selamat datang

Kampus ku

Pesan Kami

DATA

Postingan
Komentar

Total Tayangan Halaman

Like Facebook


Sabtu, 29 Desember 2012

ASKEP Aritmia

Asuhan Keperawatan Aritmia , Askep Aritmia, di akibatkan karena penyimpangan pada heart rate normal atau irama jantung, aritmia secara langsung berhubungan dengan gangguan dalam jaras konduksi dari jantung. Pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tempatnya (ventrikel atau supraventrikel), aritmia pada anak biasanya kongenital atau berhubungan dengan pembedahan jantung. Kemaknaan klinis bergantung pada curah jantung, tekanan darah, dan tempatnya.
Aritmia tidak sering terjadi pada anak. Pengobatan biasanya termasuk penggunaan pengobatan antiaritmia, seperti digitalis glycoside dan verapamil (Calan).
PENGKAJIAN
Kardiovaskuler
  • Heart rate yang tidak normal sesuai usia
  • R-R interval tidak teratur
  • Hilangnya gelombang P sebelum setiap kompleks QRS
  • PR interval memanjang
  •  Gelombnag P dan kompleks QRS tidak normal
  • Tanda-tanda penurunan curah jantung (waktu pengisian kapiler memanjang, edema perifer, crackle, ronchi, dan takikardia).
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung berhubungan dengan aritmia jantung
 Hasil yang diharapkan
Anak akan mempertahankan curah jantung efektif ditandai oleh waktu pengisian kapiler 3 sampai 5 detik, mukosa membran berwarna merah jambu, peningkatan tingkat energi, dan peningkatan makan anak.
 Intervensi
  1. monitor status kardiovaskuler anak dengan menggunakan monitor jantung.
  2. Kaji dan catat denyut apikal anak, denyut perifer, tekanan darah, waktu pengisian kapiler, asupan dan haluaran cairan, dan karakteristik kulit (seperti kulit bergaris-garis, warna kulit, edema, temperatur, dan diaphoresis).
  3. Berikan pengobatan kardiovaskuler, sesuai petunjuk.
  4. Bantu anak menyimpan energi melalui pengelompokan asuhan keperawatan.
 Rasional
  1. Indikasi monitoring jantung dan pencatatan berbagai penyimpangan haert rate dan irama jantung normal anak.
  2. Pengkajian memberikan data dari adanya perobahan pengukuran dasar, kemungkinan berindikasi aritmia.
  3. Pengobatan kardiovaskuler dapat diberikan guna membantu memutuskan gangguan elektrik yang berhubungan dengan aritmia.
  4. clustering care memungkinkan periode istirahat menjadi lama.
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko injury berhubungan dengan dosisi pengobatan atau respon fisiologik pengobatan.
 Hasil yang diharapkan
Anak akantidak mengalami injury akibat dosis pengobatan atau respon fisiologik pengobatan.
 Intervensi
  1. Setelah pemberian pengobatan, monitor heart rate anak dan irama jantung dengan menggunakan monitor jantung.
  2. Monitor kadar kalium dan kalsium. Perhatikan tanda-tanda klinis ketidak seimbangan kalium dan kalsium.
  3. Lakukan cek ganda agar semua dosis pengobatan menjadi akurat sebelum diberikan obat; yakinkan bahwa pasien menerima sejumlah yang ditentukan.
 Rasional
  1. Pengobatan anti aritmia dapat menimbulkan aritmia, dimana dapat dideteksi melalui alat monitoring jantung.
  2. Efektifitas pengobatan aritmia bergantung pada penyesuaian yang pantas dari elektrolit intraselular. Ketidakseimbangan kalium dapat menyebabkan artimia; ketidak seimbangan  kalsium dapat menyebabkan  henti jantung.
  3. Memberikan terlalu banyak obat atau terlalu sedikit dapat menyebabkan aritimia.
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan intravena dan menggunakan elektroda jantung.
Hasil yang diharapkan
Anak akan tidfak ada tanda-tanda infeksi ditandai oleh tidak adanya erythema, tenderness, bengkak pada tempat tusukan i.V. atau lokasi elektroda; temperatur tubuh 97,6˚ sampai 99˚ F [36,4˚ sampai 37,2˚ C]); dan tanda-tanda vital sesuai dengan usia.
Intervensi
  1. Cek lokasi i.V. setiap jam kemungkinan adanya tanda-tanda erythema atau infiltrasi dan kemungkinan jarum suntikan salah letak.
  2. Ganti  jarum i.V. setiap 24 sampai 72 jam, dengan tepat.
  3. Cek lokasi elektroda setiap penggantianadanya tanda-tanda ruam atau erythema.
Rasional
  1. Kaji lokasi I.V. setiap jam guna membantu mendeteksi kulit yang terbakar akibat infiltrasi kimiawi atau terhentinya pengobatan antiaritimia yasng disebabkan kesalahan letak dari jarun I.V.—keduanya merupakan sumber infeksi.
  2. Mengganti tabung secara teratur membantu mencegah pertumbuhan bakteri; dilokasi I.V. yang sulit  mengalirkan cairan dapat diganti sesegera mungkin.
  3. Pemberian geli elektroda at menyebabkan iritasi kulit, yang memungkinkan terjadinya infeksi. Mengangkat  pad elektroda dapat menyebabkan kerusakan kulit, dapat mengakibatkan kemungkinan infiltrasi bakteri pada lokasi tersebut. Menggunakan jarum elektroda juga akan memungkinkan ifiltrasi bakteri kelokasi tersebut.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pengurangan  aktifitas yang bervariasi berhubungan dengan pembatasan aktifitas akibat pemasangan monitor  jantung.
Hasil yang diharapkan
Anak akan berpartisipasi dalam aktifitas kehidupan anak walaupun terpasang monitor jantung.
Intervensi
  1. Konsulkan pada tenaga khusus untuk kehidupan anak (perapi bermain) tentang aktifitas bermain  yang tepat dan stimulasi anak.
  2. Dorong anak berinteraksi dengan anak lainya dalam unit itu, tentukan  pada anak yang lain yang bebas dari infeksi pernafasan.
  3. berikan boneka, permainan, dan buku-buku yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
 Rasional
  1. Pekerja khusus untuk kehidupan anak dapat merencanakan aktifitas yang tepat berdasarkan tingkat perekembangan anak dan pembatasan fisik.
  2. Dengan kontak dengan teman sebaya akan membantu pencegah perasaan terisolasi dan medorong anak berpartisipasi dalam aktiftas.
  3. Aktifitas ini membantu mengalihkan perhatian anak dari kondisi dan membantu mengurangi kebosanan. Mereka juga diberikan stimulasi untuk membantu tumbuh-kembang anak.
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan penyakit anak, tinggal rawat di rumah sakit, dan perawatan di rumah.
Hasil yang diharapkan
Orang tua akan mengekspresikan pemahamannya terhadap penyakit abank, alasan hospitalisasi, dan petunjuk perawatan di rumah dan mendemonstrasikan prosedur perawatan di rumah.
Intervensi
  1. Ajarkan orang tua berikut ini :
    • Penyebab aritimia pada anak
    • Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung, termasuk takipnea, takikardia, berkeringat, kelelahan, kesulitan makan, edema perifer, peningkatan berat bedan secara cepat, dispnea, dan sianosis.
    • Tindakan yang berhubungan dengan dosis obat dan pengobatan serta kemungkinan reaksi dari pengobatan antiaritimia.
  2. Jelaskan maksud dan penggunaan monitor jantung pada orang tua dan anak (jika usianya sesuai). Jika anak dipasangi monitoring di rumah, jelaskan bagaimana bila sistem bekerja, bagaimana mengatur alarm, dan jenis masalah yang dapat dicegah saat menggunakan alat monitoring di rumah. Jika masalah terjadi, sampaikan pada orang tua untuk menghubungi rumah sakit atau dokter.
  3. Yakinkan orang tua guna mengikuti kelas cardiopulmonary resucitation (CPR) sebelum anak dipulangkan dari rumah sakit.
Rasional
  1. Pemahaman tentang sifat dan  seriusnya kondisi anak membantu orang tua  menuruti pengobatan dan memonitor perkembangan anak.
    • Pemahaman akan penyebab anak sakit membantu orang tua memiliki perasaan guna mengontrol situasi dengan baik.
    • Pengenalan tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung akan mendorong orang tua segera mencari pertolongan medik jik diperlukan, membantu menceghindari komplikasi yang serius.
    • Mengetahui cara bekerjanya obat, dosisi yang tepat, dan pengobatan antiaritmia membantu orang tua mengikuti pengobatan anak; mengenal reaksi lanjut akan segera mencari perhatian medik jika diperlukan.
  2. Penjelasan ini membantu mengurangi ketakutan orang tua dan mencegah pada hal-hal yang tidak perlu  dalam pengoperasian alat monitor,  beri kesempatan orang tua memberikan perhatian pada berbagai hal sehubungan dengan perawatan anak.
  3. Orang tua memerlukan guna mengetahui kapan dan bagaimana memulai CPR guna mendukung sirkulasi anak dan pernafasannnya yang bahkan bila terjadi henti jantung berhubungan dengan aritmia.
Daftar cek pendokumentasian
Selama  tinggal rawat di rumah sakit, catatan :
ٱ Keadaan anak dan pengkajian yang dilakukan selama masuk rumah sakit.
ٱ Perubahan keadaan anak
ٱ Berhubungan dengan hasil laboratorium dan diaghnostik test
ٱ Asupan dan haluaran cairan
ٱ Asupan nutrisi
ٱ  Status pertumbuhan dan perkembangan
ٱ Respon anak terhadap pengobatan
ٱ Reaksi anak dan orang tua terhadap  sakit dan tinggal rawat di rumah sakit.
ٱ Pedoman pengajaran pasien dan keluarganya
ٱ Pedoman rencana tindak lanjut.

ASKEP Alkalosis Acidosis Metabolik Respiratorik

Keseimbangan asam dan basa dalam tubuh sangat penting untuk mempertahankan proses kehidupan.
Kadar kimia asam basa sukar dipisahkan dengan konsentrasi ion H+. Konsentrasi ion H+ dalam berbagai larutan dapat berubah dan perubahan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan fungsi sel.

Beberapa Pengertian

  1. Asam : Suatu cairan yang mampu mengeluarkan / melepaskan H+ (donor proton).
  2. Basa : Suatu cairan yang mampu menerima H+ (akseptor proton).
  3. pH : Menyatakan konservasi H+ dalam larutan yaitu menunjukkan kekuatan asam atau basa.
  4. Secara sistematik pH = Logaritma negatif dari konsentrasi H+ (pH : - Log H+).
  5. Harga normal pH : 7.35 – 7.45
  6. Bila H+ naik : pH rendah, maka cairan lebih asam
  7. Bila H+ turun : pH Tinggi, maka cairan lebih basa
  8. Asidema : Suatu keadaan dimana pH darah kurang dari 7.35
  9. Asidosis : Proses yang menyebabkan terjadinya asidema
  10. Alkalomia : Suatu kondisi dimana pH darah lebih dari 7. 45
  11. Alkalosis : Proses yang menyebabkan alkalomia
  12. PaO2: Tekanan Parsiil O2 di dalam darah arteri Normal: 80- 100 mmHg
  13. PaCO2: Tekanan Partiil CO2 dalam arteri. Normal 35- 45 mmHg
  14. HCO3 dalam pemeriksaan AGD: Konsentrasi HCO3 dalam plasma darah. Normal: 22-26 meq/l.
  15. Saturasi O2 (SaO2): Kejenuhan O2 dalam darah arteri. Normal: 95- 100%
  16. Base Exess (BE): Jumlah milt equivalent dari asam atau basa yang dibutuhkan atau titrasi dalam darah mencapai pH: 7.4 pada temperatur 37°C dan PCO2 40 mmHg. Normal: -2 sampai  2
  17. HCO3 dalam pemeriksaan Analisa Gas Darah: Konsentrasi HCO3 dalam plasma darah. Normal: 22- 26 meq/l.
Henderson- hesecbach eqitasion menggambarkan hubungan antara pH, PaO2 dan PaCO2.
Alkalosis Acidosis Metabolik Respiratory

PENGATURAN

Seseorang dapat merubah konsentrasi CO2 dalam cairan tubuh dengan mempercepat atau memperlambat kecepatan pernafasan (Respirasi/RR).
Di lain pihak, ginjal mampu meningkatkan atau merendahkan konsentrasi HCO3 dalam cairan tubuh.
Dengan kedua cara regulasi ini, pH dapat disesuaikan dengan keadaan normal.
Pengaturan keseimbangan untuk mengatasi asidosis dan alkalosis melalui sistem kontrol yang bekerja sbb :
  1. Mengikat asam atau basa pada sistem buffer
  2. Jika konsentrasi H+ sangat rendah mengaktifkan pusat pernafasan untuk merubah ventilasi pulmonal
  3. Kerja ginjal untuk mengeluarkan urin yang asam atau basa untuk menyesuaikan konsentrasi H+ agar tubuh normal kembali
Tugas buffer adalah memberikan suasana yang seimbang atau homeostatis mekanisme
  1. Sistem buffer Bicarbonat :
    HCO3 terbentuk dalam tubuh sbb:
    1. CO2 dan H2O------------------------ H2 CO3
    2. H2CO3 H+   +   HCO3 ------------H2CO3------ CO2 +H2O
      Sistem paling penting bagi darah dan jaringan adalah garam sodium Bicarbonat NaHCO3 dan asam bicarbonat H2CO3
      Normal: Ratio Konsentrasi HCO3- : H2CO3 = 20:1
  2. Buffer Phospat
    1. Terdiri dari 2 elemen: NaH2PO4 dan Na2 HPO4.
    2. Bila terdapat asam kuat (HCl) maka terjadi: HCl + Na2HPO4---Na2HPO4+ NaCl
    3. Buffer sistem ini sangat penting dalam cairan tubulus ginjal dan intraseluler, tetapi pada cairan ekstraseluler konsentrasinya lebih rendah daripada Bicarbonat Buffer.
  3. Buffer Protein merupakan sistem yang terkuat dalam tubuh
    1. Protein terdiri dari bermacam asam amino yang mempunyai asam bebas (COOH) yang dapat berdisosiasi menjadi COO- dan H+
    2. Mempunyai NH3OH yang dapat terdisosiasi mejadi NH3+ dan OH-
    3. OH- dapat bereaksi dengan H+ membentuk H2O

Konsentrasi H+ mengaktifkan pusat pernafasan

Paru-paru mengontrol kadar CO2 dan H2CO3 dalam cairan ekstra sel, serta mengatur ventilasi sesuai dengan jumlah CO2 dalam darah
Misalnya PaCO2 ----- merangsang pusat pernafasan. Paru- paru juga akan mengadakan kompensasi terhadap gangguan metabolik dengan cara menahan CO2.
Bila terjadi acidosis metabolik, maka Respirasi meningkat sehingga pengeluaran CO2 meningkat
Bila alkalosis metabolik RR menyebabkan CO2 tertahan

Kerja ginjal dalam mengeluarkan urin untuk keseimbangan PH

Ginjal mengatur kadar bicarbonat dalam cairan ekstra seluler dengan cara reabsorbsi di tubulus renalis. Pada asidosis respiratorik dan metabolik, ginjal akan mengekresi H+ dan menahan HCO3- utk mempertahankan keseimbangan

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA

1. Asidosis Respiratorik

Terjadi karena kegagalan sistem pernafasan mengeluarkan CO2 dengan meningkatkan CO2 maka konsentrasi H+   dan PH ?
  1. Penyebab / Etiologi :
    1. Over dosis obat
    2. Trauma dada dan kepala
    3. Edema paru- paru
    4. Obstruksi jalan nafas
    5. PPOM
  2. Manifestasi klinis :
    1. Pada keadaan hipoventilasi CO2 tertahan dan akan berikatan H2O menyebabkan meningkatnya HCO3.
    2. H2CO3 akan berdisosiasi enjadi H+ dan HOO– sehingga dalam analisa gas darah didapatkan PaCO2 meningkat dan PH turun.
    3. PH yang rendah disertai meningkat 2.3 DPG intra seluler sel darah sehingga mempermudah pelepasan O2 ke jaringan sehingga saturasi turun.
    4. PCO2 meningkat, CO2 jaringan dan otak juga meningkat. CO2 akan bereaksi dengan H2O membentuk H2CO3.
    5. Meningkatnya PaCO2 dan H+ akan menstimulasi pusat pernafasan di medulla Oblongata sehingga timbul hiperventilasi. Secara klinis akan tampak respirasi cepat dan dalam Analisa Gas Darah (AGD): PaCO2 turun.
    6. Pusing, bingung, letargi, muntah sebagai akibat dari penurunan CO2 dan H+ akan mengakibatkan pembuluh darah cerebral.
    7. Aliran darah cerebral meningkat sehingga terjadi oedema otak dan mendepresi Susunan Saraf Pusat
    8. Gagalnya mekanisme pernafasan dan meningkatnya PaCO2 akan menstimulasi ginjal untuk meningkatkan NaHCO3 yang berfungsi sebagai sistem buffer mejadi lebih asam. Hal ini urin menjadi asam dan HCO3 meningkat, pernafasan dangkal dan lambat.
    9. Meningkatnya ion H+ mempengaruhi mekanisme kompensasi sehingga H+ masuk intrasel dan Kalium (K) intrasel masuk ke dalam plasma.
    10. Ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis yang kritis akan mendepresi otak dan fungsi jantung. Secara klinis akan tampak: PaCO2 menurun, PH turun, hiperkalemia, penurunan kesadaran dan aritmia.

2. ALKALOSIS RESPIRATORIK

Terjadi pada gangguan sistem respirasi mengeluarkan CO2 yang berlebihan sebagai upaya untuk mengurangi hipoxia.
Konsekuensi penurunan CO2 di bawah minimal menyebabkan konsentrasi ion H+ berkurang sehingga meningkatkan PH darah.
  1. Etiologi :
    1. Kecemasan
    2. Lesi paru
    3. PPOM
    4. Keracunan salicilat
    5. Penggunaan ventilasi
    6. High Attitude
  2. Manifestasi Klinis :
    1. Penurunan PaCO2 berakibat Penurunan H2CO3, penurunan H+ dan HCO3 -, serta meningkatkan PH darah sehingga AGD: PH naik, PaCO2 turun dan HCO3 turun
    2. Meningkatnya K+ dalam serum, H+ intrasel keluar dan diganti K yang ada dalam ekstrasel. H+ bergabung dengan HCO3- menjadi H2CO3 yang berakibat PH semakin rendah. AGD: PH turun, HCO3 naik dan K turun
    3. Hipokapnia akan merangsang Carotik dan aortik dan aortic bodiea----- frekuensi denyut jantung naik tanpa naiknya tekanan darah, perubahan EKG dan kelelahan
    4. Pada saat yang bersamaan, terjadi vasokonstriksi cerebral dan tururnnya perfusi darah ke otak dengan gejala: Kecemasan, dispnea, keringat dingin, pernafasan cheyne stokes, pusing dan kesemutan.
    5. Jika hipokapnia lebih dari 6 jam, ginjal akan meningkatkan sekresi HCO3 dan menurunkan ekskresi H+
    6. Keadaan PaCO2 yang turun terus menerus menyebabkan vasokonstriksi --- meningkatkan hipoxia serebral dan perifer.
    7. Alkalosis berat, Hambatan ionisasi Ca meningkatkan eksitasi syaraf dan konstraksi otot dengan gejala: Kejang, hiperefleksi, koma.

3. ASIDOSIS METABOLIK

Menurunnya PH dan HCO3. Hal ini disebabkan oleh tertahannya H+ dan hilangnya HCO3. Menurunnya HCO3 disebabkan oleh :
  1. HCO3 digunakan untuk menanggualangi asam organiksbg hasil metabolisme (Ct as. Laktat, asam piruvat, asam asetoasetat dan hidroksi butirat) sehingga H2CO3 bertambah, sehingga tubuh melakukan kompensasi sbb:
    1. Sistem Buffer akan menurunkan H2 CO3 dg cara ion H+ kepada sistem buffer yang lain shg meningkatkan kadar bikarbonat atau plasma.
    2. Paru- paru: Karena H2CO3 atau PaCO2 naik----- merangsang pusat pernafasan, shg tjd hiperventilasi
    3. Ginjal: Berusaha mengembalikan Bicarbonat dg cara memobilisasi H+ di tubulus proximal, sekresi H+ di tubuli distal dan poembentukan NH3 di tubulus distal
  2. Keadaan ini terjadi pada ketosis :
    1. Sebagai akibat gangguan metabolisme (ct. DM) sehingga metabolisme lemak naik. Sehingga banyak terbentuk benda keton yang bersifat asam.
    2. Tiroksitosis: Muntah yang banyak dan lama: menyebabkan cadangan hidrat arang menurun
  3. Kegagalan ginjal untuk mengekresi ion- ion fosfat dan asam yang lain, dengan lain perkataan bahan jadi gangguan pertukaran H+ dan – serta adanya retensi asam tsb.

4. ALKALOSIS METABOLIK

Ditandai dengan naiknya PH dan naiknya konsentrasi HCO3- dalam plasma.
Etiologi: Tertahannya HCO3- atau kehilangan H+
Kompensasi tubuh :
  1. Sistem Buffer : Komponen HCO3- akan bereaksi dg sistem Buffer yang lain, shg akan berusaha meningkatnya kadar H2CO3 sbg komponen sistem buffer karbonat.
  2. Paru- paru: karena PH naik, maka pusat pernafasan akan ditekan sg terjadi pernafasan yang lambat dan upaya peningkatan H2CO3
  3. Ginjal akan berusaha mengurangi sekresi pertukaran H+ dan Na+ sehingga ekresi NaHCO3 dan HPO4 naik, yang berarti pengasaman urine berkurang. Disamping itu ekresi NH+ di tubulus distal dan asam-asam hasil metabolisme juga dikeluarkan.
Alkalosis metabolik dapat ditemukan pada defisit kalium melalui 2 cara :
  1. Ginjal akan menahan K dan meningkatkan ekresi H+
  2. K+ intrasel akan berpindah menuju ekstrasel yang menyebabkan H+ berpindah ke intrasel, sehingga K serum tetap dalam batas normal.
Keadaan ini terjadi : penyakit Cushing akibat terapi kortikosteroid, intake K yang kurang.

Penanganan Gangguan Keseimbangan Asam Basa

  1. Mengembalikan nilai PH pada keadaan normal
  2. Koreksi keadaan asidosis repiratorik: Naiknya ventilasi dan mengoreksi penyebab
  3. Koreksi keadaan alkalosis respiratorik: turunnya ventilasi dan terapi penyebab
  4. Koreksi keadaan asidosis metabolik:
    1. Pemberian Bicarbonat IV / oral
    2. Terapi penyebab
    3. Koreksi keadaan alkalosis metabolik dengan cara: memberi KCl dan mengobati penyebab

ASKEP Tentang Fibro Adenoma Mammae - FAM

Sekilas Tentang Fibro Adenoma Mammae - FAM

Fibro Adenoma Mammae (FAM) adalah tumor jinak dari kelenjar dan jaringan ikat pada payudara. FAM yang tumbuh dipayudara akan teraba sebagai benjolan bulat yang memiliki batas tegas.
Fibro Adenoma Mammae (FAM) mudah digerakan (mobile), konsistensi padat dan kenyal, kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan.
Cara Teknik Bedah FAM Fibro Adenoma Mammae

Penatalaksanaan Pembedahan Fibro Adenoma Mammae (FAM)

Sebelum pembedahan /operasi dimulai, Instrumentator yang handal telah menyiapkan segala kebutuhan operasi. Seperti, menata instrumen dengan benar dan menyediakan kebutuhan operasi, sebagai berikut :
Persiapan Instrumen Bedah pada Pembedahan Fibro Adenoma Mammae (FAM)
  1. Clamp lurus kecil 2 buah
  2. Clamp bengkok kecil 2 buah
  3. Clamp bengkok sedang 2 buah
  4. Allys 1 buah
  5. Needle holder 2 buah
  6. Towel clips 4 buah
  7. Tangkai pisau No. 20 atau 22 sebanyak 1 buah
  8. Gunting jaringan 1 buah
  9. Gunting benang 1 buah
  10. Hak / Eyelide 2 buah
  11. Nierbeken 1 buah
  12. Kom betadine 1 buah
  13. Desinfektan forcep 1 buah
(Perhatian..!! : Biasanya alat/instrumen diatas sudah diset dalam satu paket, pelabelan atau nama set berbeda tiap Rumah Sakit / tergantung dari Rumah Sakit setempat)
Cara Kerja / Teknik Pembedahan Fibro Adenoma Mammae (FAM)
Setelah pasien dilakukan Anestesi / pembiusan
  1. Atur posisi pasien telentang dengan punggung diganjal dengan botol cairan infus agar payudara / lokasi FAM membumbung kedepan.
  2. Tandai lokasi sayatan dengan spidol atau pulpen
  3. Team Work cuci tangan
  4. Pasang jas operasi dan sarung tangan sesuai protap
  5. Lokasi FAM di disinfeksi secara melingkar dengan betadine
  6. Tutupi seluruh tubuh pasien dengan kain steril, pasang duk besar dan duk kecil sehingga yang tampak lokasi yang akan disayat / lokasi FAM
  7. Bersihkan sisa betadine yang menempel di kulit dengan qaas alkohol
  8. Sebelum penyayatan dimulai, Uji efek anestesi dengan pinset chirurgi, jika rasa nyeri telah hilang, penyayatan siap dilakukan.
  9. Gunakan pisau operasi no : 20-22
  10. Kendalikan perdarahan dengan dram qaas dan jepit ujung pembuluh darah yang terputus dengan clamp bengkok, kemudian bisa digunakan elektrik cauter untuk koagulasi atau ikat ujung pembuluh darah dengan benang silk 2/0 atau plain 2/0.
  11. Kuak lokasi sayatan dengan Eyelide ( mengangakan daerah subkutis, sehingga terlihat FAM yang akan diangkat)
  12. Fiksasi FAM dengan Allys
  13. Bebaskan FAM dari jaringan sekitar dengan gunting atau dengan elektrik cauter, sewaktu pembebasan dengan gunting, Allys berfungsi untuk mengangkat FAM yang telah terfiksasi.
  14. Setelah FAM dibebaskan dan terangkat dari sarangnya, jika ada perdarahan hentikan dengan kiat pada poin ke 11 diatas
  15. Jahit jaringan bekas FAM dengan benang cromich 2/0
  16. Jika diperlukan, pasang drain untuk mengontrol perdarahan
  17. Jahit sub kutis dengan plain 2/0
  18. Jahit cutis / kulit dengan teknik subkutikuler menggunakan benang plain 4/0 atau vicril 4/0 atau dengan premilene 4/0 cutting non atraumatik.
  19. Setelah luka terjahit dengan rapi sampai ke kulit, maka bekas luka ditutup dengan qaas tambah betadine dan di fiksasi dengan plester.
  20. Pasien dirapikan dan dirawat di Recovery Room (Ruang Sadar).

ASKEP Homeostasis Hemodinamik Keperawatan

HOMEOSTASIS DAN HEMODINAMIK

Homeostasis

Homeostasis merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam mempertahankan kondisi yang dialaminya. Proses homeostasis ini dapat terjadi apabila tubuh mengalami stres yang ada sehingga tubuh secara alamiah akan melakukan mekanisme pertahanan diri untuk menjaga kondisi yang seimbang, atau juga dapat dikatakan bahwa homeostasis adalah suatu proses perubahan yang terus-menerus untuk memelihara stabilitas dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Homeostasis yang terdapat dalam tubuh manusia dapat dikendalikan oleh suatu sistem endokrin dan syaraf otonom. Secara alamiah proses homeostasis dapat terjadi dalam tubuh manusia.
Dalam mempelajari cara tubuh melakukan proses homeostasis ini dapat melalui empat cara yaitu :
  1. Self regulation.
    Sistem ini dapat terjadi secara otomatis pada orang yang sehat seperti dalam pengaturan proses sistem fisiologis tubuh manusia.
  2. Cara kompensasi
    Tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidaknormalan dalam tubuh. Sebagai contoh, apabila secara tiba-tiba lingkungan menjadi dingin, maka pembuluh darah perifer akan mengalami konstriksi dan merangsang pembuluh darah bagian dalam untuk meningkatkan kegiatan (misalnya menggigil) yang dapat menghasilkan panas sehingga suhu tetap stabil, pelebaran pupil untuk meningkatkan persepsi visual pada saat terjadi ancaman terhadap tubuh, peningkatan keringat untuk mengontrol kenaikan suhu badan.
  3. Cara umpan balik negatif
    Proses ini merupakan penyimpangan dari keadaan normal. Dalam keadaan abnormal tubuh secara otomatis akan melakukan mekanisme umpan balik untuk menyeimbangkan penyimpangan yang terjadi.
  4. Umpan balik untuk mengoreksi ketidakseimbangan fisiologis.
    Sebagai contoh apabila seseorang mengalami hipoksia akan terjadi proses peningkatan denyut jantung untuk membawa darah dan oksigen yang cukup ke sel tubuh.
Homeostasis psikologis berfokus pada keseimbangan emosional dan kesejahteraan mental. Proses ini didapat dari pengalaman hidup dan interaksi dengan orang lain serta dipengaruhi oleh norma dan kultur masyarakat. Contoh homeostasis psikologis adalah mekanisme pertahanan diri seperti menangis, tertawa, berteriak, memukul.
Homeostasis Hemodinamik Keperawatan
Homeostasis Hemodinamik Keperawatan

Hemodinamik

Homeodinamik merupakan pertukaran energi secara terus-menerus antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Pada proses ini manusia tidak hanya melakukan penyesuaian diri, tetapi terus berinteraksi dengan lingkungan agar mampu mempertahankan hidupnya.
Proses homeodinamik bermula dari teori tentang manusia sebagai unit yang merupakan satu kesatuan utuh, memiliki karakter yang berbeda-beda, proses hidup yang dinamis, selalu berinteraksi dengan lingkungan yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhinya, serta memiliki keunikan tersendiri dalam proses homeodinamik ini.
Adapun beberapa prinsip hemodinamik adalah sebagai berikut :
  1. Prinsip integralitas.
    Prinsip utama dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan. Perubahan proses kehidupan ini terjadi secara terus-menerus karena adanya interaksi manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi.
  2. Prinsip resonansi.
    Prinsip bahwa proses kehidupan manusia selalu berirama dan frekuensinya bervariasi, mengingat manusia memiliki pengalaman beradaptasi dengan lingkungan.
  3. Prinsip helicy.
    Prinsip bahwa setiap perubahan dalam proses kehidupan manusia berlangsung perlahan-lahan dan terdapat hubungan antara manusia dan lingkungan.
Referensi :
  1. Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC
  2. Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.
  3. Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.
  4. Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.
  5. JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.
  6. JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
  7. Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.
  8. Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.
  9. Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.
  10. Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC

ASKEP Struma

1. Defenisi Struma

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

2. Embriologi Struma

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

3. Anatomi

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior (cabang dari Arteri Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2001).

4. Histologi Struma

Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)

5. Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

6. Metabolisme T3 dan T4

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3',5' triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001).
metabolisme_struma_tsh_t3_t4
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
  1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

    Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
  2. TSH (thyroid stimulating hormone)

    Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
  3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

    Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
  4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

    Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)
  1. Kalorigenik
  2. Termoregulasi
  3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
  4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
  5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
  6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
  7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

7. Klasifikasi Struma

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society for Study of Goiter membagi :
  1. Struma Non Toxic Diffusa
  2. Struma Non Toxic Nodusa
  3. Stuma Toxic Diffusa
  4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
  1. Struma non toxic nodusa

    Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
    1. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
      1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
      2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada pre-existing penyakit tiroid autoimun
      3. Goitrogen :
        1. Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
        2. Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
        3. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar
      4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
      5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
  2. Struma Non Toxic Diffusa
    1. Etiologi: (Mulinda, 2005)
      1. Defisiensi Iodium
      2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
      3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
      4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
      5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid.
      6. Terpapar radiasi
      7. Penyakit deposisi
      8. Resistensi hormon tiroid
      9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
      10. Silent thyroiditis
      11. Agen-agen infeksi
      12. Suppuratif Akut : bacterial
      13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
      14. Keganasan Tiroid
  3. Struma Toxic Nodusa
    1. Etiologi : (Davis, 2005)
      1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
      2. Aktivasi reseptor TSH
      3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
      4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk: Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
  4. Struma Toxic Diffusa

    Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)
    1. Patofisiologi :

      Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa. (Mulinda, 2005)

      Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)

      Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
  1. Bentuk kista : Struma kistik
    1. Mengenai 1 lobus
    2. Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
    3. Kadang Multilobaris
    4. Fluktuasi (+)
  2. Bentuk Noduler: Struma nodusa
    1. Batas Jelas
    2. Konsistensi kenyal sampai keras
    3. Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
  3. Bentuk diffusa: Struma diffusa
    1. batas tidak jelas
    2. Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
  4. Bentuk vaskuler: Struma vaskulosa
    1. Tampak pembuluh darah
    2. Berdenyut
    3. Auskultasi: Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
    4. Kelejar getah bening: Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
  1. Eutiroid
  2. Hipotiroid
  3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
  1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
  2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :

  1. Status Generalis :
    1. Tekanan darah meningkat
    2. Nadi meningkat
  2. Mata :
    1. Exopthalmus
    2. Stelwag Sign: Jarang berkedip
    3. Von Graefe Sign: Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu melihat ke bawah
    4. Morbus Sign : Sukar konvergensi
    5. Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
    6. Ressenbach Sign : Tremor palpebra jika mata tertutup
  3. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
  4. Jantung : Takikardi
  5. Status Lokalis :
    1. Inspeksi
      1. Benjolan
      2. Warna
      3. Permukaan
      4. Bergerak waktu menelan
    2. Palpasi
      1. Permukaan, suhu
      2. Batas :
        1. Atas : Kartilago tiroid
        2. Bawah : incisura jugularis
        3. Medial : garis tengah leher
        4. Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .

Manifestasi klinis

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
  1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
  2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
  3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau (Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994).

Diagnosis

Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :
  1. jumlah nodul
  2. konsistensi
  3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
  4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
  1. lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
  2. ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
  3. konsistensi
  4. mobilitas
  5. infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
  6. apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).
Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :
  1. Pemeriksaan sidik tiroid

    Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk
    1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
    2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih
    3. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
  2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

    Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
    1. Kista
    2. Adenoma
    3. Kemungkinan karsinoma
    4. Tiroiditis
  3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)

    Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).

    Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
  4. Termografi

    Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <0,9o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
  5. Petanda Tumor

    Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Penatalaksanaan

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
  1. Keganasan
  2. Penekanan
  3. Kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher fungsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
  1. Inoperabel
  2. Kontraindikasi operasi
  3. Ada residu tumor setelah operasi
  4. Metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet
Dosis : 3x75 Ug/hari per-oral

STRUMA TOKSIKM

1. Struma difus toksik (Grave's Disease)

Grave's disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave's terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price dan Wilson, 1994).
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan Wilson, 1994).
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis.
Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal an Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001).
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
  1. Obat antitiroid
    1. Indikasi :
      1. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
      2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
      3. Persiapan tiroidektomi
      4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
      5. Pasien dengan krisis tiroid
    2. Obat antitiroid yang sering digunakan :

      Obat

      Dosis awal (mg/hari)

      Pemeliharaan (mg/hari)

      Karbimazol

      30-60

      5-20

      Metimazol

      30-60

      5-20

      Propiltourasil

      300-600

      5-200
  2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
    1. Indikasi :
      1. Pasien umur 35 tahun atau lebih
      2. Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
      3. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
      4. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik

  3. Operasi

    Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
    1. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat antitiroid.
    2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar
    3. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif
    4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik
    5. Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

2. Struma nodular toksik

Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's disease (Sadler et al, 1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al, 1999)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)

PENYAKIT TIROID YANG LAIN

Tiroiditis
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.
Klasifikasi (Noer, 1996) :
  1. Akut (supuratif)

    Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses.

    Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
  2. Subakut

    Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam, malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat, demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat.

    Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
  3. Menahun
    1. Limfositik (Hashimoto)

      Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur 30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.
    2. Non spesifik

      Fibrous-invasif (Riedel)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi., Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
  2. Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,
  3. Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,
  4. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta
  5. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta
  6. http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
  7. http://www.emedicine.com/med/topic920.htm
  8. http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
  9. http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
  10. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
  11. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
  12. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
  13. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999.,Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork

ASKEP Angina Pectoris

Asuhan Keperawatan Angina Pectoris
Angina Pectoris Asuhan Keperawatan Angina Pectoris
 A.    Definisi
Coronary Artery disease adalah penyakit yang berkaitan dengan kerusakan pada arteri koroner seperti angina pectoris dan infark miokard. Beberapa ahli juga menyebutkan dengan istilah Acute Coronery Syndrome (ACS – sindrom koroner akut). Pengertian klinis angina adalah keadaan iskemia miokard karena kurangnya suplai oksigen ke sel-sel otot jantung (miokard) yang disebabkan oleh penyumbatan atau penyempitan arteri koroner, peningkatan beban kerja jantung, dan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen.
Angina pectoris berasal dari bahasa yunani yang berarti “cekikan dada” yaitu gangguan yang sering terjadi karena atherosclerotic heart disease. Terjadinya serangan angina menunjukan adanya iskemia. Iskemia yang terjadi pada angina terbatas pada durasi serangan dan tisak menyebabkan kerusakan permanaen jaringan miokard. Namun, angina merupakan hal yang mengancam kehidupan dan dapat menyebabkan disritmia atau berkembang menjadi infark miokard.(Wajan J.U, 2010).
Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana klien mendapat serangan sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan segera hilang bila aktifitas berhenti. (Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer, 1996).
Angina Pektoris adalah nyeri dada yang ditimbukan karena iskemik miokard dan bersifat sementara atau reversibel.  (Dasar-dasar keperawatan kardiotorasik, 1993).
Angina pektoris adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis rasa tidak nyaman yang biasanya terletak dalam daerah retrosternum. (Penuntun Praktis Kardiovaskuler).
B.     Klasifikasi
Angina diklasifikasikan dalam tipe-tipe yaitu Stable (Stable Exertional) angina. Unstable (Crescendo/pre-infarction) angina dan Variant (Prinzmetal’s) angina.
Stable angina menggambarkan nyeri dada yang timbul saat peningkatan aktivitas fisik maupun stress emosional. Dengan tanda-tanda khas yaitu serangan merupakan gejala baru dan stabil, durasi dan intensitas gejala stabil.
Unstable angina berkaitan dengan nyeri dada yang timbul karena aktivitas dengan derajat yang sulit diramalkan dengan tanda khas yaitu peningkatan frekuensi serangan dan intensitas nyerinya.
Variant angina digambarkan sebagai nyeri dada yang biasanya terjadi selama istirahat atau tidur daripada selama aktivitas. Variant angina terutama disebabkan oleh spasme arteri koroner. Klien dengan variant angina mungkin tidak menunjukan tanda aterosklerotik pada arteri koroner. (Wajan J.U. 2010).
C.    Etiologi
Faktor penyebab Angina Pektoris antara lain:
  1.  Riwayat merokok (Baik perokok aktif maupun perokok pasif)
  2. Angina disebabkan oleh penurunan aliran darah yang menuju area jantung. Keadaan ini paling sering dipicu oleh coronary artery disease (CAD). Kadang-kadang , jenis penyakit jantung yang lain atau hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan angina.
  3. Ateriosklerosis
  4. Spasme arteri koroner
  5. Anemia berat
  6. Artritis
  7. Aorta Insufisiensi
Faktor resiko antara lain adalah:
Dapat Diubah (dimodifikasi)
  • Diet (hiperlipidemia)
  • Rokok
  • Hipertensi
  • Stress
  • Obesitas
  • Kurang aktifitas
  • Diabetes Mellitus
  • Pemakaian kontrasepsi oral
Tidak dapat diubah
  • Usia
  • Jenis Kelamin
  • Ras
  • Herediter
Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan antara lain:
  1. Emosi
  2. Stress
  3. Kerja fisik terlalu berat
  4. Hawa terlalu panas dan lembab
  5. Terlalu kenyang
  6. Banyak merokok
D.    Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak adekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis.
Ateriosklerosis merupakan penyakir arteri koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka artei koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen keotot jantung.
Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.
Angina Pectoris Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksida yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.
Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang.
Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya asam laktat nyeri akan reda.
Sejumlah faktor yang dapat menimbulkan nyeri angina:
  1. Latihan fisik dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
  2. Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokontriksi dan peningkatan tekanan darah, disertai peningkatan kebutuhan oksigen.
  3. Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah mesentrik untuk pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah unuk supai jantung.
  4. Stress atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, menyebabkan frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya tekanan darah dengan demikian beban kerja jantung juga meningkat.
E.     Gejala dan Tanda
  1. Stable angina
    • Nyeri dada timbul setelah melakukan kegiatan atau mengalami stress psikis atau emosi tinggi
    • Serangan berlangsung kurang dari 10 menit dan stabil (frekuensi, lama serangan factor pencetus menetap dalam 30 hari terakhir).
    • Pola EKG
  • Pada fase istirahat : normal
  • Exercise test EKG (treadmill test), segmen STdepresi, gelombang T intervensi (arrow head)
  1. Laboratorium : kadar kardiak iso-enzim normal.
  2. Serangan nyeri dada hilang bila klien beristirahat dan mendapat obat nitrogliserin (vasodilator).
  3. Unstable angina
    • Nyeri dada timbul saat istirahat dan melakukan aktivitas.
    • Nyeri lebih hebat dan frekuensi serangan lebih sering.
    • Serangan berlangsung sampai dengan 30 menit atau lebih.
    • Saat serangan timbul biasanya disertai tanda-tanda sesak napas, mual, muntah, dan diaforsis.
    • Pola EKG: segmen ST depresi saat serangan dan setelah serangan (muncul sebagian).
    • Serangan nyeri dada hilang bila klien mendapat terapi nitrogliserin, narkotik(phetidin/morphin), bed rest total, dan bantuan oksigenasi.
    • Variant atau prinzmetal angina
    • Nyeri dada timbul saat istirahat maupun melakukan aktivitas.
    • Dapat terjadi tanpa aterosklerosis koroner.
    • Kadang-kadang disertai disritmia dan konduksi abnormal.
    • EKG : segmen ST elevasi saat serangan, namun normal bila serangan hilang.
    • Tanda-tanda lain hampir sama dengan unstable angina.
    • Serangan nyeri dada hilang bila klien mendapat terapi nitrogliserin dan obat antispasme arteri.
 F.     Mekanisme Angina
 G.    Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan penunjang
  1. Elektrokardiogram
    Gambaran elektrokardiogram (EKG) yang dibuat pada waktu istirahat dan bukan pada waktu serangan angina seringkali masih normal. Gambaran EKG kadang-kadang menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark moikard pada masa lampau. Kadang-kadang EKG menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina. Kadang-kadang EKG menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. Pada waktu serangan angina, EKG akan menunjukkan adanya depresi segmen ST dan gelombang T menjadi negatif.
  2. Foto Rontgen Dada
Foto rontgen dada seringkali menunjukkan bentuk jantung yang normal, tetapi pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung yang membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
  1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pectoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard jantung akut maka sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT, atau LDH. Enzim tersebut akan meninggi pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida perlu dilakukan untuk menemukan faktor resiko seperti hiperlipidemia dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk menemukan diabetes mellitus yahng juga merupakan faktor risiko bagi pasien angina pectoris.
  1. Uji Latihan Jasmani
Karena pada angina pectoris gambaran EKG seringkali masih normal, maka seringkali perlu dibuat suatu ujian jasmani. Pada uji jasmani tersebut dibuat EKG pada waktu istirahat lalu pasien disuruh melakukan latihan dengan alat treadmill atau sepeda ergometer sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal atau submaksimal dan selama latihan EKG di monitor demikian pula setelah selesai EKG terus di monitor. Tes dianggap positif bila didapatkan depresi segmen ST sebesar 1 mm atau lebih pada waktu latihan atau sesudahnya. Lebih-lebih bila disamping depresi segmen ST juga timbul rasa sakit dada seperti pada waktu serangan, maka kemungkinan besar pasien memang menderita angina pectoris.
Di tempat yang tidak memiliki treadmill, test latihan jasmani dapat dilakukan dengan cara Master, yaitu latihan dengan naik turun tangga dan dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan sesudah melakukan latihan tersebut.
  1. Thallium Exercise Myocardial Imaging
Pemeriksaan ini dilakukan bersama-sama ujian latihan jasmani dan dapat menambah sensifitas dan spesifitas uji latihan.thallium 201 disuntikkan secara intravena pada puncak latihan, kemudian dilakukan pemeriksaan scanning jantung segera setelah latihan dihentikan dan diulang kembali setelah pasien sehat dan kembali normal. Bila ada iskemia maka akan tampak cold spot pada daerah yang yang menderita iskemia pada waktu latihan dan menjadi normal setelah pasien istirahat. Pemeriksaan ini juga menunjukkan bagian otot jantung yang menderita iskemia.
H.    Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan medis angina adalah untuk menurunkan kebutuhan oksigen jantung dan untuk meningkatkan suplai oksigen. Secara medis tujuan ini dicapai melalui terapi farmakologi dan kontrol terhadap faktor risiko. Secara bedah tujuan ini dapat dicapai melalui revaskularisasi suplai darah jantung melalui bedah pintas arteri koroner atau angiosplasti koroner transluminar perkutan (PCTA = percutaneous transluminal coronary angioplasty). Biasanya diterapkan kombinasi antara terapi medis dan pembedahan.
Tiga teknik utama yang menawarkan penyembuhan bagi klien dengan penyakit arteri koroner mencakup penggunaan alat intrakoroner untuk meningkatkan aliran darah, penggunaan laser untuk menguapkan plak dan endarterektomi koroner perkutan untuk mengangkat obstruksi. Penelitian yang bertujuan untuk membandingkan hasil akhir yang dicapai oleh salah satu atau seluruh teknik di atas, melalui bedah pintas koroner dan PTCA sedang dilakukan. Ilmu pengetahuan terus dikembangkan untuk mengurangi gejala dan kemunduran proses angina yang diderita pasien.
I.       Pencegahan
Aterosklerosis koroner adalah penyebab utama kematian dicegah di Amerika Serikat. Sebuah upaya ketat untuk mengatasi faktor risiko diperbaiki adalah andalan kedokteran kardiovaskular pencegahan.
Berhenti merokok adalah satu intervensi pencegahan yang paling efektif untuk mengurangi prevalensi aterosklerosis koroner. Ini telah dikaitkan dengan penurunan penyakit arteri koroner 7-47% dalam pengaturan pencegahan primer.
Pengobatan agresif diabetes mellitus, hipertensi, hipertrofi LV, hiperlipidemia, dan obesitas memiliki peran penting dalam pencegahan penyakit arteri koroner.
Perkembangan terbaru yang paling penting dalam modifikasi risiko aterosklerosis koroner adalah pengenalan inhibitor beta-hidroksi-beta-methylglutaryl A reduktase koenzim. Pengurangan kadar kolesterol total dan LDL sebesar 25% dan 35%, masing-masing, dapat mencapai pengurangan serupa di tingkat kematian total dan koroner, MI, dan kebutuhan untuk revaskularisasi koroner.
Asuhan Keperawatan
 A.    Pengkajian
Riwayat Keperawatan
  1. Keluhan nyeri di dada anterior, prekordial, substernal yang menjalar ke lengan bagian kiri, leher, rahang, pungung dan epigastrium. Nyeri dada seperti tertekan beban berat, terasa berat, dan seperti diremas yang timbul mendadak. Myeri dada yang timbul berhubungan dengan aktivitas berat atau emosi yang hebat (marah dan rangsanan seksual). Durasi serangan nyeri bervariasi tergantung diameter arteri koroner yang tersumbat dan luasnya iskemia miokard. Nyeri dada dapat disertai dengan gejala mual, muntah, diaforsis, dan sesak nafas. Bila nyeri timbul saat klein istirahat atau tidur, maka prognosisnya buruk (kemungkina telah terjadi infark miokard).
  2. Gambaran nyeri dapat merupakan gejala yang baru timbul atau sering hilang timbul. Penyebab yang mempercepat timbulnya nyeri dan hal-hal yang mengurangi nyeri perlu dikaji guna membedakan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala nyeri dada.
  3. Pekerjaan, perlu dicatat tentang jenis pekerjaan klien serta adanya stress fisik dan psikis yang dapat meningkatkan beban keraj jantung.
  4. Hobu : menunjukan gaya hidup klien cara mengatasi keteganagn dan penguranagn aktinitas yang mendadak
  5. Kaji factor risiko penyakit jantung, seperti berikut ini.
    • Riwayat penyakit klen seperti diabetes, hipertensi, penyakit vascular, animea dan lai-lain.
    • Riwayat kesehatan lain :
    • Peningkatan kadar kolesterol (LDL dan HDL), trigliserida, hipertriroid, kebiasaan merokok, konsumsi minuman berakohol, asupan makanan tinggi garam, kafein, asupan cairan, dan BB.
    • Obat-obatan : toleransi terhadap obat-obatan dan terapi yang didapat saat timbul serangan.
    • Riwayat gangguan saluran pencernaan seperti dyspepsia, astritis, peptic uler, dan penyakit lain yang menimbulkan keluhan nyeri epigastrium.
    • Riwayat kesehatan keluarga : riwayat penyakit jantung dan pembuluh dara (arteri koroner) dalam keluarga merupakan factor risiko bagi klien.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang
  1. Elektrokardiogram
    Gambaran elektrokardiogram (EKG) yang dibuat pada waktu istirahat dan bukan pada waktu serangan angina seringkali masih normal. Gambaran EKG kadang-kadang menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark moikard pada masa lampau. Kadang-kadang EKG menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina. Kadang-kadang EKG menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. Pada waktu serangan angina, EKG akan menunjukkan adanya depresi segmen ST dan gelombang T menjadi negatif.
  2. Foto Rontgen Dada
Foto rontgen dada seringkali menunjukkan bentuk jantung yang normal, tetapi pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung yang membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
  1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pectoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard jantung akut maka sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT, atau LDH. Enzim tersebut akan meninggi pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida perlu dilakukan untuk menemukan faktor resiko seperti hiperlipidemia dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk menemukan diabetes mellitus yahng juga merupakan faktor risiko bagi pasien angina pectoris.
  1. Uji Latihan Jasmani
Karena pada angina pectoris gambaran EKG seringkalimasih normal, maka seringkali perlu dibuat suatu ujian jasmani. Pada uji jasmani tersebut dibuat EKG pada waktu istirahat lalu pasien disuruh melakukan latihan dengan alat treadmill atau sepeda ergometer sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal atau submaksimal dan selama latihan EKG di monitor demikian pula setelah selesai EKG terus di monitor. Tes dianggap positif bila didapatkan depresi segmen ST sebesar 1 mm atau lebih pada waktu latihan atau sesudahnya. Lebih-lebih bila disamping depresi segmen ST juga timbul rasa sakit dada seperti pada waktu serangan, maka kemungkinan besar pasien memang menderita angina pectoris.
Di tempat yang tidak memiliki treadmill, test latihan jasmani dapat dilakukan dengan cara Master, yaitu latihan dengan naik turun tangga dan dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan sesudah melakukan latihan tersebut.
  1. Thallium Exercise Myocardial Imaging
Pemeriksaan ini dilakukan bersama-sama ujian latihan jasmani dan dapat menambah sensifitas dan spesifitas uji latihan.thallium 201 disuntikkan secara intravena pada puncak latihan, kemudian dilakukan pemeriksaan scanning jantung segera setelah latihan dihentikan dan diulang kembali setelah pasien sehat dan kembali normal. Bila ada iskemia maka akan tampak cold spot pada daerah yang yang menderita iskemia pada waktu latihan dan menjadi normal setelah pasien istirahat. Pemeriksaan ini juga menunjukkan bagian otot jantung yang menderita iskemia.
Pemeriksaan Fisik
  1. Mengkaji gejala lain guna mengesampingkan keluhan angina non kardiak seperti esofaitis, peptic ulcer, keteganagn otot dan penyakit kantung empedu.
  2. Kaji semua status yang berhubungan dengan jantung berat badan dan tinggi badan kelelahan, warna kulit dan suhu kulit, pola respirasi, toleransi aktivitas,denyt nadi, TD, suhu, edema, bunyi jantung, serta irama dan frekuensi denyut jantung.
  3. Kaji pola tidur dan istirahat tipe kepribadian, serta kecemasan atau kegelisahan.
B.     Diagnosis Keperawatan
  1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik miokard.
  2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan berkurangnya curah jantung.
  3. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan ancaman kematian yang tiba-tiba.
  4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi Keperawatan
  1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik miokard
Tujuan :
Klien memahami tentang dan penatalaksanaan
Criteria hasil :
Klien menyatakan/menunjukan nyeri hilang
Intervensi
Rasional
  1. Letakkan klien pada istirahat total selama episode angina (24-30 jam pertama) dengan posisi semi fowler.
  2.  Observasi tanda vital tiap 5 menit setiap serangan angina.
  3. Ciptakan lingkunan yang tenang, batasi pengunjung bila perlu.
  4. Berikan makanan lembut dan biarkan klien istirahat 1 jam setelah makan.
  5. Tinggal dengan klien yang mengalami nyeri atau tampak cemas.
  6. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
  7. Kolaborasi pengobatan.
  1. Menurunkan kebutuhan oksigen miokard untuk meminimalkan risiko cedera jaringan/ nekrosis.
  2. TD dapat meningkat secara dini sehubungan dengan rangsang simpatis, kemudian turun bila curah jantung dipengaruhi.
  3. Stres mental atau emosi meningkatkan kerja miokard.
  4. Menurunkan kerja miokard sehubungan dengan kerja pencernaan, menurunkan risiko serangan angina
  5. Cemas mengeluarkan katekolamin yang meningkatkan kerja miokard dan dapat memanjangkan nyeri iskemi.
  1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kurangnya curah jantung.
Intervensi
Rasional
  1. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman.
  2. Berikan periode istirahat adekuat, bantu dalam pemenuhan aktifitas perawatan diri sesuai indikasi.
  3. Catat warna kulit dan kualitas nadi.
  4. Tingkatkan aktifitas klien secara teratur.
  5. Pantau EKG dengan sering.
-
  1. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan ancaman kematian yang tiba-tiba.
Intervensi
Rasional
  1. Jelaskan semua prosedur tindakan.
  2. Tingkatkan ekspresi perasaan dan takut.
  3. Dorong keluarga dan teman untuk menganggap klien seperti sebelumnya.
  4. Beritahu klien program medis yang telah dibuat untuk menurunkan/membatasi serangan akan datang dan meningkatkan stabilitas jantung.
  5. Kolaborasi.
  1. Menurunkan cemas dan takut terhadap diagnosa dan prognosis.
  2. Perasaan tidak diekspresikandapat menimbulkan kekacauan internal dan efek gambaran diri.
  3. Meyakinkan pasien bahwa peran dalam keluarga dan kerja tidak berubah.
  4. Mendorong pasien untuk mengontrol tes gejala, untuk meningkatkan kepercayaan pada program medis dan mengintegrasikan kemampuan dalam konsep diri.
  5. Mungkin diperlukan untuk membantu pasien rileks.
  1. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kodisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi
Rasional
  1. Tekankan perlunya mencegah serangan angina.
  2. Dorong untuk menghindari faktor/situasi yang sebagai pencetus episode angina.
  3. Kaji pentingnya kontrol berat badan, menghentikan kebiasaan merokok, perubahan diet dan olah raga.
  4. Tunjukkan/ dorong klien untuk memantau nadi sendiri selama aktifitas, hindari tegangan.
  5. Diskusikan langkah yang diambil bila terjadi serangan angina.
  6. Dorong klien untuk mengikuti program yang telah ditentukan.
  1. Pasien dengan angina membutuhkan belajar mengapa hal itu terjadi dan apakah dapat terkontrol.
  2. Dapat menurunkan insiden/ beratnya episode iskemik.
  3. Pengetahuan faktor resiko penting memberikan pasien kesempatan untuk membuat perubahan kebutuhan.
  4. Membiarkan pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dimodifikasi untuk menghindari stres jantung dan tetap dibawah ambang angina.
  5. Menyiapkan pasien pada kejadian untuk menghilangkan takut yang mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan bila terjadi serangan.
  6. Takut terhadap pencetus serangan dapat menyebabkan pasien menghindari partisipasi pada aktivitas yang telah dibuat untuk meningkatkan perbaikan.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Tema                           : Rokok
Sub tema                     : Bahaya rokok terhadap tubuh
Sasaran                        : Tn. R dan keluarga
Penyuluh                     : Perawat Windya
Tempat                        : Ruang penyakit dalam
Hari dan tanggal         : Kamis, 22 September 2011
Waktu                         : 30 menit
A.    Tujuan instruksional umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit diharapkan Tn. R dan keluarga mengerti tentang bahaya rokok terhadap tubuh.
B.     Tujuan instruksional khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit diharapkan pasien Tn. R mampu :
  1. Menjelaskan secara sederhana pengertian angina pectoris
  2. Menyebutkan penyebab angina pectoris
  3. Menjelaskan secara sederhana bahaya merokok
  4. Menjelaskan upaya pengurangan dan pemberhentian penggunaan rokok

C.    Pokok materi
  1. Pengertian angina pectoris
  2. Penyebab angina pectoris
  3. Bahaya merokok
  4. Upaya pengurangan dan pemberhentian penggunaan rokok
    D.    Metode
    Ceramah
    Tanya jawab

No Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu
1 Pembukaan
  • Salam pembuka
  • Menjelaskan tujuan penyuluhan
  • Apersepsi
  • Menjawab salam
  • Menyimak
  • Mendengarkan dan menjawab pertanyaan
5 menit
2 Kerja/isi
  • Penyampaian garis besar materi tentang bahaya rokok terhadap tubuh
  • Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
  • Menjawab pertanyaan
  • Mendengarkan dengan penuh perhatian
  • Menanyakan hal-hal yang belum jelas
  • Memperhatikan jawaban dari penceramah
15 menit
3 Penutup
  • Evaluasi
  • Menyimpulkan
  • Pesan
  • Salam penutup
  • Tanya jawab
  • Mendengarkan
  • Menerima pesan
  • Menjawab salam

10 menit
E.     Kegiatan penyuluhan
F.     Media :
Brosur
G.    Sumber / referensi :
Chung, EK, Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Jakarta, EGC, 1996
H.    Evaluasi
  1. Tn. R dapat menjelaskan secara sederhana pengertian angina pectoris
  2. Tn. R dapat menyebutkan penyebab angina pectoris
  3. Tn. R dapat menjelaskan secara sederhana bahaya merokok
  4. Tn. R dapat menjelaskan upaya pengurangan dan pemberhentian penggunaan rokok
MATERI
1.      Pengertian angina pectoris
Angina pektoris atau disebut juga Angin Duduk adalah penyakit jantung iskemik didefinisikan sebagai berkurangnya  pasokan oksigen dan menurunnya aliran darah ke dalam miokardium. Gangguan tersebut bisa karena suplai oksigen yang turun (adanya aterosklerosis koroner atau spasme arteria koroner) atau kebutuhan oksigen yang meningkat. Sebagai manifestasi keadaan tersebut akan timbul Angina pektoris yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi infark miokard. Angina pektoris dibagi menjadi 3 jenis yaitu Angina klasik (stabil), Angina varian, dan Angina tidak stabil.
Angina klasik biasanya terjadi saat pasien melakukan aktivitas fisik. Sedangkan Angina varian biasa terjadi saat istirahat dan biasa terjadi di pagi hari. Angina tidak stabil tidak dapat diprediksi waktu kejadiannya, dapat terjadi saat istirahat dan bisa terjadi saat melakukan kegiatan fisik.

2.      Penyebab angina pectoris
  • Latihan fisik
Meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
  • Udara dingin
Mengakibatkan kontriksi, peningkatan tekanan darah serta peningkatan kebutuhan   oksigen jantung.
  • Makanan berat
Meningkatkan aliran darah ke daerah mesentrikus sehingga mengurangi ketersediaan darah untuk jantung.
  • Stres atau emosi
Menyebabkan pelepasan adrenalin sehingga kontraktilitas jantung meningkat
  • Merokok

3.      Bahaya merokok
Kaitan merokok dengan angina pectoris dan aterosklerosis koroner:
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedang glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri (Kusmana dan Hanafi, 1996).
4.      Upaya pengurangan dan pemberhentian penggunaan rokok
  1. Yakinkan diri bahwa berhenti merokok sama sekali tidak sia-sia. Pikirkan kualitas hidup yang lebih baik jika bebas dari asap rokok dan cepat mati jika terus merokok.
  2. Rencanakan sebuah tanggal sebagai hari-H berhenti merokok. Sebelum sampai pada tanggal itu, singkirkan asbak, korek api, dan hal-hal yang bisa memicu Anda kembali merokok. Baru setelah tiba pada tanggal itu, berhentilah merokok sama sekali.
  3. Rencanakan kegiatan untuk tanggal itu. Misalnya pergi ke tempat-tempat yang terdapat “no smoking area”, atau pergi berolahraga.
  4. Buatlah daftar orang-orang yang mendukung usaha Anda berhenti merokok, dan mintalah dukungan moril dari mereka.
  5. Untuk mengatasi gejala putus zat, santaplah makanan rendah kalori dan banyak minum air.
  6. Lawanlah godaan untuk merokok, meski hanya satu hisapan saja. Satu hisapan akan mudah diikuti dengan hisapan-hisapan lain, dan upaya keras Anda akan jadi sia-sia.
  7. Kalau Anda hampir menyerah, tundalah sepuluh menit lagi. Hasrat yang kuat itu akan padam. Kalau masih ingin merokok, tariklah napas dalam-dalam melalui mulut, lalu keluarkan secara perlahan dengan menyempitkan bibir Anda. Ulangi 5-10 kali.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta, EGC, 2000.
Chung, EK, Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Jakarta, EGC, 1996
Doenges, Marylinn E, Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC, 1998
Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah volume 2, Jakarta, EGC, 1998
Long, C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah 2, Bandung, IAPK, 1996
Noer, Sjaifoellah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, FKUI, 1996