BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan zaman
adalah hal yang tidak dapat terelakan dalam kehidupan. Perkembangan zaman kian
hari kian pesat. Mempunyai dampak secara menyeluruh dalam kehidupan. Banyak
orang berpikir perkembangan yang sangat pesat ini membawa banyak hal positif
kepada umat manusia. Tetapi tidak menutup kemungkinan hal yang positif ini
berjajar dengan hal yang negatif juga. Fenomena ini bisa kita tilik dengan
sudut pandang dunia kesehatan.
Dengan semakin
berkembangnya kehidupan dan mordenisasi disemua bidang kehidupan menimbulkan
gejolak sosial yang cukup terasa dalam kehidupan manusia. Terjadinya perang,
konflik dan lilitan krisis ekonomi berkepanjangan salah satu pemicu yang
memunculkan stress, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa, salah satu
contohnya yaitu perilaku kekerasan.
Umumnya klien
dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering
tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan
oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku
kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah
tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan
oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga
selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan
tentang cara merawat klien.
Perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
definisi dari perilaku kekerasan?
2. Bagaimana
factor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan?
3. Bagaimana
factor presipitasi klien dengan perilaku kekerasan?
4. Bagaimana
tanda dan gejala klien dengan perilaku kekerasan?
5. Bagaimana
proses terjadinya masalah klien dengan perilaku kekerasan?
6. Bagaimana
asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan
Umum
Menjelaskan tentang konsep
gangguan alam perasaan serta pendekatan asuhan keperawatannya.
1.3.2
Tujuan
Khusus
1. Mengidentifikasi
definisi dari perilaku kekerasan.
2. Mengidentifikasi
factor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan.
3. Mengidentifikasi
factor presipitasi klien dengan perilaku kekerasan.
4. Mengidentifikasi
tanda dan gejala klien dengan perilaku kekerasan.
5. Mengidentifikasi
proses terjadinya masalah klien dengan perilaku kekerasan.
6. Mengidentifikasi
asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan
Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan
merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang
ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk
melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).
Suatu
keadaan di mana seorang individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara
fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).
Sedangkan
menurut Maramis (2004), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien
mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk
orang lain dan barang-barang.
2.2 Faktor
Predisposisi
a. Teori
Biologik
1.
Faktor neurologis, beragam
komponen dari sistem syaraf seperti sinaps, neurotransmitter, dendrit, axon
terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan
pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
2.
Faktor genetik, adanya faktor
gen yang diturunkan melalu orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut
riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat potensi agresif yang
sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut
penilitian genetik tipe karyo-type XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni
pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku
agresif.
3.
Irama sirkadian tubuh, memegang
peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia
mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang
masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada
jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
4.
Faktor biokimia tubuh, seperti
neurotransmitter di otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh, adanya stimulasi dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke
otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan
norepinephrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan serebrospinal
vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5.
Brain Area disorder, gangguan
pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma
otak, penyakit ensefalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori
Psikologik
1. Teori
Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan
bahwa adanya ketidakpuasan fase oral
antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan air
susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah
dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakbedayaannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
2.
Imitation,
modeling, and information processing theory
Menurut
teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu
penelitian beberapa anak dikumpulkan
untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif (makin keras pukulannya akan diberi coklat). Setelah
anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku
sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
3.
Learning
theory
Perilaku
kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadaop lingkungan terdekatnya. Ia
mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati
bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas
lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa
dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.
c. Teori
Sosiokultural
Dalan budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh,
sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung
mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang
rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian
masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film
kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan
televisi.
d. Aspek
Religiusitas
Dalam
tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan
syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support).
Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung,
otak dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk
kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal
(ego) dan norma agama (super ego).
2.3
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor
yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan :
1.
Ekspresi diri, ingin
menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2.
Ekspresi dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3.
Kesulitan dalam
mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk
memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4.
Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.
5.
Adanya riwayat perilaku anti
sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol
emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6.
Kematian anggota keluarga yang
terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
2.4
Tanda dan Gejala
Perawat
dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kekerasan :
1.
Fisik
a) Muka
merah dan tegang
b) Mata
melotot atau pandangan tajam
c) Tangan
mengepal
d) Rahang
mengatup
e) Wajah
memerah dan tegang
f) Postur
tubuh kaku
g) Pandangan
tajam
h) Mengatupkan
rahang dengan kuat
i)
Mengepalkan tangan
j)
Jalan mondar-mandir
2.
Verbal
a) Bicara
kasar
b) Suara
tinggi, membentak atau berteriak
c) Mengancam
secara verbal atau fisik
d) Mengumpat
dengan kata-kata kotor
e) Suara
keras
f) Ketus
3.
Perilaku
a) Melempar
atau memukul benda/orang lain
b) Menyerang
orang lain
c) Melukai
diri sendiri/orang lain
d) Merusak
lingkungan
e) Amuk/agresif
4.
Emosi
Tidak
adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5.
Intelektual
Mendominasi,
cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6.
Spiritual
Merasa
diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.
7.
Sosial
Menarik
diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8.
Perhatian
Bolos,
mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
2.5 Proses Terjadinya Masalah
Depkes (2000)
mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
Mengekspresikan marah
dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan
perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara
demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan
kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak
asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat.
Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,
2000).
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,
2000).
BAB III
CONTOH KASUS DAN ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1
Contoh kasus
Sdr.
T (19 tahun) datang ke RSJ karena di rumah ia sering menyendiri, marah-marah
dan sering memukul-mukul diri ke tembok. Di awal pengkajian Sdr. T mengatakan
“aku ini sangat bodoh dan sangat memalukan. Kepandaianku sebanding dengan
kebodohan seekor keledai”. 2 minggu sebelum MRS Sdr T suka menyendiri dikamar,
tak mau berinteraksi dengan orang lain, tak mau makan minum dan mandi. Hal ini
terjadi sejak ia mendapat kabar buruk tentang dirinya. T yang pandai dalam
semua bidang pelajaran menerima hasil UJIAN NASIONAL yang menyatakan bahwa
dirinya TIDAK LULUS ujian yang sangat membuatnya malu dan merasa sangat bodoh
dan membuatnya syok. T mengatakan “mengapa ini terjadi padaku? Tuhan tidak
adil. T selalu memukul orang yang menayakan tentang ketidaklulusannya.
3.2 Asuhan Keperawatan
3.2.1
Pengkajian
1. Data
demografi
a. Perawat
mengkaji identitas klien dan melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien
tentang nama perawat, nama klien, panggilan perawat, panggilan klien, tujuan,
waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
b. Usia
dan nomor rekam medik
c. Perawat
menuliskan sumber data yang didapat
2. Alasan
masuk
Tanyakan
pada klien atau keluarga:
a. Apa
yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke rumah sakit?
b. Apa
yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi masalah ini?
c. Bagaimana
hasilnya?
3. Tinjau
kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data signifikan
tentang:
a. Kerentanan
genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
b. Peristiwa
hidup yang menimbulkan stress dan kehilangan yang baru dialami
c. Episode-episode
perilaku kekerasan di masa lalu
d. Riwayat
pengobatan
e. Penyalahgunaan
obat dan alkohol
f. Riwayat
pendidikan dan pekerjaan
4. Catat
ciri-ciri respon fisiologik, kognitif, emosional dan perilaku dari individu
dengan gangguan mood
5. Kaji
adanya faktor resiko bunuh diri dan lelalitas perilaku bunuh diri klien
a. Tujuan
klien (misal, agar terlepas dari stress solusi masalah yang sulit)
b. Rencana
bunuh diri, termasuk apakah klien memiliki rencana tersebut
c. Keadaan
jiwa klien (misal, adanya gangguan pikiran, tingkat kegelisahan, keparahan
gangguan mood)
d. Sistem
pendukung yang ada
e. Stressor
saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik maupun
medik), kehilangan yang baru dialami, dan riwayat penyalahgunaan zat.
6. Kaji
sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar klien atau keluarga
tentang gejala, medikasi, dan rekomendasi pengobatan, gangguan mood,
tanda-tanda kekambuhan serta tindakan perawatan sendiri.
3.2.2 Analisa
Data
Data
|
Masalah
Keperawatan
|
DS:
klien merasa tidak berguna, merasa kosong
DO:
kehilangan minat melakukan aktivitas
|
Gangguan
konsep diri: harga diri rendah
|
DS:
klien merasa minder kepada kedua adiknya, sedih yang berlebihan
DO:
klien menghindar dan mengurung diri
|
Isolasi
sosial: menarik diri
|
DS:
Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang. Klien
suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah
agak merah, nada suara tinggi dan keras, pandangan tajam.
|
perilaku
kekerasan terhadap orang lain
|
DS : Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang. Klien suka membentak
dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah agak
merah, nada suara tinggi dan keras, pandangan tajam.
|
Risiko
tinggi mencederai orang lain
|
3.2.3
Pohon Masalah
Mencederai
diri sendiri dan orang
lain
|
Gangguan
Harga diri kronis
|
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
|
Berduka
disfungsional
|
Isolasi
Sosial
|
Core
Problem
|
Perilaku
kekerasan
|
3.2.4 Intervensi
NO
|
Diagnosis
Keperawatan
|
Perencanaan
|
Intervensi
|
|
Tujuan
|
Kriteria
Hasil
|
|||
1
|
Resiko mencederai diri b.d
perilaku kekerasan
|
TUM:
Klien tidak mencederai diri sendiri
TUK:
1.
Klien
dapat membina hubungan saling percaya
|
1.1
Klien
mau membalas salam
1.2
KLien
mau menjabat tangan
1.3
Klien
mau menyebutkan nama
1.4
Klien
mau tersenyum
1.5
Klien
mau kontak mata
1.6
Klien
mau mengetahui nama perawat
|
1.1.1
Beri
salam atau anggil nama
1.1.2
Sebutkan
nama perawat sambil jabat tangan
1.1.3
Jelaskan
maksud hubungan interaksi
1.1.4
Jelaskan
tentang kontrak yang akan dibuat
1.1.5
Beri
rasa aman dan sikap empati
1.1.6
Lakukan
kontak singkat tapi sering
|
2.
Klien
dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
|
2.1
Klien
mengungkapkan perasaannya
2.2
Klien
dapat mengungkapkan perasaan jengkel ataupun kesal
|
2.1.1
Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
2.1.2
Bantu klien mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal
|
||
3.
Klien
dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
|
3.1
Klien
dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
3.2
Klien
dapat menyimpulkan tanda dan gejala jengkel atau kesal yang dialaminya
|
3.1.1
Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakannya saat jengkel
atau marah
3.1.2
Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien
3.2.1
Simpulkan bersama klien yanda dan gejala jengkel atau kesal yang dialami
klien
|
||
4.
Klien
dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
|
4.1
Klien
dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
4.2
Klien
dapatbermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
4.3
Klien
dapat menngetahui cara yang biasa dilakukan untuk menyelesaikan masalah
|
4.1.1
Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekeraan yang biasa dilakukan
klien
4.2.1
Bantu klien bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
4.3.1
Bicarakan dengan klien apakah dengan cara klien lakukan masalahnya selesai
|
||
5.
Klien
dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
|
5.1
Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien: akibat pada
klien sendiri, akibat pada orang lain, dan akibat pada lingkungan
|
5.1.1
Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien
5.1.2
bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan klien
5.1.3
Tanyakan pada klien apakah dia ingin mempelajari cara baru yang sehat
|
||
6.
Klien
dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
|
6.1
klien
dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku kekerasan secara fisik: tarik
napas dalam, pukul kasur, dan bantal
6.2
klien
dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
6.3
Klien
mempunyai jadwak untuk melatih cara
pencegahan fisik yang telah dipelajari sebelumnya
6.4
Klien
mengevaluasi kemampuannya dalam melakukan cara fisik sesuai jadwal yang
disusun
|
6.1.1
diskusikan
kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
6.1.2
beri
pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
6.1.3
diskusikan
dua cara fisik yang paling mudah untuk mencegah perilaku kekerasan
6.2.1
Diskusikan cara melakukan tarik napas dalam dengan klien
6.2.2
Beri
contoh klien cara menarik napas dalam
6.2.3
Minta
klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 kali
6.2.4
Beri
pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik napas
dalam
6.2.5
Tanyakan
perasaan klien setelah selesai
6.3.1
diskusikan dengan klien mengenai frekuensi latihan yang akan dilakukan
sendiri oleh klien
6.3.2
susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang dipelajari
6.4.1 klien mengevaluasi peaksanaan latihan
6.4.2
validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
6.4.3
beikan pujian atas keberhasilan klien
6.4.4
Tanyakan pada klien apakah kegiatan cara pencegahan perilaku kekerasan dapat
mengurangi perasaan marah
|
||
7.
Klien
dapat mendemonstrasikan cara social untuk mencegah perilaku kekerasan
|
7.1
Klien
dapat menyebutkan cara bicara yang baik dalam mencegah perilaku kekerasan
· Meminta dengan baik
· Menolak dengan baik
· Mengungkapkan perasaan dengan baik
7.2
Klien
dapat mendemonstrasikan cara verbal yang baik
7.3
Klien
mumpunyai jadwal untuk melatih cara bicara yang baik
7.4
Klien
melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara yang sesuai dengan jadwal
yang telah disusun
|
7.1.1.
diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
7.1.2.
Beri contoh cara bicara yang baik :
· Meminta dengan baik
· Menolak dengan baik
· Mengungkapkan perasaan dengan baik
7.2.1.
Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik
· Meminta dengan baik : “Saya minta uang untuk beli makanan”
· Menolak dengan baik : “ Maaf, saya tidak dapat
melakukannya karena ada kegiatan lain.
· Mengungkapkan perasaan dengan baik : “Saya kesal karena
permintaan saya tidak dikabulkan” disertai nada suara yang rendah.
7.2.2.
Minta klien mengulang sendiri
7.2.3.
Beri pujian atas keberhasilan klien
7.3.1.
Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat
dilatih di ruangan, misalnya : meminta obat, baju, dll, menolak ajakan
merokok, tidur tidak pada waktunya; menceritakan kekesalan pada perawat
7.3.2.
Susun jadwaj kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari.
7.4.1.
Klien mengevaluasi pelaksanaa latihan cara bicara yang baik dengan mengisi
dengan kegiatan jadwal kegiatan ( self-evaluation
)
7.4.2.
Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
7.4.3
Berikan pujian atas keberhasilan klien
7.4.4
Tanyakan kepada klien : “ Bagaimana perasaan Budi setelah latihan bicara yang
baik? Apakah keinginan marah berkurang?”
|
||
8.
Klien
dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan
|
8.1
Klien
dapat menyebutkan kegiatan yang biasa dilakukan
8.2
Klien
dapat mendemonstrasikan cara ibadah yang dipilih
8.3
Klien
mempunyai jadwal untuk melatih kegiatan ibadah
8.4
Klien
melakukan evaluasi terhadap kemampuan melakukan kegiatan ibadah
|
8.1.1.
Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan
8.2.1.
Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat dilakukan di ruang rawat
8.2.2.
Bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan dilakukan
8.2.3.
Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih
8.2.4.
Beri pujian atas keberhasilan klien
8.3.1
Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan kegiatan ibadah
8.3.2.
Susun jadwal kegiatan untuk melatih kegiatan ibadah
8.4.1.
Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan mengisi jadwal kegiatan
harian (self-evaluation)
8.4.2.
Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
8.4.3.
Berikan pujian atas keberhasilan klien
8.4.4
Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan Budi setelah teratur melakukan
ibadah? Apakah keinginan marah berkurang
|
||
9.
Klien
dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah perilaku
kekerasan
|
9.1
Klien
dapat menyebutkan jenis, dosis, dan waktu minum obat serta manfaat dari obat
itu (prinsip 5 benar: benar orang, obat, dosis, waktu dan cara pemberian)
9.2
Klien
mendemonstrasikan kepatuhan minum obat sesuai jadwal yang ditetapkan
9.3
Klien
mengevaluasi kemampuannya dalam mematuhi minum obat
|
9.1.1
Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya (nama, warna,
besarnya); waktu minum obat (jika 3x : pukul 07.00, 13.00, 19.00); cara minum
obat.
9.1.2
Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara teratur :
· Beda perasaan sebelum minum obat dan sesudah minum obat
· Jelaskan bahwa dosis hanya boleh diubah oleh dokter
· Jelaskan mengenai akibat minum obat yang tidak teratur,
misalnya, penyakit kambuh
9.2.1
Diskusikan tentang proses minum obat :
· Klien meminat obat kepada perawat ( jika di rumah sakit),
kepada keluarga (jika di rumah)
· Klien memeriksa obat susuai dosis
· Klien meminum obat pada waktu yang tepat.
9.2.2.
Susun jadwal minum obat bersama klien
9.3.1
Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi jadwal kegiatan
harian (self-evaluation)
9.3.2
Validasi pelaksanaan minum obat klien
9.3.3
Beri pujian atas keberhasilan klien
9.3.4
Tanyakan kepada klien : “Bagaiman perasaan Budi setelah minum obat secara
teratur? Apakah keinginan untuk marah berkurang?”
|
||
10.
Klien
dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan
|
10.1
Klien
mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan
10.2
Klien
mempunyai jadwal TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan
10.3
Klien
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan TAK
|
10.1.1
Anjurkan klien untuk mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan
10.1.2
Klien mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan
(kegiatan tersendiri)
10.1.3
Diskusikan dengan klien tentang kegiatan selama TAK
10.1.4
Fasilitasi klien untuk mempraktikan hasil kegiatan TAK da beri pujian atas
keberhasilannya
10.2.1
Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK
10.2.2
Masukkan jadwak TAK ke dalam jadwal kegiatan harian (self- evaluation).
10.3.2
Validasi kemampuan klien dalam mengikuti TAK
10.3.3
Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
10.3.4
Tanyakan pada klien: “Bagaimana perasaan Ibu setelah mengikuti TAK?”
|
||
11.
Klien
mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan perilaku
kekerasan
|
11.1
Keluarga dapat mendemonstrasikan cara merawat klien
|
11.1.1
Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama ini
11.1.2
Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien
11.1.3
Jelaskan cara- cara merawat klien :
· Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara
konstruktif
· Sikap dan cara bicara
· Membantu klien mengenal penyebab marah dan pelaksanaan
cara pencegahan perilaku kekerasan
11.1.4
Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
11.1.5
Bantu keluarga mengngkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi
11.1.6
Anjurkan keluarga mempraktikannya pada klien selama di rumah sakit dan
melanjutkannya setelah pulang ke
rumah.
|
3.2.5
Evaluasi
1. Klien
dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien
terlindung dari perilaku mencederai diri
3. Klien
dapat mengarahkan moodnya lebih baik
4. Klien
mampu dan berupaya untuk memenuhi personal hygiene
5. Klien
dapat meningkatkan harga diri
6. Klien
dapat menggunakan dukungan sosial
7. Klien
dapat menggunakan koping adaptif dan meilhat sisi positif dari masalahnya
8. Klien
dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
9. Klien
mampu meningkatkan produktifitas dan membuat jadwal harian
BAB IV
PEMBAHASAN DAN SKENARIO
4.1 Pembahasan kasus
Perilaku
kekerasan merupakazn suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana
seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri
sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan. Seseorang yang mengalami
masalah ini harus diberikan rencana dan tindakan yang sesuai sehingga pola
ekspresi kemarahannya dapat diubah menjadi bentuk yang bisa diterima yaitu
perilaku yang sesuai, yaitu ekspresi kemarahan.
Factor
pencetus perilaku kekerasan dapat bersumber dari klien maupun lingkungan itu
sendiri.
Klien
berupa : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
Lingkungan
berupa : kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik inetraksi social.
Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengarhi oleh dua insting. Yaitu insting hidup yang di ekspresikan
dengan seksualitas dan insting kematian yang di ekpresikan dengan agresivitas. Frustation-agression
theory : teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi,
bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka
akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang
dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir
semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif
Dari
contoh kasus di atas terlihat bahwa saudara T melakukan perilaku kekerasan yang
mencederai diri sendiri dengan memukul-mukul diri ke tembok hal ini terjadi
berhubungan dengan faktor psikologis yaitu berupa kegagalan yang di alami dapat
menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. karena kopingnya yang tidak efektif dalam
menerima hasil ujiannya yang menyatakan dirinya tidak lulus sedangkan
kesehariannya dia pandai dalam semua bidang.
Hal
ini menyebabkab saudara T begitu frustasi sehingga melampiaskan kemarahannya
dengan perilaku kekerasan mencederai diri sendiri.
Oleh
karena itu, klien perlu disadarkan tentang cara marah yang baik serta bagaimana
berkomunikasi merupakan cara yang efektif untuk mencegah terjadinya perilaku
kekerasan.
Bahwa marah bukan suatu yang
benar atau salah, harus di sadari oleh klien. Sehingga klien dapat di berikan
pemahaman untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan berupa :
1. Bantu klien mengidentifikasi marah.
2. Berikan kesempatan untuk marah.
3. Praktekkan ekspresi marah.
4. Terapkan ekspresi marah dalam situasi nyata.
5. Identifikasi alternatif cara mengeksprasikan marah.
1. Bantu klien mengidentifikasi marah.
2. Berikan kesempatan untuk marah.
3. Praktekkan ekspresi marah.
4. Terapkan ekspresi marah dalam situasi nyata.
5. Identifikasi alternatif cara mengeksprasikan marah.
Dengan
diberikannya pemahaman ini di harapkan tindakan perilaku kekerasan dapat
teratasi, dukungan keluarga juga sangat di butuhkan dalam hal ini.
4.2 SKENARIO
Di sebuah kamar pasien Pav I no 3.
Datanglah seorang perawat.
Suster : “Selamat pagi mas? Perkenalkan
nama saya ners Gabby nur inayah, biasa dipanggil ners Gabby, kalo boleh tau mas
namanya siapa?suka di panggil apa?”
Pasien : (Diam saja sambil melotot)
Suster : “Mas, perkenalkan nama saya
ners Gabby, mas namanya siapa?”
Pasien : “TARMIN”(dengan nada ketus)
Suster : “Ooh.. mas Tarmin, mas
Tarmin hari ini kabarnya bagaimana?”
Pasien: (diam)
Suster : “mas Tarmin, suster nanya
nih”
Pasien : (Diam)
Suster : “Kenapa mas Tarmin? Lagi tidak enak badan ta? Kok diam saja?”
Pasien : (Diam)
Suster : “yaudah
kalo mas Tarmin tidak mau berbicara sekarang, 10 menit lagi suster kembali,
suster harap mas Tarmin sudah mau bicara”
10 menit
kemudian
Suster :
“Loh(muka kaget) mas Tarmin kok kepalanya dibentur2in, jangan dong
mas..”
Pasien: (sambil
membentak suster) “Biarin, Percuma saya hidup, saya ini orang yang gak berguna,
orang bodoh”
Suster :
(Berusaha menarik pasien dari tembok) “Siapa yang bilang mas Tarmin ini tidak
berguna?”
Pasien:
“Saya ini gak berguna!!!!”(sambil teriak)
Suster :
“Di dunia ini tidak ada yang tidak berguna mas Tarmin, semua yang di ciptakan
oleh Tuhan pasti ada manfaatnya. Apalagi mas Tarmin masih mempunyai tubuh yang
lengkap”.
Pasien:
(tertunduk)
Suster :”Begini
saja mari suster ajak mas Tarmin jalan-jalan ke
taman, bagaimana?”
Pasien: “ngapain?”
Suster: “biar
pikiran mas Tarmin tenang tidak marah-marah lagi.”
Pasien: (pasien
mau menerima ajakan suster).
Di Taman
Suster: mas
gimana uda bisa merasa tenang belum perasaannya sekarang?
Pasien:
(termenung)
Suster: mas
kalau boleh suster tau sebenarnya ada apa kok mas mengatakan bahwa mas itu
tidak berguna?
Pasien: saya
merasa malu dan tidak berguna sus sebab saya tidak lulus UAN..bodoh soal begitu
saja saya tidak lulus..
Suster: mas
kegagalan itu bukan akhir segalanya tapi kegagalan itu adalah keberhasilan yang
tertunda.
Pasien: tapikan
tetep aja gagal. (lalu mengepalkan tangan dan seolah ingin memukul tanah)
Suster: tenang ya Mas Tamin ! apa yang membuat Tamin
kesal?
Pasien : saya
kesal kalau ada yang tanya-tanya sama saya tentang ketidaklulusan saya. Rasanya
ingin saya pukul saja mereka.
Suster : ooh,
begitu. Mas Tamin ini kesal kalau ada yang menanyakan tentang ketidaklulusan
itu ya. sekarang coba dipikirkan, memukul seseorang yang tidak bersalah itu
perilaku yang baik atau tidak?
Pasien : tidak
sus.
Suster : yaa
bagus. Itu perilaku
yang tidak baik. Itu kan bisa
melukai orang itu. Selain itu, tangan Mas Tamin kan bisa jadi sakit atau luka.
Bagaimana menurut Tamin?
Pasien : iya ya
sus. Tidak ada gunanya juga memukul orang lain. Malah membuat tangan saya pegal pegal.
Suster :
baiklah, kalau begitu.. mari suster ajarkan cara untuk mencegah Mas Tamin
melakukan kekerasan. Kalau timbul rasa kesal pada diri Mas Tamin, sesegera
mungkin tarik napas dalam. Instruksikan diri Mas Tamin untuk tenang. Ayo sekarang
dicoba ¡
Pasien :
(mempraktekkan nafas dalam)
Suster : ya
bagus. Sekarang
bagaimana perasaan Tamin?
Pasien : Kalau
saya masih merasa kesal bagaimana, Sus?
Suster : Kalau
Tamin masih kesal, cobalah untuk mengekspresikannya ke benda yang tidak bahaya.
Memukul bantal
misalnya. Ayo sekarang dicoba !
Pasien : begini
sus? Iya sus, saya lega sekarang
Suster :
naaah.. bagus. Begitu kan lebih baik. Tamin bisa mempraktekkan 2 cara tadi
kalau Tamin sedang kesal. Apakah Tamin sudah mengerti?
Pasien : iya
sus (menganggukkan kepala)
Suster : Oke. ¡
suster yakin Tamin bisa mengendalikan emosi dengan baik. Kalau begitu, sesuai
kontrak tadi bahwa kita mengobrol 10 menit saja. Sekarang sudah 10 menit,
suster melanjutkan pekerjaan suster ya. Tamin bisa mencari kesibukan yang lain.
Pasien : baik
sus.
Suster : besok
suster akan menemui Tamin lagi untuk menanyakan 2 cara yang tadi sudah suster
ajarkan sudah Tamin kerjakan atau belum. Tamin mau kita bertemu kapan dan di mana?
Pasien : pagi
jam 9 sus. Di taman.
Suster : baik pagi
jam 9, di taman ya. Sampai bertemu besok.
---
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Perilaku kekerasan dianggap sebagai
suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panic). Perilaku agresif
dan perilaku kekerasan itu sendiri dipandang sebagai suatu rentang, dimana
agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang
lain.
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan
antara lain :
1.Menyerang atau menghindar (fight of flight)
2.Menyatakan secara asertif (assertiveness)
3.Memberontak (acting out)
4.Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
5.2 Saran
Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan
pada klien dengan masalah perilaku kekerasan sehingga bisa membantu klien dan
keluarga dalam mengatasi masalahnya.
Kemampuan perawat dalam menangani klien dengan masalah perilaku kekerasan
meliputi keterampilan dalam pengkajian, diagnose, perencanaan, intervensi dan
evaluasi. Salah satu contoh intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada
klien dengan masalah perilaku kekerasan adalah dengan mengajarkan teknik napas
dalam atau memukul kasur/bantal agar klien dapat meredam kemarahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan
Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama
Keliat, Budi Anna, dkk.2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2.EGC:Jakarta
raiso dikopi
BalasHapusiya mas, maaf masih dalam perbaikan
BalasHapus