BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan
Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi
darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan
bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan
atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan
psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu
perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia
sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien
kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang
bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko
tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien
biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas
kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang
menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis
dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan
mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
Di
Amerika tiap tahun kasus bunuh diri yang berhasil mencapai 30.000 orang
per tahun. Angka ini menunujukkan jumlah orang yang mencoba bunuh diri
jauh lebih besar lagi, diperkirakan 8 sampai 10 kali lebih besar dan
jumlah tersebut. Di Indonesia belum ada data mengenai hal ini.
Dan
data yang ada, 95% kasus bunuh diri berkaitan dengan masalah kesehatan
jiwa diantaranya 80% mengalami Depresi, 10% Skizofrenia dan 5%
Dementia/Delirium. Sedangkan sekitar 25% lainnya mempunyai diagnosa
ganda yang berkaitan dengan Ketergantungan Alkohol.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu dan memahami dan menjelaskan kedaruratan dalam psikiatri
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mahasiswa mampu dan memahami tentang gaduh atau gelisah
1.2.2.2 Mahasiswa mampu dan memahami tentang bunuh diri
1.2.2.3 Mahasiswa mampu dan memahami tentang penyalahgunaan napza
1.3 Metode Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah–masalah yang ada dan menggunakan studi
kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di
internet.
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Membahas tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis
Membahas
tentang segala sesuatu yang bisa dijadikan teori atau sumber untuk
penulisan makalah dengan sub topik kedaruratan psikiatri mengenai: bunuh
diri, gaduh/gelisah dan penyalahgunaan NAPZA.
BAB III : Penutup
Terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORTIS
Kedaruratan
Psikiatrik adalah Keadaan gangguan dalam proses fikir, alam perasaan
dan perbuatan yang memerlukan tindakan pertolongan segera. Kasus
kedaruratan psikiatrik yang sering ditemukan adalah percobaan bunuh
diri, penyalahguanaan napza dan keadaan gaduh gelisah. Kondisi pada
keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi,
kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan
signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan
muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada
untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Kedawatdaruratan psikiatri terdiri dari :
2.1 Bunuh Diri
2.1.1 Pengertian
Bunuh
diri adalah kematian yang disebabkan diri sendiri dan di sengaja. Ide
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah keadaan gawat darurat yang paling
sering ditemukan. Masalah yang sering pada bunuh diri adalah krisis
yang menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan tidak
berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stres yang tidak dapat
ditahan, sempitnya pemilihan yang dimiliki pasien dan harapan untuk
dapat membebaskan diri. Ide bunuh diri terjadi pada orang yang rentan
sebagai respon dari berbagai stresor pada tiap usia dan dapat ditemukan
untuk jangka waktu yang lama tanpa menyebabkan suatu usaha bunuh diri.
Bunuh
diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku
destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian. Prilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk
aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal
ini sebagai sesuatu yang diinginkan, (Stuart dan Sundeen,1995).
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007).
Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, Keperawatan Jiwa & Psikiatri, 2004).
Bunuh
diri adalah ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai
gangguan depresif dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan,
Sinopsis Psikiatri,1997).
2.1.2 Klasifikasi
Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut:
2.1.2.1 Upaya bunuh diri (Suicide attempt)
yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan
itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah
tanda peringatan terlewatkan atau di abaikan. Orang yang hanya berniat
melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati mungkin akan
mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
2.1.2.2 Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
2.1.2.3 Ancaman bunuh diri (Suicide threat)
yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung, verbal
atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang
tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di
sekitar kita lagi atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa
pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respons positif dari
orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan
tindakan bunuh diri.
2.1.3 Tahap-Tahap Prilaku Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya:
2.1.3.1 Suicidal ideation
Pada
tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda
yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap
ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun
demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki
pikiran tentang keinginan untuk mati
2.1.3.2 Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri,
2.1.3.3 Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
2.1.3.4 Suicidal gesture
Pada
tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi
sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan
pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa
pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena
individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana
untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di
selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini
sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.
2.1.4 Etiologi
2.1.4.1 Faktor Predisposisi
Tidak
ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan memberikan
petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang terapeutik. Teori
Perilaku menyakini bahwa pencederaan diri merupakan hal yang dipelajari
dan diterima pada saat anak-anak dan masa remaja. Teori psikologi
memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma
interpersonal, dan kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat memicu
seseorang untuk mencederai diri. Teori Interpersonal mengungkapkan bahwa
mencederai diri sebagai kegagalan dari interaksi dalam hidup, masa
anak-anak mendapatkan perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan
(stuart dan sundeen, 1995).
Faktor
predisposisi yang lain adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
komunikasi (mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan
perasaan yang tidak stabil.
Lima
faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut:
2.1.4.1.1 Diagnosis psikiatrik
Lebih
dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan
afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2.1.4.1.2 Sifat kepribadian
Tiga
tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh
diri adalah antipati, impulsive (daya pendorong yang tiba-tiba), dan
depresi.
2.1.4.1.3 Lingkungan psikososial
Faktor
predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan
intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab
masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan
lain-lain.
2.1.4.1.3.1 Riwayat Keluarga
Riwayat
keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang
dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
2.1.4.1.3.2 Faktor biokimia
Data
menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2.1.4.2 Faktor Presipitasi
Perilaku
destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan.
Secara
universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya bunuh diri, terbagi menjadi:
2.1.4.2.1 Faktor Genetik
Faktor genetik (berdasarkan penelitian):
1–3
kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang
menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan
mood/depresi/yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
2.1.4.2.2 Faktor Biologis lain
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
2.1.4.2.2.1 Stroke
2.1.4.2.2.2 Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
2.1.4.2.2.3 Diabetes
2.1.4.2.2.4 Penyakit arteri koronaria
2.1.4.2.2.5 Kanker
2.1.4.2.2.6 HIV / AIDS
2.1.4.2.3 Faktor Psikososial & Lingkungan
2.1.4.2.3.1 Teori
Psikoanalitik/Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan objek
berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan
terakhir depresi.
2.1.4.2.3.2 Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang berkembang, memandang rendah diri sendiri
2.1.4.2.3.3 Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem pendukung sosial
2.1.5 Rentang Respon Bunuh Diri
2.1.5.1 Respon Adaptif
Merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku.
2.1.5.2 Respon Maladaptif
Merupakan
respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat.
Respon maladaptif antara lain:
2.1.5.2.1 Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu
yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah,
karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah
tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta
yakin tidak ada yang membantu.
2.1.5.2.2 Kehilangan, ragu-ragu
Individu
yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa
gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan
bunuh diri.
2.1.5.2.3 Depresi
Dapat
dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat
individu ke luar dari keadaan depresi berat.
2.1.5.2.4 Bunuh diri
Adalah
tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
2.1.5.3 Rentang respon perlindungan diri
Perilaku merusak diri berfluktuasi: sepanjang respon adaptif dan maladaptive seperti pada gambar:







Menghargai berani perilaku mencederai diri bunuh diri
Diri sendiri mengambil merusak diri
Resiko untuk tidak langsung
Pertumbuhan diri
Gambar 1: rentang respon perlindungan diri (Stuart, Sandra, 1998)
2.1.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis
Penelitian
menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, usia yang
lanjut, dan isolasi sosial meningkatkan risiko bunuh diri yang
sepenuhnya. Pasien dengan riwayat usaha bunuh diri atau tindakan bunuh
diri adalah berada dalam risiko, seperti pasien dengan riwayat penyakit
kronis, pembedahan yang baru dilakukan, atau penyakit fisik yang kronis.
Pasien yang juga berada dalam risiko adalah pasien yang tidak mempunyai
pekerjaan, hidup sendirian, melakukan hubungan gelap dengan terpaksa.
Harapan yang paling baik untuk mencegah bunuh diri adalah deteksi dini dan pengobatan gangguan psikiatrik yang berperan.
Peran
usaha bunuh diri sebelumnya dalam penentuan risiko bunuh diri adalah
kompleks. Sebagian besar korban bunuh diri yang sebenarnya tidak pernah
melakukan usaha bunuh diri sebelumnya, dan mereka berhasil melakuakn
bunuh diri pada saat pertama kali. Walaupun setiap orang pernah
melakukan usaha bunuh diri sebelumnya menunjukkan kapasitas
perilakunyang merusak diri sendiri, hanya 10% orang yang berusaha bunuh
diri berhasil melakukannya dalam 10 tahun.
Sejumlah
bermakna orang yang agresif terhadap diri sendiri memotong atau
membakar dirinya sendiri dalam cara yang jelas tidak mematikan tanpa
maksud membunuh dirinya sendiri. Ditemukan berbagai motivasi, termasuk
manipulasi dan penyerangan yang tidak disadari terhadap orang lain.
Secara diagnostik, pasien mungkin memenuhi kriteria untuk gangguan
kepribadian antisosial atau ambang,
2.1.7 Pemeriksaan dan Penatalaksanaan
2.1.7.1 Klinis
harus menilai risiko bunuh diri pada pasien individual berdasarkan
pemeriksaan klinis. Hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan
riisko bunuh diri dituliskan dalam Tabel 14-1. Bunuh diri juga
dikelompokkan ke dalam faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi dan
risiko rendah.
2.1.7.2 Jika
memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri, jangna meninggalkan mereka
sendirian, keluarkan semua benda yang kemungkinan berbahaya dari
ruangan.
2.1.7.3 Jika
memeriksa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri, nilailah
apakah usaha tersebut telah direncanakan atau dilakukan secara impulsif
dan tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien untuk ditemukan (sebagai
contohnya, apakah pasien sendirian dan apakah pasien memberitahukan
orang lain?), dan reaksi pasien karena diselamatkan (apakah pasien
kecewa atau merasa lega ?), dan apakah faktor-faktor yang menyebabkan
usaha bunuh diri telah berubah.
2.1.7.4 Penatalaksanaan
adalah sangat tergantung pada diagnosis. Pasien dengan gangguan
depresif berat mungkin diobati sebagai pasien rawat jalan jika
keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat dan jika pengobatan
dapat dimulai secara cepat. Selain hali tersebut, perawatan di rumah
sakit mungkin diperlukan.
2.1.7.5 Ide
bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia
dalam beberapa hari. Tidak diperlukan pengobatan spesifik pada sebagian
besar kasus. Jika deprsei menetap setelah tanda psokologis dari putus
alkohol menghilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya gangguan
depresif berat. Semua pasien yang berusaha bunuh diri yang
terintoksikasi oleh alkohol atau obat harus dinilai kembali jika mereka
sadar.
2.1.7.6 Ide
bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius,
karena mereka cenderung menggunakan kekerasan atau metoda yang akcau
dengan letalitas yang tinggi.
2.1.7.7 Pasien
dengan gangguan kepribadian mendapatkan manfaat dari konfrontasi
empatik dan bantuan dengan mendapatkan pendekatan rasional dan
bertanggung jawab terhadap masalah yang mencetuskan krisis dan bagaimana
mereka biasanya berperan. Keterlibatan keluarga atau teman dan
manipulasi lingkungan mungkin membnatu dalam menghilangkan krisis yang
menyebabkan usaha bunuh diri.
2.1.7.8 Hospitalisasi
jangka panjang adalah diindikasikan pada keadaan yang menyebabkan
mutilasi diri, tetapi hospitalisasi singkat biasanya tidak mempengaruhi
perilaku habitual tersebut. “Parasuicide” juga mendapatkan manfaat dari
rehabilitasi jangka panjang, dan periode singkat stabilisassi mungkin
diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi tidak ada pengobatan jangka
pendek yang dapat diharapkan mengubah perjalanannya secara bermakna.
Tabel 14-1.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Risiko Bunuh Diri
Urutan Ranking
|
Faktor
|
1
|
Usia (45 tahun dan lebih)
|
2
|
Ketergantungan alcohol
|
3
|
Kejengkelan, penyerangan, kekerasan
|
4
|
Perilaku bunuh diri sebelumnya
|
5
|
Laki-laki
|
6
|
Tidak mau menerima pertolongan
|
7
|
Episode depresi sekarang yang lebih dari biasanya
|
8
|
Terapi psikiatrik rawat inap sebelumnya
|
9
|
Kehilangan atau perpisahan yang belum lama terjadi
|
10
|
Depresi
|
11
|
Hilangnya kesehatan fisik
|
12
|
Pengangguran atau dipecat
|
13
|
Tidak menikah, janda/duda. Atau bercerai
|
Tabel 14-2.Penilaian Risiko Bunuh Diri
Variabel
|
Risiko Tinggi
|
Risiko Rendah
|
Sifat demografik dan sosial
Usia
Jenis kelamin
Status mental
Pekerjaan
Hubungan interpersonal
Latar belakang keluarga
|
Lebih dari 45 tahun
Laki-laki
Cerai atau janda
Pengangguran
Konflik
Kacau atau konflik
|
Di bawah 45 tahun
Wanita
Menikah
Bekerja
Stabil
Stabil
|
Kesehatan
Fisik
Mental
|
Penyakit kronis
Hipokondriak
Pemakaian zat yang berlebihan
Depresi berat
Psikosis
Gangguan kepribadian berat
Penyalahgunaan zat
Putus asa
|
Kesehatan baik
Merasa sehat
Penggunaan zat rendah
Depresi ringan
Neurosis
Kepribadian ringan
Peminum sosial
Optimisme
|
Aktivitas bunuh diri
Ide bunuh diri
Usaha bunuh diri
|
Sering, kuat, berkepanjangan
Usaha berulang kali
Direncanakan
Penyelamatan tidak mungkin
Keinginan yg tak ragu untuk mati
Komunikasi di internalisasikan (menyalahkan diri sendiri)
Metoda mematikan dan tersedia
|
Jarang, rendah, sementara
Usaha pertama
Impulsif
Penyelamatan tak terhindarkan
Keinginan utama untuk berubah
Komunikasi di eksternalisasikan (kemarahan)
Metoda dengan letalitas rendah dan tidak mudah didapat
|
Sarana
Pribadi
Sosial
|
Pencapaian buruk
Tilikan buruk
Afek tak ada atau terkendali buruk
Rapport buruk
Terisolasi sosial
Keluarga tidak responsif
|
Pencapaian baik
Penuh tilikan
Afek tersedia dan terkendali
Rapport baik
Terintegrasi secara sosial
Keluarga yang memperhatikan
|
2.1.8 Terapi Obat
Seorang
pasien yang berada dalam krisis karena kematian atau peristiwa lainnya
dengan lama waktu yang terbatas dapat berfungsi dengan lebih baik
setelah mendapatkan sedasi ringan sesuai keperluan, khususnya jika tidur
telah terganggu. Benzodiazepine adalah obat yang terpilih, dan regimen
yang tipikal adalah lorazepam (Ativan) 1 mg satu sampai tiga kali sehari
selama dua minggu. Iritabilitas pasien dapat meningkat dengan pemakaian
benzodiazepine secara teratur, dan iritabilitas adalah faktor risiko
untuk bunuh diri, sehingga benzodiazepine harus digunakan dengan
berhati-hati pada pasien yang menunjukkan sikap bermusuhan. Hanya
sejumlah kecil medikasi yang harus diberikan, dan pasien harus diikuti
dalam beberapa hari.
Antidepresan
adalah pengobatan definitif untuk banyak pasien yang datang dengan ide
bunuh diri, tetapi adalah tidak umum untuk memulai antidepresan di ruang
gawat darurat. Tetapi, jika depresan, perjanjian follow-up yang pasti
harus dilakukan, lebih baik pada hari selanjutnya.
2.2 Gaduh atau Gelisah
2.2.1 Keadaan Gaduh Gelisah
2.2.1.1. Psikomotor meningkat
2.2.1.2 Banyak bicara
2.2.1.3 Mondar-mandir
2.2.1.4 Lari-lari
2.2.1.5 Loncat-loncat
2.2.1.6 Destruktif
2.2.1.7 Bingung
2.2.2 Penyebab Keadaan Gaduh Gelisah
2.2.2.1 Gangguan mental organik (delirium)
2.2.2.2 Psikosis fungsional
a. Gangguan psikotik akut
b. Skizofrenia
c. Keadaan mania
d. Amuk
e. Gangguan panic
f. Kebingungan post konvulsi
g. Reaksi disosiatif
h. Ledakan amarah (temper tantrum)
2.2.3 Strategi Umum Pemeriksaan Pasien
2.2.3.1 Ketahui sebanyak mungkin mengenai pasien sebelum menjumpai
2.2.3.2 Waspada mengenai ancaman kekerasan
2.2.3.3 Perhatikan posisi diri jika berada di ruang tertutup
2.2.3.4 Pastikan ada orang lain pada saat pemeriksaan
2.2.3.5 Usahakan untuk mengadakan relasi sebaik mungkin dengan pasien
2.2.3.6 Cegah pasien menciderai diri
2.2.3.7 Cegah pasien menciderai orang lain
2.2.3.8 Pendekatan pasien dengan sikap tidak mengancam
2.2.3.9 Beri keyakinan pada pasien
2.2.3.10 Tawarkan pengobatan
2.2.3.11 Informasikan pasien bahwa pengikatan atau pengurungan mungkin diperlukan
2.2.3.12 Serahkan prosedur pengikatan kepada mereka yang menguasai
2.2.3.13 Pastikan tim selalu siap menahan pasien
2.2.4 Pemeriksaan
2.2.4.1 Diagnosis awal
a. Pemeriksaan fisik
b. Wawancara psikiatrik
c. Pemeriksaan status mental
2.2.4.2 Mengidentifikasi faktor pencetus
2.2.4.3 Mengidentifikasi kebutuhan segera
a. Untuk segera mendapat penanganan psikiatrik
b. Untuk segera rujuk ke tempat yang paling berkompeten
2.2.4.4 Pemeriksaan laboratorium yang relevan
2.2.5 Penatalaksanaan Pengikatan Fisik
2.2.5.1 Berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan
perilakunya.
2.2.5.2 Ulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya akan dilakukan
pengikatan.
2.2.5.3 Tawarkan untuk menggunakan medikasi dari pada dilakukan pengikatan,
jangan tawar-menawar dengan pasien.
2.2.5.4 Jangan membiarkan pasien berpikir tentang keraguan kita untuk melakukan
pengikatan.
2.2.5.5 Lakukan pengikatan
a. Tiap anggota gerak satu ikatan
b. Ikatan pada posisi sedemikian agar tidak mengganggu aliran cairan IV jika diperlukan
c. Posisi kepala lebih tinggi untuk menghindari aspirasi
d. Lakukakan pemeriksaan vital sign tiap setiap ½ jam
e. Tempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat oleh staf
2.2.5.6 Lanjutkan dengan medikasi
2.2.5.7 Setelah pasien dapat dikendalikan dengan medikasi, mulai dengan
melepaskan satu ikatan
2.2.5.8 Dua ikatan terakhir harus dilakukan bersama-sama (tidak menganjurkan
mengikat pasien dengan hanya satu ikatan pada anggota gerak
2.2.5.9 Buat catatan mengapa pasien harus diikat
2.2.6 Farmokoterapi
2.2.6.1 Golongan benzodiazepin
a. Diazepam
b. Lorazepam
c. Clonazepam
2.2.6.2 Golongan antipsikotik
a. Chlorpromazine
b. Haloperidol
c. Olanzapine
d. Fluphenazine
Untuk pasien non psikotik: Golongan benzodiazepine
Untuk pasien psikotik : Golongan benzodiazepine dan Golongan antipsikotik
2.2.7 Penatalaksanaan Keadaan Gaduh Gelisah :
a. Mendeteksi
adanya tanda-tanda gangguan mental seperti penurunan kesadaran gangguan
daya ingat,diorientasi dan gangguan fungsi intelektual.
b. Apabila
terdapat salah satu tanda tesrsebut maka kemungkinan keadaan gaduh
gelisah dilatarbelakangi oleh gangguan mental organic (gangguan
kesehatan umum).
c. Selanjutnya pasien dirujuk ke Rumah Sakit .
d. Apabila tidak terdapat tanda organik kemungkinan kasus dalam keadaan gaduh gelisah,psikiatrik harus diobati.
2.3 NAPZA
NAPZA
(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik,
psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Istilah
NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik
beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis,
dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat
yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran.
2.3.1 Jenis NAPZA Yang Disalahgunakan
a. Narkotika (Menurut UU RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).
Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibedakan
kedalam golongan-golongan :
1) Narkotika Golongan I
Narkotika
yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja).
2) Narkotika Golongan II :
Narkotika
yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).
3) Narkotika Golongan III :
Narkotika
yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).
Narkotika
yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I, seperti Opiat :
morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau
kanabis, marihuana, hashis - Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain,
daun koka.
b. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika).
Yang
dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :
1) Psikotropika Golongan I
Psikotropika
yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD).
2) Psikotropika Golongan II
Psikotropika
yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau
tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat atau
ritalin).
3) Psikotropika Golongan III
Psikotropika
yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital,
Flunitrazepam).
4) Psikotropika Golongan IV
Psikotropika
yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam,
Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK,
pil Koplo).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :
§ Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu
§ Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur) : MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain.
§ Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.
c. Zat Adiktif Lain
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1) Minuman berakohol
Mengandung
etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan
sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam
kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika
atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
§ Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)
§ Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
§ Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House)
2) Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut)
Mudah
menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang
keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering
disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
3) Tembakau
Pemakaian
tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya
penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama
pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok
dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang
lebih berbahaya. Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga
diklasifikasikan sebagai berikut :
§ Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.
§ Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.
§ Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
§ Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1) Golongan Depresan (Downer)
Adalah
jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis
ini membuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya
tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,
heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan
tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2) Golongan Stimulan(Upper)
Adalah
jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu,
esktasi), Kafein, Kokain
3) Golongan Halusinogen
Adalah
jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang
yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini
tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
2.3.2 Penyalahgunaan Dan Ketergantungan
Penyalahgunaan dan
Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan
ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan
tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik
1. Penyalahgunaan NAPZA adalah
penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau
teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan
fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. Ketergantungan NAPZA adalah
keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga
tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya
dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara
“normal”.
3. Tingkat Pemakaian NAPZA.
a. Pemakaian coba-coba (experimental use),
yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa
ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain
berlanjut pada tahap lebih berat.
b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use)
: yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan bersenang-senang,pada saat
rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap
ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat.
c. Pemakaian Situasional (situasional use)
: yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti
ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan sebagainnya, dengan maksud
menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
d. Penyalahgunaan (abuse):
yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat
patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang
hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali
mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan
ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai
oleh : tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan
baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu,
sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak
mampu berfungsi secara efektif.
e. Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar
tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka
sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan
kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan
penyuluhan pada keluarga dan masyarakat.
2.3.3 Penyebab Penyalahgunaan Napza
Penyebab
penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor
yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya
zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah
sebagian berikut :
a. Faktor individu :
Kebanyakan
penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab
remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun
sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan
NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih
besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain :
§ Cenderung membrontak dan menolak otoritas
§ Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti
§ Depresi,Ccemas, Psikotik, Kkeperibadian dissosial.
§ Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
§ Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negatif
§ (low self-esteem)
§ Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
§ Mudah murung,pemalu, pendiam
§ Mudah merasa bosan dan jenuh
§ Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
§ Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
§ Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang
§ keperkasaan dan kehidupan modern.
§ Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
§ Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”
§ Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
§ mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas
§ Kemampuan komunikasi rendah
§ Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak
§ mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain)
§ Putus sekolah
§ Kurang menghayati iman kepercayaannya
b. Faktor Lingkungan
Faktor
lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik
disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor
keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang
anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :
1) Lingkungan Keluarga
§ Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif
§ Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga
§ Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi
§ Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh
§ Orang tua otoriter atau serba melarang
§ Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
§ Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
§ Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
§ Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)
§ Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga
§ Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA
2) Lingkungan Sekolah
§ Sekolah yang kurang disiplin
§ Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA
§ Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara
§ kreatif dan positif
§ Adanya murid pengguna NAPZA
3) Lingkungan Teman Sebaya
§ Berteman dengan penyalahguna
§ Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
4) Lingkungan masyarakat/sosial
§ Lemahnya penegakan hukum
§ Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung
c. Faktor Napza
§ Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”
§ Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba
§ Khasiat
farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidur-kan,
membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
Faktor-faktor
tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi
penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas,
semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Penyalahguna
NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor
lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar
perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena
faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang
harmonis dan cukup kominikatif menjadi penyalahguna NAPZA
2.3.4 Deteksi Dini Penyalahgunaan Napza
Deteksi
dini penyalahgunaan NAPZA bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting
artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan
yang patut dikenali atau diwaspadai adalah :
a. Kelompok Risiko Tinggi
Kelompok
Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat
dalam penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal
tersebut, mereka disebut juga Potential User (calon pemakai,
golongan rentan). Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya, namun
seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi) mempunyai
potensi lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA dibandingkan dengan
yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko tinggi. Mereka mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1) Anak
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA antara lain :
§ Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
§ Anak yang sering sakit
§ Anak yang mudah kecewa
§ Anak yang mudah murung
§ Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
§ Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
§ Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)
2) Remaja
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
§ Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai citra diri negatif
§ Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
§ Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
§ Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko tinggi/bahaya
§ Remaja yang cenderung memberontak
§ Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku
§ Remaja yang kurang taat beragama
§ Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
§ Remaja dengan motivasi belajar rendah
§ Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
§ Remaja
dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual
(pemalu,sulit bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang bergaul
dengan lawan jenis).
§ Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
§ Remaja yang cenderung merusak diri sendiri
3) Keluarga
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
§ Orang tua kurang komunikatif dengan anak
§ Orang tua yang terlalu mengatur anak
§ Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar kemampuannya
§ Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
§ Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau ayah menikah lagi
§ Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar-salah yang jelas
§ Orang tua yang tidak dapat menjadikan dirinya teladan
§ Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA
2.3.5 Gejala Klinis Penyalahgunaan Napza
a. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :
§ Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga.
§ Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
§ Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) :
mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh
tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.
§ Pengaruh jangka panjang,
penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan,
gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau
bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)
b. Perubahan Sikap dan Perilaku
§ Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
§ Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tempat kerja.
§ Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu.
§ Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
§ Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang.
§ Sering
berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
milik keluarga, mencuri, mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau
berurusan dengan polisi.
§ Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia
2.3.6 Tujuan Terapi Dan Rehabilitasi
a. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA.
Tujuan
ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau
mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru
menggunakan NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong
dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari
NAPZA. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA
tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.
b. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps
Sasaran
utamanya adalah pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu
kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari
kekeliruannya,dan ia memang telah dobekali ketrampilan untuk mencegah
pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk
selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention programe, Program
terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson
merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.
c. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam
kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan
(maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kedaruratan
psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh
diri,gaduh atau gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah
setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian
(Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar bunuh diri
dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat)
yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung, verbal
atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri
Setiap
orang yang ingin melakukan prilaku bunuh diri biasanya melewati
beberapa rentang ataupun tahap-tahapan diantaranya: Suicidal ideation,
Suicidal intent, Suicidal threat, Suicidal gesture, Suicidal attempt dan
suicide.
Sementara itu gaduh/gelisah merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan :
banyak bicara, mondar-mandir,lari-lari,loncat-loncat,destruktif dan
bingung. Hal ini di sebabkan oleh : Gangguan mental organik (delirium),
psikosis fungsional, amok, gangguan panic, kebingungan post konvulsi,
reaksi disosiatif dan ledakan amarah (temper tantrum).
Kedaruratan psikiatri yang ke tiga ialah penyalahgunaan napza. NAPZA
(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik,
psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Penyebab
penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang
terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat
(NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA
diantaranya ialah : factor individu, faktor lingkungan dan faktor NAPZA
itu sendiri.
3.2 Saran
Seyogyaanya
perilaku bunuh diri, gelisah/gaduh dan penyalahgunaan NAPZA dapat di
cegah atau dihindarkan dengan beberapa cara diantaranya :
1. Selalu berfikiran positif akan segala hal
2. Selalu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa
3. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif
4. Jangan mencoba-coba sesuatu yang tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma,Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatri dalam Praktek. Jakarta : Professional Books
Tom, Kustedi.1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar .Bandung : Yayasan Al-Ghifari
Morgan. 1991. Segi PraktisPsikiatri. Jakarta : Bina rupa aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar