dan peningkatan pemajanan terhadap lingkungan, proses penyakit kronis dan malnutrisi.
Kriteria Hasil:
- Pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi
- Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman
Intervensi Rasional
Mandiri:
• Kaji dan awasi suhu tubuh
• Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan adekuat
• Observasi warna, karakter dan bau sputum
• Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat
Kolaborasi:
• Dapatkan spesimen sputum dengan batuk dan pengisapan untuk pewarnaan gram, /kultur/sensitifitas
• Berikan anti mikrobial sesuai indikasi
• Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
• Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan terjadinya resiko infeksi paru
• Sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukkan adanya infeksi paru
• Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi
• Dikakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai anti mikrobial
• Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik karena resiko tinggi
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan tindakan perawatan b/d kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi d/d pertanyaan tentang informasi, tidak akurat mengikuti instruksi
Kriteria Hasil:
- Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan
- Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi Rasional
• Jelaskan tentang proses penyakit individu
• Instruksikan rasional untuk latihan napas, batuk efektif, dan latihan kondisi umum
• Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernapasan aktif
• Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan meghentikan merokok pada pasien dan atau orang terdekat
• Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan
• Tunjukkan/ajarkan teknik penggunaan inhaler • Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan
• Napas bibir dan napas perut (abdominal) menguatkan otot pernapasan, membantu meminimalkan kolaps jalan napas kecil. Latihan kondisi umum meningkatkan toleransi aktivitas, kekuatan otot dan rasa sehat
• Menurunkan pemajanan dan insiden mendapatkan infeksi saluran pernapasan atas
• Penghentian rokok dapat menghambat kemajuan PPOM.
• Pentung bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan
• Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifannya.

Askep pada Pasien dengan Gigitan Ular (Snake Bite)

Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Askep Snake Bite Askep pada Pasien dengan Gigitan Ular (Snake Bite)

Etiologi Snake Bite

Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a.    Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.    Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c.    Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d.   Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e.   Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f.    Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
g.    Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.

Patofisiologi

Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.

Pathway

- Sukar bernapas
- Bisa ular masuk ke dalam tubuh
- Daya toksik menyebar melalui peredaran darah
- Gangguan system
- Neuroligist
- Gangguan system
- Kardiovaskuler
- Gangguan system
- Pernapasan
- Oedema pada saluran pernapasan
- Toksik masuk pembuluh darah
- Koagulopati hebat
- Hipotensi
- Gagal napas
- Mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan
- Syok hipovolemik

Manifestasi Klinis

Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a.    Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular  muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b.    Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c.    Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
d.   Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
a.    Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b.    Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
c.    Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d.   Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e.    Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.

 Penatalaksanaan

a.    Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1)      Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2)      Menetralkan bisa.
3)      Mengobati komplikasi.
b.    Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I:  Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T:  Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul  ada korban.
c.    Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
1)   Balut tekan pada kaki:
a)    Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b)   Keringkan sekitar luka gigitan.
c)    Gunakan pembalut elastis.
d)   Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e)    Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f)    Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g)   Jangan melepas celana atau baju korban.
h)   Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i)    Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2)   Balut tekan pada tangan:
a)    Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b)   Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c)    Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d)   Pasang papan sebagai fiksasi.
e)    Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
(Foruniverse, Nursing. 2010. Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular, (Online), http://nursing foruniverse. blogspot. Com/2010/01/pertolongan-pertama-pada-gigitan-ular_18.html, diakses 17 Juli 2011).
d.   Penatalaksanaan selanjutnya
1)    &rgin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 78.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;”> 5)        ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40 menit.
6)        Heparin 20.000 unit per 24 jam.
7)        Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
8)        Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.
9)         Kalau perlu dilakukan hemodialise.
10)    Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.
11)    Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan secara cepat sambil diberi adrenalin.
e.    Pemberian ABU

Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873),  dasar data pengkajian pasien, yaitu:
a.    Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b.    Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c.    Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri.
d.   Eliminasi
Gejala: Diare.
e.    Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f.     Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g.    Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h.    Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i.      Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j.      Integumen

Diagnosa Keperawatan

- Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
- Gangguan Jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga dari gangguan jalan napas.
- Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral, respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen, postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
- Nyeri akut adalah. Keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan adanya sensasi tidak nyaman yang parah, yang berlangsung satu detik sampai kurang dari 6 bulan.
- Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.
- Hipertermi adalah keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami peningkatan suhu tubuh yang terus menerus lebih tinggi dari 37,8oC secara oral dan 38,8oC secara rectal yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal.
- Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
- Ketakutan/ansietas adalah keadaan dimana seorang individu/kelompok mengalami suatu perasaan gangguan fisiologis/emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi yang dirasakan sebagai bahaya.
- Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
- Resiko infeksi adalah resiko untuk terinvasi oleh organisme pathogen.

Perencanaan

Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
1)        Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.
2)        Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
3)        Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
4)        Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5)        Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
Diagnosa II :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1)   Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2)   Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui penyebab nyeri.
3)   Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
4)   Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5)   Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu penyembuhan luka.
Diagnosa III :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
1)   Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2)   Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu tubuh.
3)   Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
4)   Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.
5)   Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
6)   Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
Diagnosa IV :
Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi:
1)        Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2)      Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
3)      Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
4)      Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5)      Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
Diagnosa V :
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
1)   Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
2)   Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme infeksius.
3)   Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
4)   Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
5)   Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan memberikan deteksi dini infeksi luka.
6)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.

Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan yang mencakup tindakan tindakan independen (mandiri) dan kolaborasi.  Akan tetapi implementasi keperawatan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien. Tindakan mandiri adalah aktivitas perawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain. (Tarwoto Wartonah, 2004: 6).

 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada University Press, 1992
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990

Askep pad Klien Benigna Prostat Hipertropi

Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
Benigna Prostat Hipertropi 300x184 Askep pad Klien Benigna Prostat Hipertropi
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
1. Etiologi
Penyebab yang past dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1).Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2).Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3).Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4).Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5).Teori sel stem
Selstem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).
Patofisiologi
Peningkatan Sel Sterm Peningkatan 5 Alfa reduktase Proses Menua Interaksi Sel Epitel dan Stroma Berkurangnya sel yang mati
4. Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d.Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
2. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain:
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
2) Pemeriksaan Fisik
* Dilakukan dengan pemeriksaa tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapa meningka pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pad retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
* Pemeriksaan abdomen dilakuka denga tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
* Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
* Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
* Rectal touch / pemeriksaan colok dubu bertujuan untuk menentuka konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3) Pemeriksaan Laboratorium
* Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
* Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
* PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
4) Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a).Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b).Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c).Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif. 5) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik a).BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang. b). USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik. c). IVP (Pyelografi Intravena) Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. d) Pemeriksaan Panendoskop Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli. 3. Penatalaksanaan Modalitas terapi BPH adalah : 1).Observasi Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien 2).Medikamentosa Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen. 3). Pembedahan Indikasi pembedahan pada BPH adalah : a).Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut. b).Klien dengan residual urin > 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e).Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a).TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95 % )
b).Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c).Perianal Prostatectomy
d). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
B. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
Pre Operasi :
1).Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2).Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3).Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis..
4).Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
B. Perencanaan
1.Sebelum Operasi
a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi
3) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
4) Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1).Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2).Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
3).Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 – 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli – buli.
c).Pertahankan tirah baring bila diindikasikan R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b).Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d).Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g).Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah,
d.Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1).Tujuan
Pasien tampak rileks.
2).Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
3).Rencana tindakan dan rasional
a).Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2). Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
II.Sesudah operasi
1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1.Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3.Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5.Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
2.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/.Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5. bservasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 .Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 .Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2.Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3.Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4.Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Read more: http://www.qirtin.com/benigna-prostat-hipertropi/#ixzz1smdAaZ89