BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
American
Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan untuk melakukan RJP
(Resusitasi Jantung Paru) terbaru. Rekomendasi terbaru menunjukkan bahwa
penolong harus lebih berfokus pada kompresi dada ketimbang pernapasan
buatan melalui mulut. Panduan terdahulu (2005) menekankan pada
penanganan “ABC” (Airway, Breathing, Chest Compression) yaitu dengan
melakukan pemeriksaan jalan napas, melakukan pernapasan buatan melalui
mulut, kemudian memulai kompresi dada. Panduan terbaru (2010) yang
dikeluarkan oleh AHA lebih menekankan pada penanganan “CAB” (Chest
Compression, Airway, Breathing) yaitu dengan terlebih dahulu melakukan
kompresi dada, memeriksa jalan napas kemudian melakukan pernapasan
buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan buatan melalui mulut
boleh tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang asing dan
kurangnya pelatihan formal. Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki
tujuan yang sama, yaitu membuat aliran darah dan oksigen tetap
bersirkulasi secepat mungkin.
Pada
tahun 2008, AHA menyatakan bahwa penolong tak terlatih atau mereka yang
tidak mau melakukan pernapasan buatan melalui mulut dapat melakukan
kompresi dada hingga bantuan medis datang. Panduan terbaru (2010) dari
AHA menyarankan kompresi dada terlebih dahulu baik bagi penolong
terlatih maupun penolong tidak terlatih. The American Heart Association
(AHA) menyarankan, ketika seorang dewasa ditemukan tidak responsif dan
tidak bernapas atau mengalami kesulitan bernapas, setiap orang yang ada
di sekitarnya wajib untuk menghubungi tenaga kesehatan kemudian segera
melakukan kompresi dada. Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan
dan melakukan kompresi dada, maka tindakan berikutnya yang harus
dilakukan adalah dengan segera bisa mendapatkan akses terhadap AED
(automatic external defibrillator), sebuah alat bantu kejut jantung yang
dapat membantu ritme jantung kembali normal. Ketiga mata rantai awal
ini dapat membantu meningkatkan keberhasilan pertolongan dan angka
kehidupan pada korban. Perubahan panduan ini mengacu pada
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan berarti pada hasil dari tindakan RJP
kompresi dada dan pernapasan buatan dengan RJP kompresi dada saja.
Panduan
“Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah dilakukan
juga bagi orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk
mempertahankan aliran darah dan oksigen dalam darah tetap mengalir ke
jantung dan otak. Kompresi dada memang cenderung lebih mudah untuk
dilakukan, dan setiap orang dapat melakukannya. Kompresi dada dapat
dilakukan dengan meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain dan
menekan dengan kuat pada dada korban. Panduan RJP yang baru ini
menekankan bahwa penolong harus berfokus memberikan kompresi sekuat dan
secepat mungkin, 100 kali kompresi dada per menit, dengan kedalaman
kompresi sekitar 5-5,5 cm. Dan, sangat penting untuk tidak bersandar
pada dada ketika melakukan kompresi dada pada korban. Penolong tidak
perlu takut dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang dalam karena
risiko ketidakberhasilan justru terjadi ketika kompresi dada yang
dilakukan kurang dalam.
Resusitasi
jantung paru tidak dilakukan pada semua penderita yang mengalami gagal
jantung atau pada orang yang sudah mengalami kerusakan pernafasan atau
sirkulasi yang tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup, melainkan yang
mungkin untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan di otak.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara
mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi
penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika
keadaan ini tidak ditolong akan terjadi mati biologis yang irreversibel.
Resusitasi jantung paru yang dilakukan setelah penderita mengalami
henti nafas dan jantung selama 3 menit, presentasi kembali normal 75
%tanpa gejala sisa. Setelah 4 menit presentasi menjadi 50 % dan setelah
lima menit menjadi 25 %. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus
dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Disamping mati klinis dan
biologis dikenal dengan istilah mati social yaitu keadaan dimana
pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan, namun telah
mengalami aktifitas kortikal yang abnormal. Penderita dalam keadaan
sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh dan dinyatakan dalam
keadaan vegetatif. Agar resusitasi dapat berjalan maksimal tentu saja
memerlukan penolong yang cekatan dan terampil. Waktu satu menit sangat
berguna dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita.
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan rjp dan defibrilasi
2. Tujuan Khusus
- Mampu melakukan pengkajian terhadap klien dengan rjp dan defibrilasi
- Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan rjp dan defibrilasi sesuai dengan prioritas masalah
- Mampu menyusun rencana tindakan asuhan keperawatan dengan klien rjp dan defibrilasi
- Mampu menerapkan tindakan keperawatan pada klien dengan rjp dan defibrilasi
- Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
1.3 METODE PENULISAN
Dalam
penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi
kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di
internet.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan Sistematika penulisan sebagai berikut :
· Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
· Bab
II : Pengertian, klasifikasi, etiologi, anatomi dan fisiologi,
patofisiologi/pathway, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan
· Bab III : Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Implementasi keperawatan, Evaluasi
BAB II
KONSEP MEDIS
2.1 PENGERTIAN
Resusitasi
jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan
atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal
selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.
Henti
jantung dan henti nafas bukanlah kejadian yang sering terjadi walaupun
di Rumah Sakit. Pada banyak kasus sebenarnya kematian mendadak sebagai
akibat sroke infark, kelebihan dosis obat dan trauma hebat, dapat
dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Setiap tenaga
kesehatan harus menguasai teknik resusitasi jantung paru. Pada tahun
1974, The American Association menerbitkan penuntun pertama teknik
bantuan hidup ini kemudian direvisi pada tahun 1980, tahun 1986 di
negara lain mengikutinya.
2.2 ANATOMI FISIOLOGI
Pemakaian
oksigen dan pengeluaran karbon dioksida sangat diperlukan untuk
menjalankan fungsi normal selular didalam tubuh. Pemakaian tersebut
melalui suatu proses pernafasan sehingga secara harfiah pernafasan dapat
diartikan pergerakan oksigen dari atmosfer menuju sel ke udara bebas.
Proses pernafasan terdiri dari beberapa langkah dimana sistem
pernafasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler memegang
peranan yang sangat penting.
2.2.1Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernafasan
Saluran
pernafasan udara mulai dari hidung hingga mencapai paru adalah hidung,
faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus1. Saluran pernafasan
dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa yang
bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung udara tersebut
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Kemudian udara mengalir ke faring
menuju laring. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otak dan mengandung pita suara. Diantara pita suara
terdapat ruang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang
lebih 5 inci. Permukaan posterior agak pipih dan letaknya tepat didepan
esofagus. Bronkhus utama kanan dan kiri tidak simetris, yang kanan lebih
pendek, lebih lebar dan merupakan kelanjutan trakhea. Cabang utama
bronkhus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkhus lobaris dan
bronkhus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkhus
yang ukurannya semakin kecil yang berakhir menjadi bronkhiolus
terminalis. Oksigen pada proses pernafasan dipindahkan dari udara luar
ke dalam jaringan dan stadium pertama ventilasi, yaitu masuknya campuran
gas ke dalam dan keluar paru. Transportasi masuknya campuran gas yang
keluar masuk paru terdiri dari beberapa aspek, yaitu :
1. Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru, dan antara darah sistemik dan sel jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.
Stadium
yang ketiga adalah respirasi sel, yaitu saat dimana metabolit dioksida
untuk mendapatkan energi dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah
metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru- paru.
2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Kardiovaskuler
Jantung
merupakan salah satu organ yang terletak dalam mediastinum di rongga
dada, yaitu diantara kedua paru. Perikardium sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu perikardium parietalis dan pericardium visceralis.
Perikardium parietalis melekat pada tulang dada sebelah depan dan
kolumna vertebralis bagian belakang, sedangkan ke bawah pada diafragma.
Perikardium visceralis langsung melekat pada permukaan jantung. Jantung
sendiri terbagi dari 3 lapisan yaitu epikardium (lapisan terluar),
miokardium (lapisan dalam) dan endokardium (lapisan terdalam). Ruangan
jantung terbagi menjadi 2 bagian jantung bagian atas atrium dan
ventrikel terletak sebelah bawah, yang secara anatomi mereka terpisah
oleh suatu annulus fibrosus. Keempat katup jantung terletak dalam cincin
ini. Secara fungsinal jantung terbagi menjadi dua yaitu alat pompa
kanan dan alat pompa kiri yang memompa darah sistemik. Pembagian fungsi
ini mempermudah konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi.
Fisiologi siklus jantung ventrikel kiri memompa darah ke aorta melalui
katup semilunaris aorta, dari aorta darah akan dialirkan menuju arteri
kemudian ke jaringan melalui cabang kecil arteri (arteriola), dari
arteriola kemudian menuju ke venula. Kemudian akan melalui vena darah
akan dialirkan ke atrium kanan, dari atrium kanan darah menuju ventrikel
kanan melalui katup trikuspidalis, dari ventrikel kanan kemudian darah
dipompa menuju arteri pulmonalis melewati katup semilunaris pulmonalis.
Dari arteri pulmonalis ke pulmo. Dari pulmo darah keluar melalui vena
pulmonalis ke atrium kiri, dari atrium kiri kemudian menuju ventrikel
kiri melalui katup bicuspidalis atau mitralis. Demikian seterusnya darah
akan mengalir melalui siklus tersebut.
2.3 ETIOLOGI
Resusitasi
jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau
sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan
atau henti jantung (cardiac arrest), yang mana fungsi tersebut gagal
total oleh sebab yang memungkinkan untuk hidup normal. Adapun sebab
henti nafas adalah :
2.3.1 Sumbatan jalan nafas
Bisa
disebabkan karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke
belakang, pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan akut
glotis dan sekitarnya (sembab glotis, perdarahan).
2.3.2 Depresi pernafasan
Sentral
: obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti
jantung, tumor otak dan tenggelam. Perifer : obat pelumpuh otot,
penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
2.3.3 Sebab- sebab henti jantung:
1. Penyakit kardiovaskuler
· Penyakit
jantung sistemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada
sistem konduksi (penyakit lenegre, sindrom adams stokes, noda sinus
atrioventrikulaer sakit).
· Kekurangan oksigen akut
· Henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi, asfiksia dan hipoksia.
· Kelebihan dosis obat dan gangguan asam basa
· Digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin
2. Kecelakaan
· Syok listrik dan tenggelam.
· Refleks vagal
· Peregangan sfingter anii, penekanan atau penarikan bola mata.
· Anestesi dan pembedahan.
3. Terapi dan tindakan diagnostik medis
Syok
(hipovolemik, neurogenik, toksik dan anafilaktik) Kebanyakan henti
jantung yang terjadi di masyarakat merupakan akibat penyakit jantung
iskemik, 40 % mati mendadak. Dari penyakit jantung iskemik terjadi dalam
waktu satu jam setelah dimulainya gejala dan proporsinya lebih tinggi,
sekitar 60 % diantara umur pertengahan dan yang lebih muda. Lebih dari
90 % kematian yang terjadi di luar rumah sakit disebabkan oleh fibrilasi
ventrikuler, suatu kondisi yang potensial reversibel1.
2.4 Penatalaksanaan henti jantung dan nafas
Resusitasi
jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti
jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu
harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan
penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. Pada penatalaksanaan
resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi
dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
2.4.1 Resusitasi dilakukan pada :
· Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
· Serangan Adams-Stokes
· Hipoksia akut
· Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
· Sengatan listrik
· Refleks vagal
· Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2.4.2 Resusitasi tidak dilakukan pada :
· Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
· Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
· Bila
hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu
sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Pada
penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat
penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas
buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan.
Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai
dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada
nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru
adalah sebagai berikut :
2.4.2.1 Bantuan Hidup Dasar
1. Airway (jalan nafas)
Berhasilnya
resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya
ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis
akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus
dipertahankan dalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak menolong, maka
rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah:
· Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
· Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
· Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
· Penarikan
rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian
puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong
harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan
mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
2. Breathing (Pernafasan)
Dalam
melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di
belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke
belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan
telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong
menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban
dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan
gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima
detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
· Gerakan dada waktu membesar dan mengecil
· Merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
· Dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
· Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis.
3. Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering
disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac
arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba,
pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat
yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
· Afiksi dan hipoksi
· Serangan jantung
· Syok listrik
· Obat-obatan
· Reaksi sensitifitas
· Kateterasi jantung
· Anestesi.
Untuk
mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan
dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti
jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan
hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi
buatan.
Henti jantung diketahui dari :
· Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
· Korban tidak sadar
· Korban tampak seperti mati
· Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.
Pada
henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan
nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas,
segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan
a. carotis lebih dianjurkan karena :
1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila
teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang
atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan
dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai
dengan pernafasan buatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,
1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil,
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban
dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang
terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul
pelaksanaannya.
3. Korban
belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam
hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut
(BHL).
2.4.2.2 Bantuan Hidup Lanjut
1. Drugs
Setelah
penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan
bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul
denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan
berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,
a. Penting, yaitu :
· Adrenalin
· Natrium bikarbonat
·Sulfat Atropin
· Lidokain
b. Berguna, yaitu :
· Isoproterenol
· Propanolol
· Kortikosteroid.
· Natrium bikarbonat
Penting
untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1
mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode
10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan
yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi
metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada
sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang
sama.
2. Adrenalin
Mekanisme
kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1
mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu
diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel.
3. Lidokain
Meninggikan
ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole.
Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga
mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti
fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat
dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari
4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
4. Sulfat Artopin
Mengurangi
tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut
jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah
“arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard,
terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.
Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut
nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada
blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
5. Isoproterenol
Merupakan
obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete
heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20
mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan
diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit.
Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi
dengan Atropine.
6. Propranolol
Suatu
beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna
untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan
Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3
mg, dengan pengawasan yang ketat.
7. Kortikosteroid
Sekarang
lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon
sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan
syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl
prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada
komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
8. EKG
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
9. Fibrillation Treatment
Tindakan
defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang
sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
2.4.2.3 Keputusan untuk mengakhiri resusitasi :
Keputusan
untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan
kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan
adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan
spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan
spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan
kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya
sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada
aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
TERAPI LISTRIK (DEFIBRILASI)
A. DEFIBRILASI
Defibrilasi adalah pengobatan yang menggunakan aliran listrik dalam waktu yang singkat secara asinkron.
Defribilasi
(eksternal) adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat ke jantung pasien melalui electrode (pedal) yang
ditempatkan di permukaan dinding dada pasien.
Defibrilasi
adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang
kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang
ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk
koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan,
ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan
oksigenasi. American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar
defibrilasi diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT
non- pulse atau VF, yaitu 3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit
dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam setting luar rumah sakit.
Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini sudah
ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut
automatic external defibrillation (AED). AED adalah defibrillator yang
menggunakan system computer yang dapat menganalisa irama jantung,
mengisi tingkat energi yang sesuai dan mampu memberikan petunjuk bagi
penolong dengan memberikan petunjuk secara visual untuk peletakan
elektroda.
B. Indikasi defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama (rekomendasi class I) yang ditujukan pada:
§ Ventrikel fibrilasi (VF)
§ Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)
Meskipun
defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dan VT non- pulse,
penggunaan defibrilasi tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan
resusitasi. kardiopulmonari (RKP). Peran aktif dari penolong atau tenaga
kesehatan pada saat mendapati pasien dengan cardiac arrest, dimana
sebagian besar menunjukkan VF dan VT, untuk bertahan terbukti meningkat.
Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan :
1. Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel fibrilasi (VF)
2. Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.
3. Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.
4. Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu beberapa menit.
C. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan defibrilasi
1.
Lamanya VF Kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme
miokards dan jumlah miokard yang rusak selama periode hipoksia karena
arrest. Semakin lama waktu yang digunakan untuk memulai defibrilasi maka
semakin banyak persediaan ATP yang digunakan miokard untuk bergetar
sehingga menyebabkan jantung memakai semua tenaga sampai habis dan
keadaan ini akan membuat jantung jadi kelelahan.
2. Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik,hipotermi dan penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan aktivitas kontraksi jantung.
3. Besarnya jantung Makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan untuk defibrilasi.
4. Ukuran
pedal Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm dan
untuk anak-anak berkisar 4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat
tidak semua permukaan pedal menempel pada dinding dada dan menyebabkan
banyak arus yang tidak sampai kejantung.Untuk itu, penggunaan pedal pada
anak- anak bisa disesuaikan dengan ukuran tubuhnya
D. Komplikasi defibrilasi
a. Henti jantung-nafas dan kematian
b. Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
c. Gagal nafas
d. Asistole
e. Luka bakar
f. Hipotensi
g. Disfungsi pace-maker
E. Alat yang dipergunakan
1. Defibrilator
Defibrilator
adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat menyebabkan
depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak teratur,
sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung yang
terkoordinir. Enerji dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut
paddle. Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya
yaitu monophasic dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe
defibrilator yang pertama kali diperkenalkan, defibrilator biphasic
adalah defibrilator yang digunakan pada defibrilator manual yang banyak
dipasarkan saat ini.
2. Jeli
Jeli
digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan
aliran listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle.
3. Energi
Untuk
VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan
monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang
sama, jika menggunakan biphasic deflbrilator energi yang diperlukan
berkisar antara 120 - 200 joule.
F. Prosedur defibrilasi:
1. Nyalakan deflbrilator
2. Tentukan enerji yang diperlukan dengan cara memutar atau menggeser tombol enerji
3. Paddle diberi jeli secukupnya.
4.
Letakkan paddle dengan posisi paddle apex diletakkan pada apeks jantung
dan paddle sternum diletakkan pada garis sternal kanan di bawah
klavikula.
5.
Isi (Charge) enerji, tunggu sampai enerji terisi penuh, untuk
mengetahui enerji sudah penuh, banyak macamnya tergantung dari
defibrilator yang dipakai, ada yang memberi tanda dengan menunjukkan
angka joule yang diset, ada pula yang memberi tanda dengan bunyi bahkan
ada juga yang memberi tanda dengan nyala lampu.
6.
Jika enerji sudah penuh, beri aba-aba dengan suara keras dan jelas agar
tidak ada lagi anggota tim yang masih ada kontak dengan pasien atau
korban, termasuk juga yang mengoperatorkan defibrilator, sebagai contoh:
"Enerji siap ",,"Saya siap ",,"Tim lain siap"
7.
Kaji ulang layar monitor defibrillator, pastikan irama masih VF/VT
tanda nadi, pastikan enerji sesuai dengan yang diset, dan pastikan modus
yang dipakai adalah asinkron, jika semua benar, berikan enerji tersebut
dengan cara menekan kedua tombol discharge pada kedua paddle. Pastikan
paddle menempel dengan baik pada dada pasien (beban tekanan pada paddle
kira-kira 10 kg).
8.
Kaji ulang di layar monitor defibrilator apakah irama berubah atau
tetap sama scperti sebelum dilakukan defibrilasi, jika berubah cek nadi
untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan RJP, jika tidak berubah
lakukan RJP untuk selanjutnya lakukan survey kedua.
9. Automated External Defibrilator (AED)
AED adalah sebuah defibrilator yang bekerja secara komputer yang dapat :
1. Menganalisa irama jantung seorang korban yang mengalami henti jantung.
2. Mengenal irama yang dapat dilakukan tindakan defibrilasi ( shock)
3. Memberikan petunjuk pada operator ( dengan memperdengarkan suara atau dengan indikator cahaya)
AED digunakan jika korban mengalami henti jantung :
1. Tidak berespon
2. Tidak bernafas
3. Nadi tidak teraba atau tanda - tanda sirkulasi lain
G. Dokumentasi dan laporan setelah tindakan
1. Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
2. Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
3. Energi yang digunakan untuk defibrilasi
4. Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. RJPO
Dengan
penemuan tindakan diagnostik dan resusitasi mutakhir maka kematiantidak
dianggap sebagai saat berhenti kerja jantung. Sekarang dikenal
spektrumkeadaan fisiologik yang meliputi kematian klinis, serebral dan
organis. Tanpapertolongan tindakan resusitasi maka henti sirkulasi akan
menyebabkan disfungsi serebral dan kemudian organis dengan kerusakan sel
irreversibel.Resusitasi untuk mengembalikan fungsi nafas dan sirkulasi
akibat dari henti nafas dan henti jantung, yang dilakukan setelah tiga
menit presentasi keberhasilan 75 %,jika setelah empat menit presentasi
keberhasilan 50 % dan setelah lima menit makapresentasi keberhasilan
resusitasi menjadi 25 %.Tindakan awal yang harus dilakukan pada
penderita henti jantung paru adalahmelakukan ABC, yang merupakan Bantuan
Hidup Dasar, Bantuan HidupLanjut fase II meliputi DEF. Resusitasi
jantung paru ini dilakukan pada pasien yang mungkin hidup lama dan tanpa
meninggalkan kelainan pada otak. Keberhasilan resusitasi ini tergantung
dari penyebab, waktu penderita mulai ditolong, ketrampilan penolong,
alat penunjang dan tenaga medis yang ada.
2. Defibrilasi
Defribilasi
(eksternal) adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat ke jantung pasien melalui electrode (pedal) yang
ditempatkan di permukaan dinding dada pasien.
Tujuan :
1. Menghilangkan acaman kematian karena fibrilasi ventrikel.
2. Mengembalikan
irama jantung dan cardiac output yang hilang karena VF / VT non pulse
dan mengembalikan oksigenasi dan perfusi ke jaringan.
3.2 Saran
a. Bagi Klien
Diharapkan klien/keluarga dapat melaksanakan anjuran-anjuran yang diberikan oleh dokter dan perawat dalam hal ini terapi obat maupun kebiasaan dan diit.
Diharapkan klien/keluarga dapat melaksanakan anjuran-anjuran yang diberikan oleh dokter dan perawat dalam hal ini terapi obat maupun kebiasaan dan diit.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan pada institusi pendidikan agar lebih dapat meningkatkan mutu perpustakaan guna meningkatkan kualitas mahasiswa/mahasiswi.
Diharapkan pada institusi pendidikan agar lebih dapat meningkatkan mutu perpustakaan guna meningkatkan kualitas mahasiswa/mahasiswi.
DAFTAR PUSTAKA
- Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.
- Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
- Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.
- Muttaqin, Arif (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar