selamat datang

Kampus ku

Pesan Kami

DATA

Postingan
Komentar

Total Tayangan Halaman

Like Facebook


Kamis, 24 Mei 2012

SOP Penatalaksanaan Jenasah HIV / Aids

Pengertian      
Jenazah adalah seseorang yang meninggal karena penyakit

Tujuan
1.       Upaya pencegahan standar atau pencegahan dasar pada semua kondisi
2.       Mencegah penularan secara kontak pada petugas atau masyarakat umum

Kebijakan

1.       Semua kendali dan tanggung jawab ada pada tenaga medis dan paramedis
2.       Peralatan dalam keadaan steril saat digunakan diawal dan dilakukan strilisasi ulang saat setelah pemakaian sesuai prosedur sterilisasi alat  penanganan jenazah
3.       Prosedur disini dengan semua  prosedur semua ditangani oleh petugas mulai saat memandikan sampai menguburkan kecuali saat mensholati yang akan dipimpin oleh modin setempat
4.       Pelaksana perawatan jenazah adalah bidan dan perawat tumpang
5.       kewaspadaan dini dalam hal ini yang paling gencar saat ini adalah HIV-AIDS dan FLU burung, tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit –penyakit lain yang berbahaya.

Prosedur
Alat Yang Disiapkan :
Alat pelindung diri diantaranya : sarung tangan, pelindung muka (masker dan kaca mata), gaun/jubah/apron dan pelindung kaki

Penatalaksanaan :
1.       Petugas melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik bisa pilih salah satu antiseptik  dan dilanjutkan dengan mencuci tangan kembali dengan air mengalir selama 2-5 Menit
2.       Semua Petugas memakai alat pelindung semua alat haru dipakai pada saat menangani jenazah untuk mengurangi pejanan darah dan cairan tubuh jenazah
3.       Petugas yang sudahberpakain lengkap mengangakat jenazah ke meja untuk dimandikan
4.       Setelah selesasi dimandikan jenazah di siram dengan larutan kaporit , tunggu 5 –10 menit dan bilas ulang dengan air sampai kering dengan dosis kaporit dengan konsentrasi 35 % : 14 dr kaporit dalam 1 liter air, kaporit dengan konsentrasi 60% : 8 gr kaporit dalam 1 liter air, kaporit dengan konsentrasi 70 % :7,1 % gr kaporit dalam 1 liter air
5.       Setelah jenazah kering dilakukan pengkafanan dengan bungkus kain kafan yang harus dilakukan oleh petugas yang berpakaian lengkap
6.       Setelah dikafani pasien dibungkus dengan plastik 
7.       Setelah petugas selesasi mengakfani petugas menyerahkan ke modin setempat untuk disholatkan
8.       Modin memimpin pelaksanaan sholat jenazah  sesuai pelaksanaan sholat jenazah
9.       Selesai sholat, Selanjutnya jenazah diangkat oleh petugas ke keranda mayat untuk dibawa ke pamakaman
10.   Pada saat sampai petugas menyerahkan kepada modin untuk melakukan ritual sesuai adat setempat , dan apabila lubang kuburan sudah siap  maka selanjutnya pelaksanaan penguburan dapat dilaksanakan
11.   Penguburan dilakukan oleh petugas sampai jenazah berada di tanah untuk selanjutnya sesuai penguburan di daerah setempat

Prosedur penatalaksanaan tetanus

SARANA

  • Oksigen
  • Suction aparatus

PENATALAKSANAAN
  1. Penderita diterima di penerimaan awal
  2. Penderita dibaringkan di triage untuk diseleksi dan pemeriksaan awal
  3. Penderita dibawa ke ruang kartu merah untuk pemeriksaan lebih lanjut
  4. Penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium
  5. Berikan oksigen
  6. Dilakukam penghisapan lendir dengan suction
  7. Pasang infus RL
  8. Penderita di MRS kan
Pada dasarnya, penatalaksaannya tetanus bertujuan untuk :
1. Eliminasi Kuman
  • Debridement
Untuk meghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan yang rusak, membuang benda asing, merawat luka / infeksi umbilicus, membersihkan liang telinga / mengobati otitis media
  • Antibiotika
Penicilline procaine 50.000 – 100.000 IU / kg / hari IM, 1 – 2 kali sehari minimal selama 10 hari.
Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
2. Netralisasi Toksin :
  • Toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di jaringan.
  • Dapat diberi TIGH 500 KI (neonatus) – 6000 KI i.m atau ATS 5000 KI – 100.000 KI.
3. Perawatan Suportif :
Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional.
a. Nutrisi dan Cairan :
  • Pemberian cairan IV disesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita, seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya.
  • Beri nutrisi tinggi kalori, bila perlu dengan nutrisi parenteral.
  • Bila sonde nasogastric telah dapat dipasang (tanpa memperberat kejang), pemberian makanan per oral hendaknya segera dilaksanakan.
b. Menjaga agar pernapasan tetap efisien :
  • Pembersihan saluran napas dari lendir.
  • Pemberian zat asam tambahan.
  • Bila perlu, lakukan tracheostomi (tetanus berat).
c. kekakuan dan mengatasi kejang :
  • Antikonvulsan diberikan secara titrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan respons klinis.
  • Pada penderita yang cepat memburuk (serangan kejang makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi, yaitu dimulai lagi dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan yang lebih tinggi.
  • Bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi, harus dilakukan pelumpuhan otot secara total dan dibantu dengan pernapasan makanik (ventilator).

PROSEDUR TETAP TETANUS



tetanus









PROSEDUR TETAP


 


Pengertian
Tetanus adalah kelainan neurologik yang ditandai oleh peningkatan tonus dan spasme otot yang disebabkan oleh neurotoxin tetanospasmin yang dihasilkan oleh  Clostridium tetani.
Tujuan
a.      Menegakkan diagnosis tetanus
b.      Mengupayakan perawatan optimal, sehingga pasien terselamatkan dengan :
c.      Mencegah komplikasi akibat spasme dan kejang (fraktur vertebrae), obstruksi nafas, robekan otot, dll.
Kebijakan
a.      Eliminasi sumber toksin
b.      Netralisasi toksin yang tidak terikat
c.      Mencegah spasme/kejang
d.      Bantuan pernapasan jika perlu
e.      Menjaga pemenuhan nutrisi dan cairan
f.        Persiapan perangkat diagnosis dan perawatannya
g.      Pasien tetanus derajat ringan sampai sedang dirawat di ruang isolasi
h.      Pasien tetanus derajat berat (kejang frekuen dan gangguan nafas) dirawat di ICU
Prosedur
Menegakkan diagnosis  dan derajat tetanus :
Gejala dan tanda klinis  :
-          Masa inkubasi 5 hari – 15 minggu, rerata 8-12 hari
-          Gejala awal nyeri daerah inokulasi,diikuti kekakuan otot sekitarnya.
-          Trismus, disfagi, nyeri/kaku kuduk, bahu dan otot belakang badan.
-          Kekakuan perut dan otot extremitas proksimal
-          Rhisus Sardonicus dan Epistotonus
-          Kemungkinan apneu atau laringospasme


tetanus









PROSEDUR TETAP


 



-          Dapat terjadi demam, keadaan kejiwaan tak terganggu
-          Tingkat kesakitan ringan (rigiditas otot dan sedikit/tanpa spasme ), sedang (trismus, disfagi, rigiditas dan spasme), berat (serangan hebat berulang dan sering )
-          Komplikasi: pneumonia, obstruksi nafas, robekan otot, tromboflebitis vena profunda, emboli paru, ulkus dekubitus, rhabdomyolisis, retensi urin dan konstipasi.
-          Disfungsi otonom ditandai hipertensi labil atau menetap, takikardi, aritmia, hiperpireksia, keringat berlebihan, vasokontriksi perifer, peningkatan katekolamin plasma dan perifer.
-          Hipotensi dan bradikardi
Laboratorium :
-          Biakan luka
-          Kadar ensim otot dapat meningkat
-          Penunjang lain : EKG, foto thoraks

Prosedur
Persiapan :
-          Menyediakan ruang isolasi (terpisah, pencahayaan tak terang, tenang )
-          Menyediakan ruang ICU
-          Menyediakan pendukung laboratorium dan lainnya
-          Menyediakan infus set, abbocath, suction, NGT, kateter urin, cairan infus D 5%, RL dan nutrisi
-          Menyediakan obat : ATS, Human tetanus imunoglobulin, Penicilin, Clindamisin, eritromisin, metronidasol,diazepam, midasolam, barbiturat, klorpromasin,agen pelemas otot/vekuronium, agen penghambat alfa/beta : clonidin, morfin




tetanus









PROSEDUR TETAP


 



Terapi
-        Luka dieksplorasi hati-hati, dibersihkan dan debridement menyeluruh serta diambil sample biakan luka
-        Rawat pasien di ruang isolasi dengan pengawasan ketat (cegah dekubitus, pemberian diet adekuat kalau perlu parenteral)
-        Pemberian Human TIG 3000 - 6000 (5000 IU) im, dalam dosis terbagi atau ATS 100.000 unit sebagian IM sebagian IV (minimal 10.000 unit).
-        Pemberian Penicilin 10-20 juta unit perhari selam 10 hari
-        Bila alergi penisilin bisa diganti : Clindamisin, eritromisin, metronidasol
-        Pengendalian spasme otot dengan diazepam/midasolam/barbiturat/ klorpromasin, atau jika tidak respon terapi dapat digunakan agen vekuronium kalau perlu intubasi atau trakeostomi dan pemasangan ventilator
Bila ada disfungsi otonomik dapat diberikan agen alfa/beta bloker,  Clonidin dan morfin sulfat

Unit terkait
Perawatan Penyakit Dalam, ICU, SMF THT, Saraf




Rabu, 23 Mei 2012

ECT



PERAN PERAWAT
DALAM ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum.
Pengobatan ECT tetap kontroversial dan beberapa pandangan yang saling bertentangan tentang hal itu. ECT saat ini sah walaupun efek dari ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui, terapi ini efektif tidak nyeri dan aman (angka kematian lebih sedikit daripada terapi lain atau pada yang tidak diobati : 0,01-0,03 % dari pasien yang diterapi).
Electro Convulsive Therapy/ ECT, diperkenalkan oleh Carletti dan Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT juga dikenal sebagai terapi kejut listrik, digunakan sebagai perawatan akut rumah sakit pada pasien depresi perilaku yang agitasi atau pasien yang bunuh diri, psikotik, atau berbahaya bagi orang lain.

1.2.   Tujuan
         Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1.       Mempelajari Electro Convulsive Therapy/ ECT.
2.       Mempelajari Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.

1.3.   Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
-          Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy/ ECT dan penggunaannya serta Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
-          Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PERAN PERAWAT
Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan. Beberapa elemen peran perawat professional meliputi:
a.      Care giver (sebagai pemberi asuhan keperawatan)
Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada pasien, menggunakan pendekatan proses keperawatan.
b.      Client advocate (sebagai pembela untuk melindungi pasien)
Sebagai advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara pasien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela kepentingan pasien dan membantu pasien memahami semua informasi dan upeya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun professional.
c.         Counseller (sebagai pemberi bimbingan-konseling pasien)
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi pasien terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada pasien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas.
d.      Educator (sebagai pendidik pasien)
Sebagai pendidik pasien perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medic yang diterima sehingga pasien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.
e.                Collaborator (sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain)
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencan maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna memenuhi kebutuhan kesehatan pasien.
f.         Coordinator (sebagai coordinator, agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi pasien)
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun kemampuan pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.
g.      Change agent (sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan)
Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan pasien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan pasien dan cara memberikan keperawatan kepada pasien
h.      Consultan (sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah pasien)
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik lain.

2.2.  TERAPI KEJANG LISTRIK (ELECTRO CONVULSIVE THERAPY/ ECT)
A.    Pengertian
Electro Convulsive Therapy/ ECT, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia, Ugo Carletti dan Lucio Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT digunakan secara luas pada tahun 1950-an dan 1960-an untuk berbagai kondisi. Sekarang ECT hanya boleh digunakan dalam jumlah yang lebih kecil dan pada kondisi yang lebih serius.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar.
Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998).
Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
Terapi ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.
Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.

B.     Prinsip Terapi
Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan.
1.      Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.
2.      Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan 10-20 terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali.
ECT biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari, selama dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah mulai terlihat setelah 2-6 terapi.
3.      Antidepresan rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan tinggi.
4.      ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka tidak ingin menjalaninya lagi.

C.    Indikasi Pemberian ECT
ECT adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan yang direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada setiap pasien yang tidak membaik.
Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati : 
1.      Gangguan afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang memiliki kondisi medis).
ECT adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau psikoterapi. Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT 80-90% dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih). Terapi ECT biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan, yaitu gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam depresi.
2.      Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut) : skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon yang baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu berguna/ tidak efektif.
3.      Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu  pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik.
ECT juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri mereka sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai obat-obatan berpengaruh.
4.      Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/ gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk kehamilan). Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin ditimbulkannya.
5.      Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain.

D.    Kontra Indikasi Pemberian ECT
Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak.
1.      Resiko sangat tinggi
-       Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek anestesi umum.
-       Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa adanya papiledema sebelum melakukan ECT.
-       Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2.      Resiko sedang
-       Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi (pelemas otot)
-       Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.
-       Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.

E.     Efek Samping dari Pemberian ECT
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1.      Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2.      Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
3.      ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak diindikasikan untuk ECT.

Efek Cerebral :
1.      Peningkatan konsumsi oksigen.
2.      Peningkatan cerebral blood flow
3.      Peningkatan tekanan intra cranial
4.      Amnesia (retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi, berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organisitas sebelumnya.

Efek lain :
1.      Peningkatan tekanan intra okuler
2.      Peningkatan tekanan intragastric
3.      Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat), pusing.
4.      Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.
5.      Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila relaksasi otot baik.
6.      Resiko anestesi pada ECT
7.      Kematian dengan angka mortalitas 0,002%

F.     Perlengkapan Untuk Terapi ECT
a.       Perlengkapan dan peralatan tindakan, termasuk perekat electrode dan gel, kasa, alcohol, larutan garam (saline), electrode EEG, dan kertas grafik.
b.      Perlengkapan untuk memantau, termasuk Elektro Kardio Graf (EKG) dan electrode EKG.
c.       Alat pengukur tekanan darah (2), stimulator saraf perifer dan oksimeter denyut nadi.
d.      Stetoskop.
e.       Palu reflex.
f.       Peralatan untuk intravena.
g.      Balok penggigit dengan tempatnya.
h.      Alat pengikat dengan kasur yang keras dan berisi pengaman dengan tempat berbaring yang dapat diangkat bagian kaki dan kepala.
i.        Peralataqn penghisap lendir (suction).
j.        Perlengkapan ventilasi, termasuk selang, masker. Saluran udara oral, perlengkapan intubasidengan system pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif.
k.      Obat-obat untuk keadaan darurat sebagaimana yang direkomendasikan oleh staf anestesi.
l.        Berbagai obat-obatan yang tidak disiapkan oleh staf anestesi untuk pengobatan medic selama ECT seperti labetalol, emolol, glikopirolate, karein, kurare, midazolam, diazepam, thiopental sodium (pentotal), metoheksital sodium (brevital) dan suksinilkolin.

2.3. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.      Kelengkapan data yang ada kaitannya dengan terapi ini :
a.       Pemeriksaan fisik terutama Electrokardiogram (pemeriksaan jantung) dan tanda-tanda vital Temperature Nadi Pernafasan Tekanan Darah
b.      Riwayat medis standar termasuk status neurologic
c.       Thorax foto dan tulang belakang,
d.      Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan (pemeriksaan darah perifer lengkap, kimia darah, urinalisis, VDRL, CT Scan atau EEG jika status neurologi abnormal).
e.       Suatu kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed Concent).
1.      Inform Consent dari pasien yang kompeten dan dengan suka rela.
2.      Inform Consent dari wali pada pasien suka rela, tetapi tidak kompeten dan pada pasien yang tidak dapat memberikan keputusan terapi.
3.      Persetujuan pengadilan untuk pemberian ECT pada pasien yang menolak dan tidak secara sukarela menerima terapi ECT, yang dapat berbahaya bagi dirinya atau bagi orang lain. Pada beberapa Negara, ECT dalam keadaan apapun tidak dapat diberikan pada pasien dengan pelaksanaan tak sukarela.