MOCH. WAHYU NUR CHOLIS
PROGRAM STUDY SI KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheria
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan)
dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang
tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit
ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus),
penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana definisi difteri?
1.2.2 Bagaimana etiologi difteri?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis difteri?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi difteri?
1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan difteri?
1.2.6 Bagaimana WOC dari difteri?
1.2.7 Bagaimana komplikasi difteri?
1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus difteri?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi difteri.
2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri.
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri.
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri.
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri.
6. Mengetahui dan memahami WOC dari difteri.
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri.
8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae.
Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan
tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara,
berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal
pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphteriae dan
Corynebacterium ulcerans,
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat
infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh
eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan
pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik
IDAI: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang
terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan
terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah
penyakit akibat terjangkit
bakteri yang bersumber dari
Corynebacterium diphtheriae (
C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas
mukosa saluran pernapasan dan
kulit
yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan
demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi
tonsil serta bagian saluran pernapasan. (
http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)
Gambar 1.Corynebacterium diphteriae
Klasifikasi Difteri
Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):
- Infeksi ringan
- Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
- Infeksi sedang
- Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif
- Infeksi berat
- Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi
- Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis
Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:
Difteria Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise,
demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran
yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat
terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis, bila limfadentis
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul
bullneck.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan luas
memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis
dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Diteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri
faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena
mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan
mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe
infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak.
Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera
konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim.
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan
berbau.
2.2 Etiologi
Disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae, bakteri
gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin.
Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media
yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler. Pada membran mukosa manusia
C.diphteriae
dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan
Tindale agar.
Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk
koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna
abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis
gravis dan
intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis
gravis
ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua
jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi
eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup
mitis, kadang-kadang ada bentuk
grafis atau
intermediate
yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin
berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang
berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag. Ciri khas
C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik
in vivo maupun
in vitro.
Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi
oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
- Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
- Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
- Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang
dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan
basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan
Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas
dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung
kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna
putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan
nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang
khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Minimum lethal dose (MLD)
toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh
marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri
berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil
difteria akan mati pada pemanasan suhu 60
0C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada
pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan,
leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak
jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa
faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak
membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya,
sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat
swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gambar 2. pseudomembran
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.
(Ditjen P2PL Depkes,2003)
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala
klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada
jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak
terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak
penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala
khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan
atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat
eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
paralysis jaringan saraf atau nefritis.
2.4 Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila
bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar
dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan
sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf
di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam,
bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG.
Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung
dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara
perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran,
yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati,
bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang
lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba
bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis
ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di
tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat
kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan
dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)
2.5 Penatalaksanaan Difteri
Tindakan Umum Tujuan : a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan : 1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan
toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair,
bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada
paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
3. Jamin kemudahan
defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma,
laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
· Berikan Oksigen
· Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
II. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
IV. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan
kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya
meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
Tindakan Spesifik Tujuan : a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) : 1. Serum Anti Difteri (SAD) Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga
melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
·
120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi
difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps
sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri
|
Dosis DS (KI)
|
Cara Pemberian
|
Difteri hidung
|
20.000
|
IM
|
Difteri tonsil
|
40.000
|
IM atau IV
|
Difteri faring
|
40.000
|
IM atau IV
|
Difteri laring
|
40.000
|
IM atau IV
|
Kombinasi lokasi di atas
|
80.000
|
IV
|
Difteri + penyulit, bullneck
|
80.000-120.000
|
IV
|
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja
|
80.000-120.000
|
IV
|
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara
melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2
jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum
heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya.
Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :
Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran,
selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian
serum.
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu
disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan
interval 5-15 menit ).
· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara
sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang
ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20
menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik · Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
· Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid · Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
· Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
· Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
- Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
- Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
- Enzim CPK, segera saat masuk RS
- Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
- EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
- Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per
millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan
ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah,
uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak
didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada
orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif
palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan
dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati
dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml
toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan
yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi
dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema
yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif
berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga
ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat
dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu
48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap
selama beberapa hari.
- Tes hapusan spesimen:
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain,
berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan
kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
DIAGNOSA BANDING
- Difteri Hidung
Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah
rhinorrhea (
common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung,
snuffles (lues kongenital)
- Difteri Fausial
Harus dibedakan dengan:
- Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus
dianggap sebagai penderita difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi
anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah
bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi
sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak
hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah
berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
-
Angina Plaut Vincent
Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak
mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram
positif) dan spirilia (gram negatif).
- Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan
disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat
peningkatan monosit dalam darah tepi.
-
Blood dyscrasia (misalnya leukimia)
Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.
- Difteri Laring
Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis
membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing
pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi dan
sesak.
- Difteri Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.
PENGOBATAN PENYULIT
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
PENGOBATAN KARIER
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
shick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaring.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri
Biakan
|
Uji Shick
|
Tindakan
|
(-)
|
(-)
|
Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
|
(+)
|
(-)
|
Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
|
(+)
|
(+)
|
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
|
(-)
|
(+)
|
Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas
|
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
- Miokarditis
- biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
- Pemerikasaan Fisik :
Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
Gambaran EKG :
-
- Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT
- Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
- Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
- Kolaps perifer
- Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
- Urogenital : dapat terjadi nefritis
- Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik
- Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit
- Tanda-tanda renjatan :
-
- TD menurun (systol ≤ 80 mmHg)
- Tekanan nadi menurun
- Kulit keabu-abuan dingin dan basah
- Anak gelisah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus Semu :
Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam.
Dari pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring,
kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak
mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3
lpm.
Anamnesa:
1. Identitas pasien
a. Nama : L
b. Usia : 6 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau
makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari
hasil EKG didapat tachicardy.
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat penyakit masa lalu
Pemeriksaan Fisik
- B1 : Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas)
- B2 : Blood (Cardiovascular system)
tachicardi
- B3 : Brain (Nervous system)
Normal
- B4 : Bladder (Genitourinary system)
Normal
- B5 : Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
- B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
- Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:
- Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
- Pernapasan tetap pada batas normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul
|
Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien
|
2.
|
Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi
|
Untuk mepertahankan atau memperbaiki keadaan umum
|
3.
|
Pemberian SAD 40.000 KI secara IM atau IV
|
Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan
|
- Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT)
|
Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.
|
2.
|
Pantau masukan keluaran dan berat badan.
|
Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
|
|
- Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric Tube
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bersihkan kateter sesering mungkin
|
Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh
|
- Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil:
- Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
- Mulut tetap bersih dan lembab.
- Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).
|
Untuk memudahkan perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.
|
2.
|
Beri perawatan mulut.
|
Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.
|
3.
|
Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak.
|
Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
|
- Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung
Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah
Kriteria hasil:
- bunyi jantung normal
- tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.
- gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV
|
- Menetralisir Toksin
- Eradikasi Kuman
- Menanggulangi infeksi sekunder
|
2.
|
Pemberian obat sedative (diazepam/luminal)
|
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
|
3.
|
Pantau terus hasil perekaman EKG
|
Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard
|
DOWNLOAD :
WOC ASKEP DIFTERI
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang
anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama
laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang
kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
4.2 Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak,
maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin
DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh
hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus
dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan
uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es
karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat
mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga
menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah
menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan
makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007,
Jakarta
Iwansain.2008.
Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Kadun I Nyoman.2006.
Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
CV Infomedika: Jakarta
Raya, Rheny. 2010.
Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri. www.raya.blogspot.com. 15 Oktober 2010
Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
Doengoes, E Marlynn,dkk.1999.
Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
Ngastiyah. 1997.
Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
Nursalam, dkk. 2005.
Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Sumarmo, dkk. 2008.
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2006.
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007.
Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000.
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta