Pengertian
|
Jenazah adalah seseorang yang meninggal karena penyakit
|
Tujuan
|
1. Upaya pencegahan standar atau pencegahan dasar pada semua kondisi
2. Mencegah penularan secara kontak pada petugas atau masyarakat umum
|
Kebijakan |
1. Semua kendali dan tanggung jawab ada pada tenaga medis dan paramedis
2. Peralatan
dalam keadaan steril saat digunakan diawal dan dilakukan strilisasi
ulang saat setelah pemakaian sesuai prosedur sterilisasi alat penanganan jenazah
3. Prosedur disini dengan semua prosedur
semua ditangani oleh petugas mulai saat memandikan sampai menguburkan
kecuali saat mensholati yang akan dipimpin oleh modin setempat
4. Pelaksana perawatan jenazah adalah bidan dan perawat tumpang
5. kewaspadaan
dini dalam hal ini yang paling gencar saat ini adalah HIV-AIDS dan
FLU burung, tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit –penyakit lain
yang berbahaya.
|
Prosedur
|
Alat Yang Disiapkan :
Alat pelindung diri diantaranya : sarung tangan, pelindung muka (masker dan kaca mata), gaun/jubah/apron dan pelindung kaki
Penatalaksanaan :
1. Petugas melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik bisa pilih salah satu antiseptik dan dilanjutkan dengan mencuci tangan kembali dengan air mengalir selama 2-5 Menit
2. Semua
Petugas memakai alat pelindung semua alat haru dipakai pada saat
menangani jenazah untuk mengurangi pejanan darah dan cairan tubuh
jenazah
3. Petugas yang sudahberpakain lengkap mengangakat jenazah ke meja untuk dimandikan
4. Setelah
selesasi dimandikan jenazah di siram dengan larutan kaporit , tunggu 5
–10 menit dan bilas ulang dengan air sampai kering dengan dosis
kaporit dengan konsentrasi 35 % : 14 dr kaporit dalam 1 liter air,
kaporit dengan konsentrasi 60% : 8 gr kaporit dalam 1 liter air,
kaporit dengan konsentrasi 70 % :7,1 % gr kaporit dalam 1 liter air
5. Setelah
jenazah kering dilakukan pengkafanan dengan bungkus kain kafan yang
harus dilakukan oleh petugas yang berpakaian lengkap
6. Setelah dikafani pasien dibungkus dengan plastik
7. Setelah petugas selesasi mengakfani petugas menyerahkan ke modin setempat untuk disholatkan
8. Modin memimpin pelaksanaan sholat jenazah sesuai pelaksanaan sholat jenazah
9. Selesai sholat, Selanjutnya jenazah diangkat oleh petugas ke keranda mayat untuk dibawa ke pamakaman
10. Pada
saat sampai petugas menyerahkan kepada modin untuk melakukan ritual
sesuai adat setempat , dan apabila lubang kuburan sudah siap maka selanjutnya pelaksanaan penguburan dapat dilaksanakan
11. Penguburan dilakukan oleh petugas sampai jenazah berada di tanah untuk selanjutnya sesuai penguburan di daerah setempat
|
selamat datang
Kampus ku
Pesan Kami
DATA
Postingan
Komentar
Komentar
Total Tayangan Halaman
Like Facebook
Kamis, 24 Mei 2012
SOP Penatalaksanaan Jenasah HIV / Aids
Prosedur penatalaksanaan tetanus
SARANA
PENATALAKSANAAN
1. Eliminasi Kuman
Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional.
a. Nutrisi dan Cairan :
- Oksigen
- Suction aparatus
PENATALAKSANAAN
- Penderita diterima di penerimaan awal
- Penderita dibaringkan di triage untuk diseleksi dan pemeriksaan awal
- Penderita dibawa ke ruang kartu merah untuk pemeriksaan lebih lanjut
- Penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium
- Berikan oksigen
- Dilakukam penghisapan lendir dengan suction
- Pasang infus RL
- Penderita di MRS kan
1. Eliminasi Kuman
- Debridement
Untuk meghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan yang rusak, membuang benda asing, merawat luka / infeksi umbilicus, membersihkan liang telinga / mengobati otitis media
- Antibiotika
Penicilline procaine 50.000 – 100.000 IU / kg / hari IM, 1 – 2 kali sehari minimal selama 10 hari.2. Netralisasi Toksin :
Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
- Toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di jaringan.
- Dapat diberi TIGH 500 KI (neonatus) – 6000 KI i.m atau ATS 5000 KI – 100.000 KI.
Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional.
a. Nutrisi dan Cairan :
- Pemberian cairan IV disesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita, seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya.
- Beri nutrisi tinggi kalori, bila perlu dengan nutrisi parenteral.
- Bila sonde nasogastric telah dapat dipasang (tanpa memperberat kejang), pemberian makanan per oral hendaknya segera dilaksanakan.
- Pembersihan saluran napas dari lendir.
- Pemberian zat asam tambahan.
- Bila perlu, lakukan tracheostomi (tetanus berat).
- Antikonvulsan diberikan secara titrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan respons klinis.
- Pada penderita yang cepat memburuk (serangan kejang makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi, yaitu dimulai lagi dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan yang lebih tinggi.
- Bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi, harus dilakukan pelumpuhan otot secara total dan dibantu dengan pernapasan makanik (ventilator).
PROSEDUR TETAP TETANUS
|
tetanus
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|||
PROSEDUR TETAP
|
|
|
|
|
|||
|
|||
Pengertian
|
Tetanus adalah kelainan neurologik yang ditandai
oleh peningkatan tonus dan spasme otot yang disebabkan oleh neurotoxin
tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
|
||
Tujuan
|
a.
Menegakkan diagnosis tetanus
b.
Mengupayakan perawatan optimal, sehingga pasien
terselamatkan dengan :
c.
Mencegah komplikasi akibat spasme dan kejang (fraktur
vertebrae), obstruksi nafas, robekan otot, dll.
|
||
Kebijakan
|
a.
Eliminasi sumber toksin
b.
Netralisasi toksin yang tidak terikat
c.
Mencegah spasme/kejang
d.
Bantuan pernapasan jika perlu
e.
Menjaga pemenuhan nutrisi dan cairan
f.
Persiapan perangkat diagnosis dan perawatannya
g.
Pasien tetanus derajat ringan sampai sedang dirawat di
ruang isolasi
h.
Pasien tetanus derajat berat (kejang frekuen dan gangguan
nafas) dirawat di ICU
|
||
Prosedur
|
Menegakkan diagnosis dan derajat tetanus :
Gejala dan tanda klinis :
-
Masa inkubasi 5 hari – 15 minggu, rerata 8-12 hari
-
Gejala awal nyeri daerah inokulasi,diikuti kekakuan otot
sekitarnya.
-
Trismus, disfagi, nyeri/kaku kuduk, bahu dan otot belakang
badan.
-
Kekakuan perut dan otot extremitas proksimal
-
Rhisus Sardonicus dan Epistotonus
-
Kemungkinan apneu atau laringospasme
|
||
|
tetanus
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|||
PROSEDUR TETAP
|
|
|
|
|
|||
|
|||
|
-
Dapat terjadi demam, keadaan kejiwaan tak terganggu
-
Tingkat kesakitan ringan (rigiditas otot dan sedikit/tanpa
spasme ), sedang (trismus, disfagi, rigiditas dan spasme), berat (serangan
hebat berulang dan sering )
-
Komplikasi: pneumonia, obstruksi nafas, robekan otot,
tromboflebitis vena profunda, emboli paru, ulkus dekubitus, rhabdomyolisis,
retensi urin dan konstipasi.
-
Disfungsi otonom ditandai hipertensi labil atau menetap,
takikardi, aritmia, hiperpireksia, keringat berlebihan, vasokontriksi
perifer, peningkatan katekolamin plasma dan perifer.
-
Hipotensi dan bradikardi
Laboratorium :
-
Biakan luka
-
Kadar ensim otot dapat meningkat
-
Penunjang lain : EKG, foto thoraks
|
||
Prosedur
|
Persiapan :
-
Menyediakan ruang isolasi (terpisah, pencahayaan tak
terang, tenang )
-
Menyediakan ruang ICU
-
Menyediakan pendukung laboratorium dan lainnya
-
Menyediakan infus set, abbocath, suction, NGT, kateter
urin, cairan infus D 5%, RL dan nutrisi
-
Menyediakan obat : ATS, Human tetanus imunoglobulin,
Penicilin, Clindamisin, eritromisin, metronidasol,diazepam, midasolam,
barbiturat, klorpromasin,agen pelemas otot/vekuronium, agen penghambat
alfa/beta : clonidin, morfin
|
||
|
tetanus
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|||
PROSEDUR TETAP
|
|
|
|
|
|||
|
|||
|
Terapi
-
Luka dieksplorasi hati-hati, dibersihkan dan debridement menyeluruh serta diambil
sample biakan luka
-
Rawat pasien di ruang isolasi dengan pengawasan ketat
(cegah dekubitus, pemberian diet adekuat kalau perlu parenteral)
-
Pemberian Human TIG 3000 - 6000 (5000 IU) im, dalam dosis
terbagi atau ATS 100.000 unit sebagian IM sebagian IV (minimal 10.000 unit).
-
Pemberian Penicilin 10-20 juta unit perhari selam 10 hari
-
Bila alergi penisilin bisa diganti : Clindamisin,
eritromisin, metronidasol
-
Pengendalian spasme otot dengan
diazepam/midasolam/barbiturat/ klorpromasin, atau jika tidak respon terapi
dapat digunakan agen vekuronium kalau perlu intubasi atau trakeostomi dan
pemasangan ventilator
Bila ada disfungsi otonomik dapat diberikan agen
alfa/beta bloker, Clonidin dan morfin
sulfat
|
||
Unit terkait
|
Perawatan Penyakit Dalam, ICU, SMF THT, Saraf
|
||
|
|
Rabu, 23 Mei 2012
ECT
PERAN PERAWAT
DALAM ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Electro
Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum.
Pengobatan ECT tetap kontroversial dan beberapa pandangan yang saling bertentangan tentang hal itu. ECT
saat ini sah walaupun efek dari ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun
mekanisme kerjanya belum diketahui, terapi ini efektif tidak nyeri dan
aman (angka kematian lebih sedikit daripada terapi lain atau pada yang
tidak diobati : 0,01-0,03 % dari pasien yang diterapi).
Electro
Convulsive Therapy/ ECT, diperkenalkan oleh Carletti dan Bini pada
tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan
gangguan mental. ECT juga dikenal sebagai terapi kejut listrik,
digunakan sebagai perawatan akut rumah sakit pada pasien depresi
perilaku yang agitasi atau pasien yang bunuh diri, psikotik, atau
berbahaya bagi orang lain.
1.2. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari Electro Convulsive Therapy/ ECT.
2. Mempelajari Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
1.3. Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
- Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy/ ECT dan penggunaannya serta Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
- Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERAN PERAWAT
Peran
merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
perawat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar
profesi keperawatan dan bersifat konstan. Beberapa elemen peran perawat
professional meliputi:
a. Care giver (sebagai pemberi asuhan keperawatan)
Sebagai
pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada pasien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
b. Client advocate (sebagai pembela untuk melindungi pasien)
Sebagai
advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara pasien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien,
membela kepentingan pasien dan membantu pasien memahami semua informasi
dan upeya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan
tradisional maupun professional.
c. Counseller (sebagai pemberi bimbingan-konseling pasien)
Tugas
utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi pasien
terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan
dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan
adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada pasien, keluarga dan
masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas.
d. Educator (sebagai pendidik pasien)
Sebagai
pendidik pasien perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya
malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan
tindakan medic yang diterima sehingga pasien/keluarga dapat menerima
tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.
e. Collaborator (sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain)
Perawat
bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan
rencan maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna memenuhi kebutuhan
kesehatan pasien.
f. Coordinator (sebagai coordinator, agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi pasien)
Perawat
memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi
maupun kemampuan pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada
intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.
g. Change agent (sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan)
Sebagai
pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap,
bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan pasien/keluarga agar
menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan
yang sistematis dalam berhubungan dengan pasien dan cara memberikan
keperawatan kepada pasien
h. Consultan (sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah pasien)
Elemen
ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan pasien terhadap
informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini
dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan
kondisi spesifik lain.
2.2. TERAPI KEJANG LISTRIK (ELECTRO CONVULSIVE THERAPY/ ECT)
A. Pengertian
Electro Convulsive Therapy/ ECT, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia, Ugo Carletti dan Lucio Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT
digunakan secara luas pada tahun 1950-an dan 1960-an untuk berbagai
kondisi. Sekarang ECT hanya boleh digunakan dalam jumlah yang lebih
kecil dan pada kondisi yang lebih serius.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia
mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali
seminggu. ECT efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar.
Terapi
ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998).
Electro
Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).
ECT
bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek
terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang
yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja
ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun
beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar
serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang
tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
Terapi
ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang
diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis.
Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit
kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan
dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.
Pada
saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan
kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT,
pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan
dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot
diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot
rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan
kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien
terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar
perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.
B. Prinsip Terapi
Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah
tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap
pasien tergantung pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai
hasil pengkajian selama tindakan.
1. Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.
2. Rentang
jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif
atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan
10-20 terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan
sampai 30 kali.
ECT
biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari,
selama dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah
mulai terlihat setelah 2-6 terapi.
3. Antidepresan
rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil
karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan
tinggi.
4. ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka tidak ingin menjalaninya lagi.
C. Indikasi Pemberian ECT
ECT
adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan yang
direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada
setiap pasien yang tidak membaik.
Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati :
1. Gangguan
afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit
mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap
obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang memiliki kondisi
medis).
ECT
adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang
menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai
langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau psikoterapi.
Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT 80-90%
dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih). Terapi ECT biasanya
tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan, yaitu gangguan
disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam depresi.
2. Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut)
: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon
yang baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika
kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan
ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak
berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT,
tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu
berguna/ tidak efektif.
3. Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik.
ECT
juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri mereka
sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai
obat-obatan berpengaruh.
4. Jika
efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek
terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/
gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa
kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk kehamilan). Namun
diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil,
anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin
ditimbulkannya.
5. Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain.
D. Kontra Indikasi Pemberian ECT
Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak.
1. Resiko sangat tinggi
- Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek anestesi umum.
- Peningkatan
tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang
berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat
meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa
adanya papiledema sebelum melakukan ECT.
- Infark
Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan
aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat
melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot
jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang
- Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi (pelemas otot)
- Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif),
berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung
hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara meningkatkan tekanan
darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol, paling tidak
sebelum setiap pengobatan.
- Infeksi
berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru,
kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.
E. Efek Samping dari Pemberian ECT
Efek
samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari
anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul
adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah perawatan).
Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap peristiwa
tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan
kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga
menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih
diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1. Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
3. ECT
dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang
sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak
diindikasikan untuk ECT.
Efek Cerebral :
1. Peningkatan konsumsi oksigen.
2. Peningkatan cerebral blood flow
3. Peningkatan tekanan intra cranial
4. Amnesia
(retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi,
berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode
bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organisitas sebelumnya.
Efek lain :
1. Peningkatan tekanan intra okuler
2. Peningkatan tekanan intragastric
3. Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat), pusing.
4. Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.
5. Fraktur
vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung
dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila relaksasi
otot baik.
6. Resiko anestesi pada ECT
7. Kematian dengan angka mortalitas 0,002%
F. Perlengkapan Untuk Terapi ECT
a. Perlengkapan
dan peralatan tindakan, termasuk perekat electrode dan gel, kasa,
alcohol, larutan garam (saline), electrode EEG, dan kertas grafik.
b. Perlengkapan untuk memantau, termasuk Elektro Kardio Graf (EKG) dan electrode EKG.
c. Alat pengukur tekanan darah (2), stimulator saraf perifer dan oksimeter denyut nadi.
d. Stetoskop.
e. Palu reflex.
f. Peralatan untuk intravena.
g. Balok penggigit dengan tempatnya.
h. Alat pengikat dengan kasur yang keras dan berisi pengaman dengan tempat berbaring yang dapat diangkat bagian kaki dan kepala.
i. Peralataqn penghisap lendir (suction).
j. Perlengkapan
ventilasi, termasuk selang, masker. Saluran udara oral, perlengkapan
intubasidengan system pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan
oksigen positif.
k. Obat-obat untuk keadaan darurat sebagaimana yang direkomendasikan oleh staf anestesi.
l. Berbagai
obat-obatan yang tidak disiapkan oleh staf anestesi untuk pengobatan
medic selama ECT seperti labetalol, emolol, glikopirolate, karein,
kurare, midazolam, diazepam, thiopental sodium (pentotal), metoheksital
sodium (brevital) dan suksinilkolin.
2.3. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Kelengkapan data yang ada kaitannya dengan terapi ini :
a. Pemeriksaan
fisik terutama Electrokardiogram (pemeriksaan jantung) dan tanda-tanda
vital Temperature Nadi Pernafasan Tekanan Darah
b. Riwayat medis standar termasuk status neurologic
c. Thorax foto dan tulang belakang,
d. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan (pemeriksaan darah perifer lengkap, kimia
darah, urinalisis, VDRL, CT Scan atau EEG jika status neurologi
abnormal).
e. Suatu kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed Concent).
1. Inform Consent dari pasien yang kompeten dan dengan suka rela.
2. Inform
Consent dari wali pada pasien suka rela, tetapi tidak kompeten dan pada
pasien yang tidak dapat memberikan keputusan terapi.
3. Persetujuan
pengadilan untuk pemberian ECT pada pasien yang menolak dan tidak
secara sukarela menerima terapi ECT, yang dapat berbahaya bagi dirinya
atau bagi orang lain. Pada beberapa Negara, ECT dalam keadaan apapun
tidak dapat diberikan pada pasien dengan pelaksanaan tak sukarela.
Langganan:
Postingan (Atom)