PENDAHULUAN
Di Indonesia
penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari
jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti
dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti.
Dari data dalam
negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah
penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto
Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997
menjadi 847 pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar
disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif
ESWL (Extracorporeal
shock wave lithotripsy)
yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan
operasi terbuka).(1)
Dari data di
luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu sepanjang hidup
(life
time risk)
dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-laki lebih sering
dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi antara
dekade keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang
ditemukan di RSUPN-CM.(1)
Kekambuhan
pembentukan batu merupakan masalah yang sering muncul pada semua
jenis batu dan oleh karena itu menjadi bagian penting perawatan medis
pada pasien dengan batu saluran kemih.
Dengan
perkembangan teknologi kedokteran terdapat banyak pilihan tindakan
yang tersedia untuk pasien, namun pilihan ini dapat juga terbatas
karena adanya variabilitas dalam ketersediaan sarana di masing-masing
rumah sakit maupun daerah. Oleh karena itu sudah dianggap semestinya
bahwa terdapat suatu Clinical
Practice Guideline/Pedoman
Penatalaksanaan Klinik (PPK) mengenai penatalaksanaan penyakit batu
saluran kemih, yang dapat menjadi acuan yang praktis bagi sejawat
spesialis urologi yang berpraktek di Indonesia. Untuk itu Ikatan Ahli
Urologi Indonesia membentuk sebuah panel khusus yang menyusun PPK
ini.
Tujuan
disusunnya PPK ini adalah agar menjadi acuan bagi praktik urologi di
Indonesia yang diharapkan membawa praktik urologi di Indonesia
menjadi praktik urologi yang sedapat mungkin berlandaskan bukti yang
sahih (Evidence
Based Medicine (EBM)).
Metodologi
PPK batu saluran
kemih (PPK-BSK) ini, selanjutnya disebut ‘guidelines’
disusun oleh suatu tim panelis yang dibentuk oleh PP-IAUI dan
melaksanakan beberapa kali pertemuan yang dimulai sejak tgl. 26
November 2005. Penyusunan ‘guidelines’
ini berdasarkan beberapa Guidelines yang ada di tingkat internasional
(EAU dan AUA) ditambah dengan data yang ada di tingkat Nasional
(terutama yang sudah dipublikasi di majalah ilmiah kedokteran
nasional yang sudah terakreditasi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional RI) bila dianggap memungkinkan.
Umumnya tim penyusun guidelines di tingkat internasional sudah
melakukan penelusuran literatur yang ekstensif dan telah
menyaripatikannya dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi. Oleh karena
itu tugas tim panelis ‘guidelines’
adalah melakukan penilaian terhadap guidelines yang sudah ada dan
menilai kecocokannya dengan kondisi di tanah air dengan
mempertimbangkan ketersediaan dan distribusi alat, prasarana, sarana
& kemampuan spesialis urologi dalam melakukan modalitas terapi
yang ada.
Hasil rumusan
“guidelines’ ini dicapai melalui konsensus dan diformulasikan
dalam berbagai tingkatan sesuai urutan rekomendasi.
Persetujuan
Tindakan Kedokteran/Medik (informed
consent)
Pada
setiap melakukan tindakan medik pasien harus diberitahu mengenai
semua modalitas terapi yang ada meskipun tidak tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Harus dijelaskan mengenai
diagnosis, sifat dan tujuan tindakan yang ditawarkan, keuntungan dan
risiko setiap tindakan (keluaran [treatment
outcomes]
yang diharapkan [sebaiknya dengan persentase keberhasilan], dan
komplikasi yang mungkin terjadi baik jangka panjang maupun jangka
pendek), alternatif lainnya (observasi, medikamentosa, non-invasif,
minimal invasif dan operasi terbuka) beserta keuntungan dan risiko
masing-masing. Selain itu juga harus dijelaskan keuntungan dan risiko
bila pasien tidak menerima tindakan medik. Sebaliknya pasien juga
perlu mendapat kesempatan untuk bertanya agar lebih mengerti lagi
mengenai sifat dari tindakan medik yang ditawarkan sehingga dapat
memutuskan untuk menerima atau menolak tindakan medik yang
ditawarkan.(2;3)
BATU
URETER
Latar
Belakang
Batu
ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik
ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang
ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari
kalik yaitu ureteropelvic
junction (UPJ), persilangan
ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding buli.
Komposisi
batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada umumnya
yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium
oksalat monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang
sebagian kecil terdiri dari batu asam urat, batu struvit dan batu
sistin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
penanganan batu ureter antara lain letak batu, ukuran batu, adanya
komplikasi ( obstruksi, infeksi, gangguan fungsi ginjal ) dan
komposisi batu. Hal ini yang akan menentukan macam penanganan yang
kita putuskan. Misalnya cukup di lakukan observasi, menunggu batu
keluar spontan, atau melakukan intervensi aktif.
Dahulu
sebelum alat-alat minimal invasif berkembang, untuk keperluan
penanganan batu ureter, ureter dibagi menjadi 3 bagian. Yaitu ureter
proksimal (dari UPJ sampai bagian atas sakrum), ureter tengah (bagian
atas sakrum sampai pelvic
brim)
dan ureter distal (dari pelvic
brim
sampai muara ureter). Hal ini berkaitan dengan teknik pembedahan
(insisi). Namun dengan berkembangnya terapi minimal invasif untuk
batu ureter, maka saat ini untuk keperluan alternatif terapi, ureter
dibagi 2 saja yaitu proksimal (di atas pelvic
brim)
dan distal (di bawah pelvic
brim).
Batu
ureter dengan ukuran < 4 mm, biasanya cukup kecil untuk bisa
keluar spontan. Karena itu ukuran batu juga menentukan alternatif
terapi yang akan kita pilih. Komposisi batu menentukan pilihan terapi
karena batu dengan komposisi tertentu mempunyai derajat kekerasaan
tertentu pula, misalnya batu kalsium oksolat monohidrat dan sistin
adalah batu yang keras, sedang batu kalsium oksolat dihidrat
biasanya kurang keras dan mudah pecah.
Adanya komplikasi obstruksi dan atau
infeksi juga menjadi pertimbangan dalam penentuan alternatif terapi
batu ureter. Tidak saja mengenai waktu kapan kita melakukan tindakan
aktif, tapi juga menjadi pertimbangan dalam memilih jenis tindakan
yang akan kita lakukan.
Secara garis besar
terdapat beberapa alternatif penanganan batu ureter yaitu observasi,
SWL, URS, PNL, dan bedah terbuka. Ada juga alternatif lain yang
jarang dilakukan yaitu laparoskopi dan ekstraksi batu ureter tanpa
tuntunan (“blind basketing”).
Terapi konservatif
Sebagian
besar batu ureter mempunyai diameter < 5 mm. Seperti disebutkan
sebelumnya, batu ureter < 5 mm bisa keluar spontan. Karena
itu dimungkinkan untuk pilihan terapi konservatif berupa :
- Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
- α - blocker
- NSAID
Batas
lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu
syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien,
ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya
kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan merupakan
pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada
pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan
penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi.
Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
Shock
Wave Lithotripsy
( SWL )
SWL
banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kencing. Prinsip dari
SWL adalah memecah batu saluran kencing dengan menggunakan gelombang
kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut
yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat difokuskan ke arah
batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi
akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut
untuk memecah batu hingga menjadi pecahan-pecahan kecil, agar supaya
bisa keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit.
Berbagai
tipe mesin SWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip kerjanya semua
sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama dan
baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik fokusnya
lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga
memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter.
Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga
pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun
demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan
tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras
perlu beberapa kali tindakan.
Komplikasi
SWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada. Tetapi SWL mempunyai
beberapa keterbatasan, antara lain bila batunya keras ( misalnya
kalsium oksalat monohidrat ) sulit pecah dan perlu beberapa kali
tindakan. Juga pada orang gemuk mungkin akan kesulitan. Penggunaan
SWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga
harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi
kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk
wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya.
Ureteroskopi
Pengembangan
ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis
terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu
ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu
ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan
URS. Dikembangkannya semirigid
URS dan fleksibel URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk
terapi batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk
ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat
pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk
menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman
masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.
PNL
PNL yang berkembang sejak dekade 1980
an secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter.
Tapi dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan
SWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan
melekat masih ada tempat untuk PNL.
Prinsip
dari PNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan.
Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid atau
fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil
secara utuh atau dipecah dulu. Keuntungan dari PNL, bila batu
kelihatan, hampir pasti dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat
diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya
berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau
tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada
URS dan SWL dibanding PNL.
Bedah Terbuka
Beberapa
variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan.
Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa
dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun
demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih
tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan
kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.
Pemasangan
Stent
Meskipun
bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent
ureter terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan
dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang
disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent
sangat perlu. Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).
ANALISA KELUARAN
Berbagai penelitian dilakukan untuk
mengetahui hasil dari berbagai modalitas terapi batu ureter. Beberapa
indikator keluaran yang sering dipakai adalah : angka bebas batu,
jumlah prosedur dan komplikasi.
Angka bebas batu
Angka ini dipakai untuk menentukan
efikasi dari terapi batu ureter. Ini sangat penting pada batu ureter
karena adanya fragmen batu yang tertinggal akan tetap memberikan
keluhan klinis. Cara yang dipakai untuk menentukan angka bebas batu
melalui evaluasi foto polos abdomen setelah tindakan. Khusus untuk
pasien yang dilakukan observasi, penentuan angka bebas batu sedikit
berbeda karena harus memperhatikan lamanya waktu tunggu, lokasi batu
dan ukuran batu.
Angka bebas batu dari masing-masing
modalitas terapi selengkapnya lihat tabel.
Jumlah prosedur tiap pasien
Mengenai jumlah prosedur tindakan
dibedakan primer dan sekunder. Yang dimaksud prosedur primer adalah
prosedur yang dipakai pada awal tindakan, sedang prosedur sekunder
adalah prosedur yang dipakai untuk tindakan berikutnya yang berbeda
dengan prosedur awal ( primer ). Sehingga jumlah prosedur tindakan
pada seseorang pasien bisa beberapa prosedur primer dan beberapa
prosedur sekunder atau hanya beberapa prosedur primer saja.
Tentang
jumlah prosedur tindakan dari masing-masing modalitas terapi bisa
dilihat di tabel.
Komplikasi
Dibedakan
komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut yang
sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan
ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang
tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan
transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah.
Komplikasi
akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang
termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ
pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli
paru dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi
ureter, hematom perirenal, ileus, stein
strasse,
infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi
jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi
dari batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan
lebih besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan
sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi ( IVP )
pasca operasi. Data selengkapnya dapat dilihat di tabel. (Lampiran)
Tabel
1. Prosedur per pasien batu ureter proksimal
|
Keseluruhan
|
||||
|
Primer
|
Sekunder
|
Total
|
||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
58/5.875
|
1.25
|
30/2.727
|
0.15
|
1.40
|
SWL +
pushback
|
15/1.326
|
1.11
|
6/639
|
0.11
|
1.22
|
SWL +
bypass
|
9/449
|
1.04
|
6/312
|
0.10
|
1.14
|
SWL in
situ
|
31/2.334
|
1.32
|
15/1.126
|
0.17
|
1.49
|
PNL
|
20/594
|
1.02
|
13/513
|
0.11
|
1.13
|
Ureteroscopy
|
48/1.193
|
1.04
|
19/631
|
0.29
|
1.33
|
Operasi
terbuka
|
8/227
|
1.00
|
1/20
|
0.10
|
1.10
|
|
|
||||
|
Batu <
= 1.0 cm
|
||||
|
Primer
|
Sekunder
|
Total
|
||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
8/199
|
1.10
|
2/124
|
0.06
|
1.16
|
SWL +
pushback
|
1/9
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
SWL +
bypass
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL in
situ
|
5/117
|
1.12
|
No
data
|
|
1.12
|
PNL
|
2/8
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
Ureteroscopy
|
8/37
|
1.00
|
1/16
|
0.38
|
1.38
|
Operasi
terbuka
|
1/68
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
|
|
||||
|
Batu >
1.0 cm
|
||||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
5/215
|
1.40
|
2/256
|
0.25
|
1.65
|
SWL +
pushback
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL +
bypass
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL in
situ
|
3/57
|
1.86
|
No
data
|
|
1.86
|
PNL
|
3/37
|
1.06
|
1/34
|
0.09
|
1.14
|
Ureteroscopy
|
5/42
|
1.14
|
1/26
|
0.38
|
1.52
|
Operasi
terbuka
|
1/1
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
Keterangan
:
G
: jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P
: jumlah pasien pada kelompok
Sumber:
AUA Guidelines 2005
Tabel
2.
Prosedur per pasien batu ureter distal
|
Keseluruhan
|
||||
|
Primer
|
Sekunder
|
Total
|
||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
49/3.757
|
1.21
|
29/2.627
|
0.08
|
1.29
|
SWL +
pushback
|
1/15
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
SWL +
bypass
|
6/434
|
1.13
|
4/346
|
0.05
|
1.18
|
SWL in
situ
|
31/2.335
|
1.24
|
20/1.743
|
0.090.17
|
1.33
|
Blind
Basket extraction
|
11/1.175
|
1.04
|
7/1.052
|
0.07
|
1.11
|
Ureteroscopy
|
42/2.283
|
1.01
|
15/847
|
0.07
|
1.08
|
Operasi
terbuka
|
6/72
|
1.01
|
2/17
|
0.12
|
1.13
|
|
|
||||
|
Batu <
= 1.0 cm
|
||||
|
Primer
|
Sekunder
|
Total
|
||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
9/95
|
1.27
|
1/43
|
0.09
|
1.36
|
SWL +
pushback
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL +
bypass
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL in
situ
|
4/94
|
1.28
|
1/43
|
0.09
|
1.37
|
Blind
Basket extraction
|
1/1
|
1.00
|
1/1
|
1.00
|
2.00
|
Ureteroscopy
|
5/129
|
1.00
|
2/31
|
0.13
|
1.13
|
Operasi
terbuka
|
1 / 2
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
|
|
||||
|
Batu >
1.0 cm
|
||||
|
G/P
|
Prosedur
|
G/P
|
Prosedur
|
Prosedur
|
Semua
SWL
|
3/19
|
2.37
|
No
data
|
|
2.37
|
SWL +
pushback
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL +
bypass
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
SWL in
situ
|
2/16
|
2.63
|
No
data
|
|
2.63
|
Blind
Basket extraction
|
No
data
|
|
No
data
|
|
0.00
|
Ureteroscopy
|
5/69
|
1.07
|
1/22
|
0.05
|
1.12
|
Operasi
terbuka
|
1/1
|
1.00
|
No
data
|
|
1.00
|
Keterangan
:
G
: jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P
: jumlah pasien pada kelompok
Sumber:
AUA Guidelines 2005
Tabel
3. Stone
Free Rate
|
Keseluruhan
|
Ureter
Proksimal
|
Ureter
Distal
|
||||||
Ureter Proksimal |
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
Semua
SWL
|
78/17.742
|
83 %
|
(81 –
85) %
|
17/8.052
|
84 %
|
(83 –
85) %
|
14/2.708
|
72%
|
(68 –
76) %
|
SWL +
pushback
|
17/1.697
|
88 %
|
(83 –
92) %
|
3/48
|
77 %
|
(72 –
81) %
|
1/127
|
65 %
|
(56 –
72) %
|
SWL +
bypass
|
14/3.749
|
82 %
|
(77 –
86) %
|
3/2.039
|
83 %
|
( 77
– 88) %
|
3/846
|
76 %
|
(62 –
87) %
|
SWL in
situ
|
52/9.744
|
82 %
|
(79 –
85) %
|
11/5.167
|
87 %
|
(85 –
88) %
|
9/1.427
|
76 %
|
(73 –
79) %
|
PNL
|
22/612
|
86 %
|
(82 –
89) %
|
2/8
|
76 %
|
(33 –
98) %
|
3/37
|
74 %
|
(53 –
89) %
|
Ureteroscopy
|
62/1.769
|
72 %
|
(70 –
74) %
|
9/54
|
56 %
|
(43 –
70) %
|
5/42
|
44 %
|
(28 –
60) %
|
Operasi
terbuka
|
10/265
|
97 %
|
(93 –
99) %
|
1/58
|
99 %
|
( 96
– 100) %
|
2/2
|
71 %
|
(23 –
98) %
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ureter Distal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Semua
SWL
|
66/9.422
|
85 %
|
(83 –
88) %
|
11/4.267
|
85 %
|
(84 –
86) 5
|
8/1.025
|
74 %
|
(71 –
77) %
|
SWL +
pushback
|
1/15
|
79 %
|
(56 –
94) %
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
SWL +
bypass
|
7/1.012
|
85 %
|
(79 –
92) %
|
2/481
|
83 %
|
(78 –
87) %
|
2/207
|
68 %
|
(59 –
75) %
|
SWL in
situ
|
47/7.211
|
85 %
|
(83 – 88) % |
8/3.676
|
85 %
|
(82 –
88) %
|
6/810
|
76 %
|
(66 –
83) %
|
Blind
Basket extraction
|
11/943
|
73 %
|
(64 –
81) %
|
2/93
|
85 %
|
(72 –
95) %
|
1/12
|
50 %
|
(24 –
76) %
|
Ureteroscopy
|
59/3.978
|
90 %
|
(68 –
92) %
|
5/130
|
89 %
|
(82 –
95)%
|
6/100
|
73 %
|
(63 –
82) %
|
Operasi
terbuka
|
6/72
|
87 %
|
(73 –
96) %
|
1 / 2
|
90 %
|
(33 –
100) %
|
1/1
|
84 %
|
(15 –
100) %
|
Keterangan
:
G
: jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P
: jumlah pasien pada kelompok
Sumber:
AUA Guidelines 2005
Tabel
4. Komplikasi yang terjadi
|
Keseluruhan
|
Ureter
Proksimal
|
Ureter
Distal
|
||||||
Bermakna |
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
Semua
SWL
|
15/1931
|
2
%
|
(1
– 3)%
|
4/516
|
4
%
|
(2
– 7)%
|
4/334
|
4
%
|
(2
– 7)%
|
SWL
+ pushback
|
2/336
|
2
%
|
(1
– 3)%
|
2/336
|
2
%
|
(1
– 3)%
|
|
|
|
SWL
+ bypass
|
1/47
|
3
%
|
(0
– 10)%
|
1/47
|
3
%
|
(0
– 10)%
|
|
|
|
SWL
in situ
|
7/733
|
4
%
|
(3
– 6)%
|
4/469
|
4
%
|
(2
– 7)%
|
1/97
|
3
%
|
(1
– 8)%
|
PNL
|
7/230
|
8
%
|
(5
– 13)%
|
5/519
|
9
%
|
(5
– 15)%
|
n/a
|
n/a
|
|
Blind
Basket extraction
|
9/2117
|
7
%
|
(3
– 12)%
|
N/A
|
n/a
|
|
5/775
|
5
%
|
(3
– 8)%
|
Ureteroscopy
|
31/3260
|
4
%
|
(3
– 6)%
|
4/110
|
11
%
|
(5
– 18)%
|
3/83
|
9
%
|
(3
– 20%)
|
Operasi
terbuka
|
6/584
|
13
%
|
(10
– 16)%
|
3/65
|
8
%
|
(2
– 19)%
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kurang
bermakna |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Semua
SWL
|
14/1527
|
4
%
|
(3
– 7)%
|
9/803
|
6
%
|
(3
– 9)%
|
2/95
|
9
%
|
(1
-26)%
|
SWL
+ pushback
|
5/831
|
4
%
|
(3
– 7)%
|
5/831
|
5
%
|
(3
– 7)%
|
|
|
No
data
|
SWL
+ bypass
|
3/91
|
17
%
|
(9
– 28)%
|
3/91
|
17
%
|
(9
– 28)%
|
|
|
No
data
|
SWL
in situ
|
6/492
|
5
%
|
(2
– 8)%
|
4/356
|
4
%
|
(2
– 7)%
|
1/39
|
16
%
|
(7
– 29)%
|
PNL
|
12/544
|
12
%
|
(7
– 19)%
|
10/425
|
13
%
|
(7
– 21)%
|
n/a
|
n/a
|
n/a
|
Blind
Basket extraction
|
5/1355
|
1
%
|
(1
– 3)%
|
n/a
|
n/a
|
n/a
|
2/215
|
3
%
|
(1
– 6)%
|
Ureteroscopy
|
58/7545
|
6
%
|
(5
– 7)%
|
4/163
|
11
%
|
(5
– 19)%
|
5/1124
|
1
%
|
(1
– 2)%
|
Operasi
terbuka
|
7/389
|
6
%
|
(4
– 10)%
|
4/126
|
10
%
|
(5
– 18)%
|
2/55
|
8
%
|
(2
– 21)%
|
Keterangan
:
G
: jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P
: jumlah pasien pada kelompok
Sumber:
AUA Guidelines 2005
|
Keseluruhan
|
Ureter
Proksimal
|
Ureter
Distal
|
||||||
Intervensi
sekunder |
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
G/P
|
Median
|
CI
(2,5-97,5)%
|
Semua
SWL
|
72/8350
|
12
%
|
(10
– 14)%
|
30/2727
|
14
%
|
(12
– 19)%
|
29/2627
|
10
%
|
(8
– 12)%
|
SWL
+ pushback
|
7/668
|
13
%
|
(8
– 19)%
|
6/639
|
12
%
|
(10
– 15)%
|
|
|
No
data
|
SWL
+ bypass
|
10/667
|
10
%
|
(7
– 14)%
|
7/312
|
12
%
|
(8
– 18)%
|
4/346
|
6
%
|
(2
– 11)%
|
SWL
in situ
|
45/4660
|
12
%
|
(10
– 15)%
|
15/1126
|
17
%
|
(13
– 23)%
|
20/1743
|
10%
|
(8
– 12)%
|
PNL
|
15/584
|
16
%
|
(12
– 21)%
|
13/513
|
15
%
|
(10
– 21)%
|
n/a
|
n/a
|
|
Blind
Basket extraction
|
19/2558
|
12
%
|
(8
– 18)%
|
N/A
|
n/a
|
n/a
|
7/1052
|
10
%
|
(5
– 16)%
|
Ureteroscopy
|
80/8744
|
11
%
|
(10
– 12)%
|
19/631
|
27
%
|
(22
– 33)%
|
15/847
|
7
%
|
(5
– 10%)
|
Operasi
terbuka
|
5/234
|
9
%
|
(6
– 15)%
|
1/20
|
11
%
|
(2
– 28)%
|
2/17
|
18
%
|
(4
-45)%
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Komplikasi
Panjang
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Striktur |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Semua
SWL
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
SWL
+ pushback
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
SWL
+ bypass
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
SWL
in situ
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
|
|
No
data
|
PNL
|
7/166
|
8
%
|
(4
– 14)%
|
4/93
|
8
%
|
(3
– 16)%
|
n/a
|
n/a
|
n/a
|
Blind
Basket extraction
|
3/483
|
2
%
|
(1
– 4)%
|
n/a
|
n/a
|
n/a
|
1/193
|
1
%
|
(0
– 3)%
|
Ureteroscopy
|
38/3414
|
2
%
|
(1
– 2)%
|
7/218
|
2
%
|
(1
– 4)%
|
7/450
|
1
%
|
(0
– 2)%
|
Operasi
terbuka
|
2/1089
|
3
%
|
(0
– 11)%
|
1/50
|
1
%
|
(0
– 5)%
|
|
|
No
data
|
Keterangan
:
G
: jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P
: jumlah pasien pada kelompok
Sumber:
AUA Guidelines 2005
Pedoman Pilihan Terapi
Pedoman
pilihan terapi ini dibagi dalam beberapa kategori. Pencantuman angka
berdasarkan konsensus yang dicapau oleh tim penyusun guidelines ini
dan diformulasikan dalam berbagai tingkatan sesuai urutan
rekomendasi. Berikut
ini untuk tiga pedoman pertama digunakan pada batu ureter proksimal
dan distal, sedang pedoman selanjutnya dibedakan antara batu ureter
proksimal dan distal :
- Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan kecil keluar spontan :
Batu
ureter yang kemungkinan kecil bisa keluar spontan harus diberitahu
kepada pasiennya tentang perlunya tindakan aktif dengan berbagai
modalitas terapi yang sesuai, termasuk juga keuntungan dan risiko
dari masing-masing modalitas terapi.
- Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan besar keluar spontan :
Batu
ureter yang baru terdiagnosis dan kemungkinan besar keluar spontan,
yang keluhan/gejalanya dapat diatasi, direkomendasikan untuk
dilakukan terapi konservatif dengan observasi secara periodik sebagai
penanganan awal.
- Penanganan batu ureter dengan SWL.
Stenting
rutin untuk meningkatkan efisiensi pemecahan tidak direkomendasi
sebagai bagian dari SWL.
- Untuk batu 1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi :
- SWL
- URS + litotripsi
- Ureterolitotomi
- Untuk batu 1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi :
- Ureterolitotomi
- SWL, PNL dan URS + litotripsi
- Untuk batu 1 cm di ureter distal
Pilihan terapi :
- SWL atau URS + litotripsi
- Ureterolitotomi
- Untuk batu 1 cm di ureter distal
Pilihan terapi :
- URS + litotripsi
- Ureterolitotomi
- SWL
BATU
GINJAL
Indikasi untuk
melakukan tindakan aktif ditentukan berdasarkan ukuran, letak dan
bentuk dari batu. Kemungkinan batu dapat keluar spontan juga
merupakan bahan pertimbangan. Batu berukuran kurang dari 5 mm
mempunyai kemungkinan keluar spontan 80%. Tindakan aktif umumnya
dianjurkan pada batu berukuran lebih dari 5 mm terutama bila disertai
:1
- Nyeri yang persisten meski dengan pemberian medikasi yang adekuat
- Obtruksi yang persisten dengan risiko kerusakan ginjal
- Adanya infeksi traktus urinarius
- Risiko pionefrosis atau urosepsis
- Obstruksi bilateral
Untuk
praktisnya, pedoman penatalaksaan batu ginjal ini diuraikan dalam
empat bagian, yaitu:
a.
Penatalaksanaan untuk batu ginjal nonstaghorn
b.
Penatalaksanaan untuk batu cetak/ staghorn
c.
Penatalaksanaan batu ginjal dengan kelainan khusus
d.
Penatalaksanaan batu ginjal pada anak
Faktor
penting yang juga menjadi pertimbangan adalah ketersediaan alat,
prasarana, sarana dan kemampuan ahli urologi dalam melakukan
modalitas terapi yang ada. Apa yang dicantumkan dalam pedoman ini
sebagai standar, rekomendasi ataupun opsional adalah jika alat,
prasarana, sarana dan kemampuan operator memungkinkan untuk melakukan
modalitas terapi yang disarankan.
A.
PEDOMAN PENATALAKSANAAN BATU GINJAL NONSTAGHORN
A.1.
Ukuran Batu < 20 mm
1.
Latar Belakang
Beberapa
modalitas terapi dapat digunakan untuk penatalaksanaan batu ginjal
< 20 mm, yaitu:1
- Extracorporeal
shock wave lithotripsy
(ESWL)
- Percutaneus
nephrolithotomy
(PNL)
- Operasi
terbuka
- Kemolisis oral
2.
Analisis keluaran
a.
Stone
free rate
Secara umum, yang dimaksud
dengan stone
free rate
adalah persentase pasien tanpa sisa batu pasca prosedur. Khusus
untuk ESWL, pengertian stone
free rate
ini bisa berupa tidak adanya sisa batu ataupun adanya sisa/ fragmen
batu yang tidak signifikan secara klinis (clinically
insignificant fragment
= CIRF). Belum ada keseragaman dalam menentukan CIRF sampai saat
ini, secara umum literatur menggunakan pada sisa/ fragmen berukuran
kurang 2-5 mm, tidak ada infeksi saluran kemih dan tidak ada keluhan
pada pasien yang dievaluasi tiga bulan setelah penembakan.2-4
ESWL
merupakan metode yang efektif untuk penanganan batu ginjal < 20
mm.5
Batu dengan ukuran < 10 mm mempunyai stone
free rate
84% (64%-92%) dan batu berukuran 10-20 mm mempunyai stone
free rate
77% (59%-81%).6
Komposisi batu berpengaruh terhadap keberhasilan ESWL. Batu dengan
komposisi asam urat dan kalsium oksalat dihidrat memiliki koefisien
fragmentasi yang baik, sementara batu kalsium oksalat monohidrat dan
batu sistin lebih sulit mengalami fragmentasi. Stone
free rate
untuk kalsium oksalat monohidrat 38-81% sedangkan untuk batu sistin
60-63%. Jika berukuran < 15 mm, stone
free rate
batu sistin masih 71%, sedangkan jika sudah > 20 mm, stone
free rate
menjadi hanya 40%. Adanya hidronefrosis dan adanya infeksi ginjal
juga mempengaruhi hasil ESWL. Persentase keberhasilan ESWL pada
ginjal tanpa hidronefrosis 83%, turun menjadi 50% pada hidronefrosis
derajat sedang dan sangat rendah pada hidronefrosis yang berat.
Karenanya, dianjurkan untuk dilakukan nefrostomi dan pemberian
antibiotik selama 3-5 hari sebelum ESWL pada kasus batu ginjal dengan
hidronefrosis.5-7
PNL
mempunyai efektivitas yang sama baiknya dengan ESWL untuk batu ginjal
< 20 mm. Namun, PNL merupakan prosedur yang lebih invasif
dibanding ESWL. Karena itu, ESWL lebih direkomendasikan daripada PNL
untuk batu < 20 mm, kecuali pada kasus khusus, seperti batu pada
kaliks inferior dengan infundibulum yang panjang dan sudut
infundibulopelvis yang tajam ataupun pada kaliks yang obstruktif.
Stone
free rate
pada kasus ini dengan ESWL kurang dari 50%. Pada batu berukuran 10-20
mm yang terletak di kaliks inferior, perbandingan stone
free rate
antara ESWL dan PNL adalah 57% : 73%.8-10
Kemolisis
oral dianjurkan untuk batu dengan komposisi asam urat. Caranya adalah
dengan asupan cairan yang banyak ( lebih dari 2000 ml/ 24 jam),
alkalinisasi urin (kalium sitrat 3 x 6-10 mmol, natrium kalium sitrat
3 x 9-18 mmol dan natrium bikarbonat 3 x 500 mg). Jika dijumpai
hiperurikosuria (>1000 mg/ hari) dengan hiperurisemia diberikan
allopurinol 300 mg/ hari. Penyesuaian dosis dilakukan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal.11-13
- Jumlah prosedur
Jumlah
prosedur harus dipisahkan antara
prosedur sekunder dan
prosedur tambahan. Prosedur sekunder
merupakan prosedur yang merupakan bagian dari prosedur untuk
pengangkatan batu, sedangkan prosedur
tambahan
adalah prosedur untuk mengatasi komplikasi dan prosedur insidental
untuk pengangkatan batu (seperti insersi atau pengangkatan stent).
Sayangnya, pada sebagian besar penelitian tidak disebutkan/ dibedakan
antara prosedur sekunder dan prosedur tambahan ini.
Prosedur
sekunder pada ESWL untuk batu ukuran < 20 mm terjadi pada 7,4%
kasus sedangkan pada PNL pada 6,9% kasus. Prosedur tambahan pada
ESWL dijumpai pada 11,3% kasus dibandingkan 1,2% pada PNL.2
Jenis
batu berkaitan dengan jumlah ESWL yang diperlukan. Pada batu kalsium
oksalat monohidrat, perlunya penembakan tambahan terjadi pada 10,3%
kasus, pada batu struvit 6,4% sedangkan batu kalsium oksalat dihidrat
2,8%.
Banyaknya
ESWL sebaiknya tidak lebih dari 3-5 kali (tergantung dari jenis
lithotiptornya). Jika perlu dilakukan pengulangan, tidak ada standar
baku lamanya interval antar penembakan. Namun biasanya hal ini
disesuaikan dengan jenis lithotriptornya: pada mesin ESWL
elektrohidrolik, interval waktu minimal 4-5 hari sedangkan pada
piezoelektrik bisa lebih singkat (2 hari). Maksimal gelombang kejut
yang diberikan setiap penembakan juga disesuaikan dengan jenis mesin
ESWL, pada jenis elektrohidrolik sebaiknya tidak melebihi 3500,
sedangkan pada piezoelektrik sebaiknya tidak melebihi 5000.14
3.
Pedoman pilihan terapi
Jika alat, prasarana, dan
sarana lengkap dan kemampuan operator memungkinkan untuk melaksanakan
seluruh modalitas terapi yang ada, maka berikut adalah pedoman
prosedur yang dianjurkan:
- ESWL monoterapi
- PNL untuk kaliks inferior ukuran 10 – 20 mm
- Operasi terbuka
- Kemolisis oral untuk batu asam urat murni
A.2.
Ukuran Batu > 20 mm
1.
Latar Belakang
Beberapa
modalitas terapi dapat digunakan untuk penatalaksanaan batu ginjal
> 20 mm, yaitu:
- ESWL ±
pemasangan stent
- PNL
- Terapi
kombinasi (PNL + ESWL)
- RIRS atau
laparoskopi
- Operasi
terbuka
- Kemolisis oral
2.
Analisis keluaran
a.
Stone
free rate
Secara keseluruhan, stone
free rate
untuk batu 20-30 mm dengan ESWL lebih rendah dibandingkan pada batu <
20 mm (rentang 33%-65%). Stone
free rate
PNL pada batu berukuran 20-30 mm mencapai 90%. Beberapa faktor
menjadi pertimbangan dalam pemilihan ESWL untuk batu berukuran >
20 mm:
-
Lokasi batu
Batu yang
terletak di kaliks inferior mempunyai stone
free rate
yang rendah dibanding batu yang terdapat di lokasi lain, stone
free rate
paling tinggi dijumpai pada batu di pielum. PNL merupakan pilihan
pada batu di kaliks inferior yang berukuran > 15 mm.2,15-17
-
Total stone
burden
Tidak ada
batasan yang pasti mengenai ukuran batu tetapi ukuran 40 x 30 mm
dapat dipakai sebagai pedoman. Monoterapi ESWL (dengan pemasangan
stent) mempunyai stone
free rate
85% jika batu berukuran < 40 x 30 mm setelah 3 bulan penembakan.
Angka ini turun menjadi 43% pada batu berukuran > 40 x 30 mm.
Dengan terapi kombinasi (PNL dan ESWL), stone
free rate
mencapai 71%-96% pada batu > 40 x 30 mm, dengan morbiditas dan
komplikasi yang kecil. Keberhasilan lebih tinggi jika ESWL dilakukan
setelah PNL.2,18
-
Kondisi ginjal kontralateral
Jika kondisi
ginjal kontralateral yang buruk atau pada ginjal soliter, ESWL
monoterapi merupakan alternatif pertama karena efeknya yang lebih
ringan dibanding terapi PNL atau kombinasi.19
-
Komposisi dan kekerasan batu
ESWL memberikan
hasil yang cukup baik pada batu kalsium atau struvite. Sekitar 1%
batu mengandung sistin, tiga perempatnya berukuran kurang dari 25 mm.
Batu sistin besar memerlukan penembakan tambahan hingga 66% kasus.
Pada batu sistin, khususnya yang berukuran > 15 mm, terapi dengan
PNL atau kombinasi PNL dan ESWL lebih efektif ketimbang ESWL yang
berulang kali.20,21
Kemolisis oral
merupakan terapi lini pertama untuk batu asam urat. Pada batu yang
besar, disolusi dapat dipercepat dengan ESWL. Stone
free rate
pada batu asam urat besar dengan ESWL dan kemolisis oral dapat
mencapai hingga 85%.2
Peran
laparoskopi dalam penanganan batu ginjal > 20 mm masih bersifat
eksperimental.
- Jumlah prosedur
Prosedur
sekunder pada ESWL untuk batu ukuran > 20 mm terjadi pada 33,1%
kasus sedangkan pada PNL pada 26,1% kasus. Prosedur tambahan pada
ESWL dijumpai pada 28,7% kasus dibandingkan 4,3% pada PNL. Pada batu
kaliks inferior berukuran > 10 mm, angka terapi ulang dan prosedur
tambahan pada ESWL (16% dan 14%) lebih tinggi dibanding PNL (9% dan
2%).2
3.
Pedoman pilihan terapi
Jika alat,
prasarana, dan sarana lengkap dan kemampuan operator memungkinkan
untuk melaksanakan seluruh modalitas terapi yang ada, maka berikut
adalah prioritas pilihan prosedur yang dianjurkan:
- PNL atau ESWL (dengan atau tanpa pemasangan DJ stent)
- Operasi terbuka
Komplikasi
Pada
batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah, demam,
dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih
sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan
PNL. Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau
perawatan yang lebih singkat dibandingkan PNL.2,4,8,10
Jenis
morbiditas
|
ESWL
|
PNL
|
Penurunan
hemoglobin
Praterapi
Pascaterapi
|
14,6
14,1*
|
13,7
12,2
|
Suhu
maksimal (C)
39 C
38 C
<
38
C
|
4
(0,5%)*
111
(15%)
635
(85%)
|
12
(11%)
37
(34%)
60
(55%)
|
Terapi
nyeri
Tanpa obat
Terapi oral
Narkotik
im
|
586
(51%)*
191
(17%)
369
(32%)
|
10
(9%)
15
(4%)
85
(77%)
|
*
p < 0,05
Sumber:
Lingeman JE (1987)
- PEDOMAN PENATALAKSANAAN BATU CETAK GINJAL/ STAGHORN
- Latar Belakang
Belum ada
kesepakatan mengenai definisi batu cetak/ staghorn ginjal. Definisi
yang sering dipakai adalah batu ginjal yang menempati lebih dari satu
collecting
system,
yaitu batu pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Istilah
batu cetak/ staghorn parsial digunakan jika batu menempati sebagian
cabang collecting
system,
sedangkan istilah batu cetak/staghorn komplit digunakan batu jika
menempati seluruh collecting
system.1
Komposisi
tersering batu cetak ginjal adalah kombinasi magnesium amonium fosfat
(struvit) dan/ atau kalsium karbonat apatit. Komposisi lain dapat
berupa sistin dan asam urat, sedangkan kalsium oksalat dan batu
fosfat jarang dijumpai. Komposisi struvite/ kalsium karbonat apatit
erat berkaitan dengan infeksi traktus urinarius yang disebabkan oleh
organisme spesifik yang memproduksi enzim urease yang menghasilkan
amonia dan hidroksida dari urea. Akibatnya, lingkungan urin menjadi
alkali dan mengandung konsentrasi amonia yang tinggi, menyebabkan
kristalisasi magnesium amonium fosfat (struvit) sehingga menyebabkan
batu besar dan bercabang. Faktor-faktor lain turut berperan, termasuk
pembentukan biofilm eksopolisakarida dan penggabungan mukoprotein dan
senyawa organik menjadi matriks. Kultur dari fragmen di permukaan
dan di dalam batu menunjukkan bakteri tinggal di dalam batu, sesuatu
yang tidak dijumpai pada jenis batu lainnya. Terjadi infeksi saluran
kemih berulang oleh organisme pemecah urea selama batu masih ada.1
Batu cetak
ginjal yang tidak ditangani akan mengakibatkan kerusakan ginjal dan
atau sepsis yang dapat mengancam jiwa. Karena itu, pengangkatan
seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi organisme
penyebab, mengatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih lanjut
dan infeksi yang menyertainya serta preservasi fungsi ginjal. Meski
beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan untuk mensterilkan
fragmen struvite sisa dan membatasi aktivitas pertumbuhan batu,
sebagian besar penelitian mengindikasikan, fragmen batu sisa dapat
tumbuh dan menjadi sumber infeksi traktus urinarius yang berulang.1
Modalitas
terapi untuk batu cetak ginjal adalah:
- PNL monoterapi
- Kombinasi PNL dan ESWL
- ESWL monoterapi
- Operasi terbuka
- Kombinasi operasi terbuka dan ESWL
- Analisis Keluaran
Jika tidak
diterapi, batu cetak ginjal terbukti akan menyebabkan kerusakan
ginjal. Pasien dapat mengalami infeksi saluran kemih berulang, sepsis
dan nyeri. Selain itu, batu akan mengakibatkan kematian. Terapi
nonbedah, seperti terapi antibiotik, inhibitor
urease,
dan terapi suportif lainnya, bukan merupakan alternatif terapi
kecuali pada pasien yang tidak dapat menjalani prosedur tindakan
pengangkatan batu. Pada analisis retrospektif 200 pasien dengan batu
cetak ginjal yang menjalani terapi konservatif, 28% mengalami
gangguan fungsi ginjal.
- Stone Free Rate
Secara
keseluruhan, stone
free rate
setelah terapi paling tinggi pada PNL (78%) dan paling rendah pada
SWL (54%). Pada terapi kombinasi (PNL dan SWL), stone
free rate
lebih rendah jika SWL dilakukan terakhir (66%) dan dapat menjadi 81%
jika dilakukan PNL-ESWL-PNL. Pada operasi terbuka, stone
free rate
berkisar antara 71%-82%. Angka ini lebih rendah jika batunya lebih
kompleks.1,22-24
Sumber: AUA
Guidelines 2005
Stone
free rate
juga dihubungkan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau
komplit). Pada batu cetak parsial, angka stone
free rate
lebih tinggi dibandingkan batu cetak komplit. Pada PNL, stone
free rate
batu cetak parsial 74% dibandingkan 65% pada batu cetak komplit.1,22
- Jumlah Prosedur
Pada pedoman
American
Urological Association
(AUA) tahun 2004, PNL membutuhkan total rata-rata 1,9 prosedur, ESWL
3,6 prosedur dan terapi kombinasi membutuhkan 3,3 prosedur untuk
penatalaksanaan batu cetak ginjal. Operasi terbuka membutuhkan total
1,4 prosedur.
Jumlah prosedur
juga berkaitan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau total).
Pasien batu cetak parsial menjalani 2,1 prosedur dibandingkan 3,7
prosedur pada pasien batu cetak komplit.1,9,10
- Komplikasi
Komplikasi akut
meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi keseluruhan. Dari
meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama
(< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada
hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi
terbuka mencapai 25-50%.
Mortalitas
akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien
dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan komplikasi akut
lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko
kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.
Pedoman AUA
menyebutkan adanya kesulitan dalam menarik kesimpulan dari laporan
komplikasi akibat ketiadaan keseragaman laporan. Misalnya, pasien
dengan demam dikelompokkan sebagai sepsis oleh sejumlah peneliti,
namun hanya demam saja oleh peneliti lainnya. Perkiraan komplikasi
keseluruhan yang diakibatkan oleh keempat prosedur sama dan berkisar
antara 13%-19%.
Hanya ada satu
penelitian yang melihat komplikasi yang dikaitkan dengan klasifikasi
batu cetak (parsial atau komplit). Dari penelitian itu didapatkan,
komplikasi berkaitan dengan ukuran batu (stone
burden).
1,9,10
- Pedoman pemilihan modalitas terapi
Pasien yang
didiagnosis batu cetak ginjal dianjurkan untuk diterapi secara aktif.
Terapi standar,
rekomendasi dan optional pada pasien batu cetak ginjal berlaku untuk
pasien dewasa dengan batu cetak ginjal (bukan batu sistin dan bukan
batu asam urat) yang kedua ginjalnya berfungsi (fungsi keduanya
relatif sama) atau ginjal soliter dengan fungsi normal dan kondisi
kesehatan yang secara umum, habitus, dan anatomi memungkinkan untuk
menjalani keempat modalitas terapi, termasuk pemberian anestesi.
Pedoman pilihan terapi meliputi :
- PNL (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)
- Operasi terbuka (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)
Pada pasien yang
tidak memenuhi kriteria tersebut, pilihan terapi ditentukan
berdasarkan pertimbangan individual.
C.
Penatalaksanaan batu ginjal pada anak
1.
Latar Belakang
Penelitian
mengenai penggunaan berbagai modalitas penatalaksanaan untuk anak
tidak selengkap pada orang dewasa, namun dalam dekade terakhir ini
jumlahnya mulai banyak ditemukan.
2.
Analisis Keluaran
Terapi batu pada anak
dengan ESWL mulai banyak dilakukan. Disintegrasi dan bersihan batu
lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Kemungkinan
hal ini sebabkan gelombang kejut ditransmisikan dengan kehilangan
energi yang lebih sedikit. Selain itu komposisi batu dan pembentukan
batu yang lebih singkat, ureter yang lebih pendek dan elastis
memungkinkan transmisi fragmen batu yang lebih mudah serta mencegah
terjadinya impaksi batu. Pada batu ginjal, stone
free rate mencapai 63%-100%
dengan penembakan 1 hingga 3 sesi, tergantung dari ukuran dan lokasi
batu. Penggunaan ESWL monoterapi pada batu cetak ginjal memberikan
hasil stone
free rate
73,3% setelah rata-rata dua kali penembakan.2,25-32
Penanganan
batu ginjal anak berukuran rata-rata 47 mm (rentang 25-50 mm) dengan
PNL memberikan hasil stone
free rate
67,7%, 274% memerlukan tambahan ESWL untuk menghasilkan bersihan batu
yang komplit.33-35
Stone free
rate
pada operasi terbuka batu ginjal anak mencapai 97,8%.
Komplikasi
ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%), urosepsis (1,1%)
dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya
kelainan lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak
pasca ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat
sementara yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data
mengenai efek jangka panjang pasca ESWL pada anak.
Komplikasi
pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang memerlukan
transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat
perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada
satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. 1
Komplikasi
operasi terbuka meliputi leakage
urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan
pascaoperasi (1,2%).35
3.
Pedoman Penatalaksanaan
ESWL monoterapi,
PNL, atau operasi terbuka dapat merupakan pilihan terapi untuk
pasien anak-anak
Daftar
Pustaka
- American Urological Association. AUA Guideline on the Management of Staghorn Calculi:Diagnosis and Treatment Recommendations. 2005
- Wilbert DM. A comparative review of extracorporeal shock wave generation. BJU Int 2002; 90: 507 – 11.
- Renner Ch, Rassweiler J. Treatment of renal stones by extracorporeal shock wave lithotripsy. Nephron 1999; 81 (suppl 1): 71 – 81.
- Skolarikos A, Alivizatos G, de la Rossette J. Extracorporeal shock wave lithotripsy 25 years later: complication and their prevention. Eur Urol 2006. (Article in press)
- Atala A, Steinbock GS. Extracorporeal shock wave lithotripsy of renal calculi. Am J of Surgery 1989; 157: 350 – 8.
- Drach GW, Dretler S, Fair W, Finlayson B, Gillenwater J, Griffith D, et al. Report of the United States cooperative study of extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1986; 135: 1127 – 37.
- Logarakis NF, Jewett MAS, Luymes J, Honey JDA. Variation in clinical outcome following shock wave lithotripsy. J Urol 163: 721 – 5.
- Mays N. Relative costs and cost –effectiveness of extracorporeal shock wave lithotripsy versus percutaneous nephrolithotomy in the treatment of renal and ureteric stone. Soc Sci Med 1991; 12: 1401 – 12.
- Segura JW. The role of percutaneous surgery in renal and ureteral stone removal. J Urol 1989; 141: 780 – 1.
- Lingeman JE, Coury TA, Newman DM, Kahnoski RJ, Mertz JHO, Mosbaugh PG, et al. Comparison of results and morbidity of percutaneous nephrostolithotomy and extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1987; 138: 485 – 90.
- Pak CYC, Barilla DE, Holt K, Brinkley L, Tolentino R, Zerwekh JE. Effect of oral purine load and allopurinol on the crystallization of calcium salts in urine of patients with hyperuricosuric calcium urolithiasis. Am J of Medicine 1978; 85: 593 – 9.
- Shekarriz B, Stoller ML. Uric acid nephrolithiasis : current concepts and controversies. J Urol 2002; 168: 1307 – 14.
- Hande KR. Noone RM, Stone WJ. Severe allopurinol toxicity. Am J of Medicine 1984; 76: 47 – 56.
- Tiselius HG, Ackermann D, Alken P, Buck C, Conort P, Galucci M. Guidelines of urolithiasis. European Association of Urology 2001.
- Lingeman JE, Siegel YI, Steele B, Nyhuis AW, Woods JR. Management of lower pole nephrolithiasis : a critical analysis. J Urol 1994; 151: 663 – 7.
- Netto NR Jr, Claro JFA, Lemos GC, Cortado PL. Renal calculi in lower pole calices : what is the best method of treatment? J Urol 1991; 146: 721 – 3.
- Netto NR Jr, Claro JFA, Cortado PL, Lemos GC. Adjunct controlled inversion therapy following extracorporeal shock wave lithotripsy for lower pole caliceal stone. J Urol 1991; 146: 953 – 4.
- Ackermaan D, Claus R, Zehntner C, Scheiber K. Extracorporeal shock wave lithotripsy for large renal stones. To what size is extracorporeal shock wave lithotripsy alone feasible ? Eur Urol 1988; 15 (1-2): 5 – 8. (abstract)
- Cohen ES, Schmidt JD. Extracorporeal shock wave lithotripsy for stones in solitary kidney. Urology 1990: 36: 52 – 4.
- Klee LW, Brito CG, Lingeman JE. The clinical implications of brushite calculi. J Urol 1991; 145: 715 – 8.
- Kachel TA, Vijan SR, Dretler SP. Endourological experience with cystine calculi and a treatment algorithm. J Urol 1991; 145: 25 – 8.
- Al-kohlany KM, Shokeir AA, Mosbah A, Mohsen T, Shoma AM, Eraky I, et al. Treatment of complete staghorn stones : a prospective randomized comparison of open surgery versus percutaneous nephrolithotomy. J Urol 2005; 173: 469 – 73.
- Recker F, Konstantinidis K, Jaeger P, Knonagel H, Alund G, Hauri D. The staghorn calculus : anathropic nephrolithotomy versus percutaneous litholapxy and extracorporeal shock wave lithotripsy monotherapy. A report of over 6 year’s experience. Urologe A 1989; 28(3): 152 – 7.(Abstract)
- Constantinides C, Recker F, Jaeger P, Hauri D. Extracorporeal shock wave lithotripsy as monotherapy of staghorn renal calculi : 3 years of experience. J Urol 1989; 142: 1415 – 8.
- Demirkeses O, Onal B, Tansu N, Altintas R, Yalcin V, Oner A. Efficacy of extracorporeal shock wave lithotripsy for isolated lower caliceal stones in children compared with stones in other renal locations. Urology 2006; 67: 170 – 5.
- Ather MH, Noor MA. Does size and site matter for renal stones up to 30-mm in size in children treated by extracorporeal lithotripsy? Uology 2003; 61: 212 – 5.
- Afshar K, McLorie G, Papanikolaou F, Malek R, Harvey E, Pippi-Salle JL, et al. Outcome of small residual stone fragments following shock wave lithotripsy in children. J Urol 2004; 172: 1600 – 3.
- Gofrit ON, Pode D, Meretyk S, Katz G, Shapiro A, Golijanin D, et al. Is the pediatric ureter as efficient as the adult ureter in transporting fragments following extracorporeal shock wave lithotripsy for renal calculi larger than 10 mm? J Urol 2001; 166: 1862 – 4.
- Villanyi KK, Szekely JG, Parkas LM, Javor E, Pusztai C. Short-term changes in renal function after extracorporeal shock wave lithotripsy in children. J Urol 2001; 166: 222 – 4.
- Orsola A, Diaz I, Caffaratti J, Izquierdo F, Alberola J, Garat JM. Staghorn calculi in children: treatment with monotherapy extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1999; 162: 1229 – 33.
- Losty P, Surana R, O’Donnell B. Limitations of extracorporeal shock wave lithotripsy for urinary tract calculi in young children. J Ped Surg 1993; 28 (8): 1037 – 9.
- Shukla AR, Hoover DL, Homsy YL, Perlman S, Schurman S, Reisman EM. Urolithiasis in the low birth weight infant: the role and efficacy of extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 2001, 165: 2320 – 3.
- Mor Y, Elmasry YET, Kellett MJ, Duffy PG. The role of percutaneous nephrolithotomy in the management of pediatric renal calculi. J Urol 1997; 158: 1319 – 21.
- Kurzrok EA, Huffman JL, Hardy BE, Fugelso P. Endoscopic treatment of pediatric urolithiasis. J Ped Surg 1996; 31 (10): 1413 – 6.
- Rizvi SAH, Naqvi SAA, Hussain Z, Hashmi A, Hussain M, Nafar MN, et al. Management of pediatric urolithiasis in Pakistan : experience with 1440 children. J Urol 2003; 169: 634 – 7.
BATU KANDUNG KEMIH
- Latar belakang :
Kasus batu kandung kemih pada orang
dewasa di Negara barat sekitar 5% dan terutama diderita oleh pria,
sedangkan pada anak-anak insidensinya sekitar 2-3%. Beberapa faktor
risiko terjadinya batu kandung kemih : obstruksi infravesika,
neurogenic bladder,
infeksi saluran kemih (urea-splitting
bacteria), adanya benda
asing, divertikel kandung kemih.
Di Indonesia diperkirakan insidensinya
lebih tinggi dikarenakan adanya beberapa daerah yang termasuk daerah
stone belt
dan masih banyaknya kasus batu endemik yang disebabkan diet rendah
protein, tinggi karbohidrat dan dehidrasi kronik.
Pada umumnya komposisi batu kandung
kemih terdiri dari : batu infeksi(struvit), ammonium asam urat dan
kalsium oksalat.
Batu kandung kemih sering ditemukan
secara tidak sengaja pada penderita dengan gejala obstruktif dan
iritatif saat berkemih. Tidak jarang penderita datang dengan keluhan
disuria, nyeri suprapubik, hematuria dan buang air kecil berhenti
tiba-tiba.
Metodologi
- Analisis keluaran :
Pada saat ini ada beberapa cara yang
dapat digunakan untuk menangani kasus batu kandung kemih. Diantaranya
: vesikolitolapaksi, vesikolitotripsi dengan berbagai sumber energi
(elektrohidrolik, gelombang suara, laser, pneumatik), vesikolitotomi
perkutan, vesikolitotomi terbuka dan ESWL.
- Vesikolitolapaksi :
Merupakan salah satu jenis tindakan
yang telah lama dipergunakan dalam menangani kasus batu kandung kemih
selain operasi terbuka. Indikasi kontra untuk tindakan ini adalah
kapasitas kandung kemih yang kecil, batu multiple, batu ukuran lebih
dari 20mm, batu keras, batu kandung kemih pada anak dan akses uretra
yang tidak memungkinkan.
Teknik ini dapat dipergunakan
bersamaan dengan tindakan TUR-P, dengan tidak menambah risiko seperti
halnya sebagai tindakan tunggal.
Angka bebas batu
: tinggi (angka ?).
Penyulit
: 9-25%, berupa cedera pada kandung kemih.
- Vesikolitotripsi :
- Elektrohidrolik (EHL);
Merupakan salah satu sumber energi
yang cukup kuat untuk menghancurkan batu kandung kemih. Dapat
digunakan bersamaan dengan TUR-P.
Masalah timbul bila batu keras maka
akan memerlukan waktu yang lebih lama dan fragmentasinya inkomplit.
EHL tidak
dianjurkan pada kasus batu besar
dan keras.
Angka bebas batu
: 63-92%.
Penyulit : sekitar 8%, kasus ruptur
kandung kemih 1,8%.
Waktu yang dibutuhkan : ± 26 menit.
- Ultrasound ;
Litotripsi ultrasound cukup aman
digunakan pada kasus batu kandung kemih, dapat digunakan pada batu
besar, dapat menghindarkan dari tindakan ulangan dan biaya tidak
tinggi.
Angka bebas batu
: 88% (ukuran batu 12-50 mm).
Penyulit : minimal (2 kasus di
konversi).
Waktu yang dibutuhkan : ± 56 menit.
- Laser ;
Yang digunakan adalah Holmium YAG.
Hasilnya sangat baik pada kasus batu besar, tidak tergantung jenis
batu.
Kelebihan yang lain adalah masa rawat
singkat dan tidak ada penyulit.
Angka bebas batu
: 100%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.
- Pneumatik;
Litotripsi
pneumatik hasilnya cukup baik digunakan sebagai terapi batu kandung
kemih. Lebih
efisien dibandingkan litotripsi ultrasound dan EHL pada kasus batu
besar dan keras.
Angka bebas batu
: 85%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.
- Vesikolitotomi perkutan :
Merupakan alternatif terapi pada kasus
batu pada anak-anak atau pada penderita dengan kesulitan akses
melalui uretra, batu besar atau batu múltipel. Tindakan ini indikasi
kontra pada adanya riwayat keganasan kandung kemih, riwayat operasi
daerah pelvis, radioterapi, infeksi aktif pada saluran kemih atau
dinding abdomen.
Angka bebas batu
: 85-100%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : 40-100 menit.
- Vesikolitotomi terbuka :
Diindikasikan pada
batu dengan stone
burden
besar, batu keras, kesulitan akses melalui uretra, tindakan bersamaan
dengan prostatektomi atau divertikelektomi.
Angka bebas batu
: 100%.
- ESWL :
Merupakan salah satu pilihan pada
penderita yang tidak memungkinkan untuk operasi. Masalah yang
dihadapi adalah migrasi batu saat tindakan.
Adanya obstruksi
infravesikal serta residu urin pasca miksi akan menurunkan angka
keberhasilan dan membutuhkan tindakan tambahan per endoskopi sekitar
10% kasus untuk mengeluarkan pecahan batu.
Dari kepustakaan, tindakan ESWL
umumnya dikerjakan lebih dari satu kali untuk terapi batu kandung
kemih.
Angka bebas batu
: elektromagnetik; 66% pada kasus dengan obstruksi dan 96% pada kasus
non obstruksi. Bila menggunakan piezoelektrik didapatkan hanya 50%
yang berhasil.
- Pedoman pilihan terapi :
Dari sekian banyak pilihan untuk
terapi batu kandung kemih yang dikerjakan oleh para ahli di luar
negeri maka di Indonesia hanya beberapa tindakan saja yang bisa
dikerjakan, dengan alasan masalah ketersediaan alat dan sumber daya
manusia.
Penggunaan istilah ‘standar’,
‘rekomendasi’ dan ‘opsional’ digunakan berdasarkan
fleksibilitas yang akan digunakan sebagai kebijakan dalam penanganan
penderita.
Pedoman untuk batu ukuran kurang dari
20 mm.
- Litotripsi endoskopik
- Operasi terbuka
Pedoman untuk batu ukuran lebih dari
20 mm.
- Operasi terbuka
- Litotripsi endoskopik
Pedoman untuk batu buli-buli pada
anak.
- Operasi terbuka
- Litotripsi endoskopik
BATU
URETRA
- Latar belakang :
Pada umumnya batu
uretra berasal dari batu kandung kemih yang
turun ke uretra. Sangat jarang batu uretra primer kecuali pada
keadaan stasis urin yang kronis dan infeksi seperti pada striktur
uretra atau divertikel uretra.
Insidensi
terjadinya batu uretra hanya 1% dari keseluruhan kasus batu saluran
kemih. Komposisi
batu uretra tidak berbeda dengan batu kandung kemih. Dua
pertiga batu uretra terletak di uretra posterior dan sisanya di
uretra anterior.
Keluhan bervariasi dari tidak
bergejala, disuria, aliran mengecil atau retensi urin.
- Analisis keluaran :
Beberapa cara yang dikenal untuk
menangani batu uretra antara lain; batu uretra posterior didorong ke
kandung kemih, operasi terbuka (uretrotomi/meatotomi), Laser holmium,
pneumatik litotripsi.
- Operasi per endoskopik :
Dengan berkembangnya teknologi,
beberapa alat dapat digunakan untuk batu uretra.
Laser Holmium
merupakan salah satu modalitas yang paling sering digunakan untuk
menangani kasus batu uretra khususnya yang
impacted diluar
operasi terbuka. Angka bebas batu 100%, tanpa penyulit.
Modalitas lain yang digunakan adalah
litrotripsi pneumatik, angka bebas batu 100%, penyulit tidak
disebutkan.
- Operasi terbuka :
Pada kasus-kasus
batu uretra impacted,
adanya striktur uretra, divertikel uretra, batu di uretra
anterior/fossa navikularis, merupakan indikasi untuk operasi terbuka.
Angka bebas batu 100%, penyulit berupa infeksi, fistel uretrokutan.
- Pedoman pilihan terapi :
Pedoman untuk batu uretra posterior
Push-back, lalu
diterapi seperti batu kandung kemih.
Pedoman untuk batu uretra anterior.
- Lubrikasi anterior
- Push-back, lalu diterapi seperti batu kandung kemih
- Uretrotomi terbuka
Pedoman untuk batu di fossa
navikularis/meatus eksterna.
Uretrotomi
terbuka/meatotomi.
- Kepustakaan :
- Menon M, Resnick MI.In : Walsh PC.,eds. Campbell’s urology. Saunders. 2002:3288-3289.
- Jenkin AD. Urethral calculi. In : Gillenwater JY, Grayhack JT, Howards SS., eds. Adult and pediatric urology. Philadelphia: Lippincott. 2002: 383.
- Maheswari PN, Shah HN : In-situ holmium laser lithotripsy for impacted urethral calculi. J Endourol 2005;19(8):1009-1011.
- Kamal BA, Anikwe RM, Darawani H, et al: Urethral calculi: presentation and management. BJU International 2004;93(4):549-552.
- Walker BR, Hamilton BD : Urethral calculi managed with transurethral Holmium laser ablation. J Pediatr Surg 2001; 36(9) : E16.
- Yinghao S, Linhui W, Songxi Q, et al : Treatment of urinary calculi with uretroscopy and Swiss lithoclast pneumatic lithotripter: report of 150 cases. J Endourol 2000; 14(3): 281-283.
- Salman AB : Urethral calculi in children. J Pediatr Surg 1996; 31(10): 1379-1382.
- Wehle MJ, Segura JW. In : Belman AB., Eds. Clinical pediatric urology. Martin Dunitz. 2002:1241.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar