PERAN PERAWAT
DALAM ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Electro
Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum.
Pengobatan ECT tetap kontroversial dan beberapa pandangan yang saling bertentangan tentang hal itu. ECT
saat ini sah walaupun efek dari ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun
mekanisme kerjanya belum diketahui, terapi ini efektif tidak nyeri dan
aman (angka kematian lebih sedikit daripada terapi lain atau pada yang
tidak diobati : 0,01-0,03 % dari pasien yang diterapi).
Electro
Convulsive Therapy/ ECT, diperkenalkan oleh Carletti dan Bini pada
tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan
gangguan mental. ECT juga dikenal sebagai terapi kejut listrik,
digunakan sebagai perawatan akut rumah sakit pada pasien depresi
perilaku yang agitasi atau pasien yang bunuh diri, psikotik, atau
berbahaya bagi orang lain.
1.2. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari Electro Convulsive Therapy/ ECT.
2. Mempelajari Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
1.3. Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
- Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy/ ECT dan penggunaannya serta Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
- Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERAN PERAWAT
Peran
merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
perawat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar
profesi keperawatan dan bersifat konstan. Beberapa elemen peran perawat
professional meliputi:
a. Care giver (sebagai pemberi asuhan keperawatan)
Sebagai
pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada pasien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
b. Client advocate (sebagai pembela untuk melindungi pasien)
Sebagai
advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara pasien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien,
membela kepentingan pasien dan membantu pasien memahami semua informasi
dan upeya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan
tradisional maupun professional.
c. Counseller (sebagai pemberi bimbingan-konseling pasien)
Tugas
utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi pasien
terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan
dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan
adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada pasien, keluarga dan
masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas.
d. Educator (sebagai pendidik pasien)
Sebagai
pendidik pasien perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya
malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan
tindakan medic yang diterima sehingga pasien/keluarga dapat menerima
tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.
e. Collaborator (sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain)
Perawat
bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan
rencan maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna memenuhi kebutuhan
kesehatan pasien.
f. Coordinator (sebagai coordinator, agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi pasien)
Perawat
memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi
maupun kemampuan pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada
intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.
g. Change agent (sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan)
Sebagai
pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap,
bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan pasien/keluarga agar
menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan
yang sistematis dalam berhubungan dengan pasien dan cara memberikan
keperawatan kepada pasien
h. Consultan (sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah pasien)
Elemen
ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan pasien terhadap
informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini
dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan
kondisi spesifik lain.
2.2. TERAPI KEJANG LISTRIK (ELECTRO CONVULSIVE THERAPY/ ECT)
A. Pengertian
Electro Convulsive Therapy/ ECT, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia, Ugo Carletti dan Lucio Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT
digunakan secara luas pada tahun 1950-an dan 1960-an untuk berbagai
kondisi. Sekarang ECT hanya boleh digunakan dalam jumlah yang lebih
kecil dan pada kondisi yang lebih serius.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia
mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali
seminggu. ECT efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar.
Terapi
ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998).
Electro
Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).
ECT
bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek
terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang
yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja
ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun
beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar
serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang
tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
Terapi
ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang
diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis.
Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit
kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan
dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.
Pada
saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan
kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT,
pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan
dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot
diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot
rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan
kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien
terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar
perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.
B. Prinsip Terapi
Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah
tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap
pasien tergantung pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai
hasil pengkajian selama tindakan.
1. Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.
2. Rentang
jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif
atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan
10-20 terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan
sampai 30 kali.
ECT
biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari,
selama dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah
mulai terlihat setelah 2-6 terapi.
3. Antidepresan
rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil
karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan
tinggi.
4. ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka tidak ingin menjalaninya lagi.
C. Indikasi Pemberian ECT
ECT
adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan yang
direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada
setiap pasien yang tidak membaik.
Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati :
1. Gangguan
afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit
mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap
obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang memiliki kondisi
medis).
ECT
adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang
menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai
langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau psikoterapi.
Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT 80-90%
dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih). Terapi ECT biasanya
tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan, yaitu gangguan
disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam depresi.
2. Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut)
: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon
yang baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika
kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan
ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak
berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT,
tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu
berguna/ tidak efektif.
3. Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik.
ECT
juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri mereka
sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai
obat-obatan berpengaruh.
4. Jika
efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek
terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/
gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa
kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk kehamilan). Namun
diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil,
anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin
ditimbulkannya.
5. Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain.
D. Kontra Indikasi Pemberian ECT
Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak.
1. Resiko sangat tinggi
- Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek anestesi umum.
- Peningkatan
tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang
berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat
meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa
adanya papiledema sebelum melakukan ECT.
- Infark
Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan
aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat
melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot
jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang
- Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi (pelemas otot)
- Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif),
berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung
hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara meningkatkan tekanan
darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol, paling tidak
sebelum setiap pengobatan.
- Infeksi
berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru,
kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.
E. Efek Samping dari Pemberian ECT
Efek
samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari
anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul
adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah perawatan).
Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap peristiwa
tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan
kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga
menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih
diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1. Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
3. ECT
dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang
sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak
diindikasikan untuk ECT.
Efek Cerebral :
1. Peningkatan konsumsi oksigen.
2. Peningkatan cerebral blood flow
3. Peningkatan tekanan intra cranial
4. Amnesia
(retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi,
berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode
bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organisitas sebelumnya.
Efek lain :
1. Peningkatan tekanan intra okuler
2. Peningkatan tekanan intragastric
3. Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat), pusing.
4. Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.
5. Fraktur
vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung
dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila relaksasi
otot baik.
6. Resiko anestesi pada ECT
7. Kematian dengan angka mortalitas 0,002%
F. Perlengkapan Untuk Terapi ECT
a. Perlengkapan
dan peralatan tindakan, termasuk perekat electrode dan gel, kasa,
alcohol, larutan garam (saline), electrode EEG, dan kertas grafik.
b. Perlengkapan untuk memantau, termasuk Elektro Kardio Graf (EKG) dan electrode EKG.
c. Alat pengukur tekanan darah (2), stimulator saraf perifer dan oksimeter denyut nadi.
d. Stetoskop.
e. Palu reflex.
f. Peralatan untuk intravena.
g. Balok penggigit dengan tempatnya.
h. Alat pengikat dengan kasur yang keras dan berisi pengaman dengan tempat berbaring yang dapat diangkat bagian kaki dan kepala.
i. Peralataqn penghisap lendir (suction).
j. Perlengkapan
ventilasi, termasuk selang, masker. Saluran udara oral, perlengkapan
intubasidengan system pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan
oksigen positif.
k. Obat-obat untuk keadaan darurat sebagaimana yang direkomendasikan oleh staf anestesi.
l. Berbagai
obat-obatan yang tidak disiapkan oleh staf anestesi untuk pengobatan
medic selama ECT seperti labetalol, emolol, glikopirolate, karein,
kurare, midazolam, diazepam, thiopental sodium (pentotal), metoheksital
sodium (brevital) dan suksinilkolin.
2.3. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Kelengkapan data yang ada kaitannya dengan terapi ini :
a. Pemeriksaan
fisik terutama Electrokardiogram (pemeriksaan jantung) dan tanda-tanda
vital Temperature Nadi Pernafasan Tekanan Darah
b. Riwayat medis standar termasuk status neurologic
c. Thorax foto dan tulang belakang,
d. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan (pemeriksaan darah perifer lengkap, kimia
darah, urinalisis, VDRL, CT Scan atau EEG jika status neurologi
abnormal).
e. Suatu kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed Concent).
1. Inform Consent dari pasien yang kompeten dan dengan suka rela.
2. Inform
Consent dari wali pada pasien suka rela, tetapi tidak kompeten dan pada
pasien yang tidak dapat memberikan keputusan terapi.
3. Persetujuan
pengadilan untuk pemberian ECT pada pasien yang menolak dan tidak
secara sukarela menerima terapi ECT, yang dapat berbahaya bagi dirinya
atau bagi orang lain. Pada beberapa Negara, ECT dalam keadaan apapun
tidak dapat diberikan pada pasien dengan pelaksanaan tak sukarela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar