BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bermain
adalah hak asasi bagi seorang anak. Bahkan usia anak dikatakan adalah
usia bermain. Kegiatan bermain bagi anak adalah sesuatu yang sangat
penting dalam perkembangan kepibadiannya. Bermain bagi seorang anak
tidak sekedar mengisi waktu, tetapi media bagi anak untuk belajar.
Di
dalam bermain anak memiliki nilai kesempatan untuk mengekspresikan
sesuatu yang ia rasakan dan pikirkan. Dengan bermain, anak sebenarnya
sedang mempraktekkan keterampilan dan anak mendapatkan kepuasan
dalambermain, yang berarti mengemabngkan dirinya sendiri. Dalam bermain,
anak dapat mengembangkan otot kasar dan halus, meningkatkan penalaran,
dan memahami keberanaan lingkungannya, membentuk daya imajinasi, daya
fantasi, dan kreativitas.
Namun
demikian, dalam kenyataan sekarang ini sering dijumpai bahwa
kreativitas anak tanpa disadari telah terpasung di tengah kesibukan
orang tua. Ada kesan bahwa orang tua yang sibuk bekerja dengan mudah
menyediakan perangkat video game hanya karena tidak mau repot dengan
anak. Mereka mau membelikan apa pun asalkan dapat membuat anak diam.
Seharusnya, orang tua boleh memberikan mainan yang anak minta asalkan
ada kendali juga dari orang tua. Padahal cara ini bisa berdampak pada
lemahnya keterampilan emosi anak. Mereka tidak belajar bagaimana
mengelola keinginan atau mengambil pertimbangan. Hal-hal tersebut diatas
dapat menimbulkan suatu keadaan bahaya pada diri anak jika dibiarkan
terus menerus. Hal tersebut perlu ditangani secara serius agar anak
tidak terlanjur menjadi anak yang terlalu asik bermain sampai melipakan
tugas dan kewajibannya
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses asuhan keperawatan keluarga
2. Untuk lebih mengetahui penerapan asuhan keperawatan keluarga pada anak usia sekolah dengan gangguan belajar.
3. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah yang biasa muncul pada anak usia sekolah dengan gangguan belajar.
1.3 Manfaat
1. Untuk memahami proses asuhan keperawatan keluarga
2. Untuk lebih memahami penerapan asuhan keperawatan keluarga pada anak usia sekolah dengan gangguan belajar.
3. Untuk memahami dan mengidentifikasi masalah yang biasa muncul pada anak usia sekolah dengan gangguan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Keluarga
A. Pengertian keluarga
Keluarga
adalah unit terkecil masyarakat, terdiri dari suami istri dan anaknya
atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. (UU. No 10, 1992). keluarga
adalah kumpulan dua orang / lebih hidup bersama dengan keterikatan
aturan dan emosional, dan setiap individu punya peran masing-masing
(Friedman 1998).
Whall
(1986) dalam analisis konsep tentang keluarga sebagai unit yang perlu
dirawat, ia mendefinisikan keluarga sebagai kelompok yang
mengidentifikasikan diri dengan anggotanya yang terdiri dari dua
individu atau lebih yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah
khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum,
tapi yang berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap diri
mereka sebagai sebuah keluarga .
Dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dua
orang / lebih, memiliki ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup
dalam satu rumah tangga, berinteraksi, punya peran masing-masing dan
mempertahankan suatu budaya.
B. Ciri-ciri keluarga
Ciri-ciri keluarga, antara lain sebagai berikut : Diikat
tali perkawinan, ada hubungan darah, ada ikatan batin, tanggung jawab
masing–masing, ada pengambil keputusan, kerjasama diantara anggota
keluarga , interaksi, dan tinggal dalam suatu rumah.
C. Struktur keluarga
Struktur keluarga (ikatan darah) :
1.Patrilineal, keluarga sedarah terdiri sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu berasal dari jalur ayah 2.
Matrilineal, keluarga sedarah terdiri sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi , dimana hubungan itu berasal dari jalur ibu 3.
Matrilokal, suami istri tinggal pada keluarga sedarah istri 4.
Patrilokal, suami istri tinggal pada keluarga sedarah suami 5.
keluarga kawinan, hubungan. Suami istri sebagai dasar bagi pembinaan
keluarga dan sanak saudara baik dari pihak suami dan istri.
Ciri-ciri struktur keluarga : 1. Terorganisasi, bergantung satu sama lain 2. Ada keterbatasan, 3. Perbedaan dan kekhususan, peran dan fungsi masing-masing.
D. Kelompok keluarga di Indonesia berdasarkan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar
1. PRASEJATERA,
belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal : pengajaran agama,
sandang, papan, pangan, kesehatan atau keluarga belum dapat memenuhi
salah satu /lebih indikator KS tahap I.
2. KELUARGA
SEJAHTERA (KS I) telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal,
tetapi belum dapat sosial psikologis, pendidikan, KB, interaksi
lingkungan.
Indikator
: ibadah sesuai agama, makan 2 kali sehari, pakaian berbeda tiap
keperluan, lantai bukan tanah, kesehatan : anak sakit, ber-KB, dibawa
kesarana kesehatan
3. KELUARGA SEJAHTERA II
Indikator:
belum dapat menabung, ibadah (anggota keluarga ) sesuai agama, makan 2
kali sehari, pakaian berbeda, lantai bukan tanah, kesehatan (idem),
daging/ telur minimal 1 kali seminggu, Pakaian baru setahun sekali,
Luas lantai 8m2 per orang, Sehat 3 bulan terakhir, Anggota yang
berumur 15 tahun keatas punya penghasilan tetap, Umur 10, 60 tahun
dapat baca tulis, Umur 7-15 tahun bersekolah, Anak hidup 2/lebih,
keluarga PUS saat ini berkontrasepsi.
4. KELUARGA SEJAHTERA III
Indikator
: belum berkontribusi pada masyarakat, ibadah sesuai agama, pakaian
berbeda tiap keperluan, lantai bukan tanah, kesehatan idem, anggota
melaksanakan ibadah, daging/telur seminggu sekali, memperoleh pakaian
baru dalam satu tahun terakhir, luas lantai 8 m2 perorang, anggota
keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir.
5. KS
TAHAP III PLUS, dapat memenuhi seluruh kebutuhannya: dasar, sosial,
pengembangan, kontribusi pada masyarakat, indikator KS III +
(ditambah), memberikan sumbangan.
E. Fungsi keluarga
1. Fungsi
afektif dan koping keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota,
membantu anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat
terjadi stress.
2. Fungsi
sosialisasi keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai,
sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan
petunjuk dalam pemecahan masalah.
3. Fungsi reproduksi keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan.
4. Fungsi ekonomi keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarga nya dan kepentingan di masyarakat.
5. Fungsi
fisik, keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk
penyembuhan dari sakit.
F. Tugas perkembangan keluarga dengan anak usia sekolah
1. Membantu sosialisasi anak dengan lingkungan luar
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Memenuhi kebutuhan yang meningkat
G. Masalah keperawatan kesehatan keluarga
• Bahaya fisik
– Penyakit
– Kegemukan
– Kecelakaan
– Kecanggungan
– Kesederhanaan
• Bahaya Psikologis
– Bahaya dalam konsep diri
– Bahaya moral
– Bahaya yang menyangkut minat
– Bahaya dalam penggolongan peran seks
– Bahaya dalam perkembangan kepribadian
– Bahaya hubungan keluarga
2.2 Konsep Anak Sekolah
A. Perkembangan usia sekolah
a. Perkembangan biologis
Saat
umur 6-12 tahun, pertumbuhan rata-rata 5 cm pertahun untuk tinggi badan
dan meningkat 2-3 kg pertahun untuk berat badan. Selama usia tersebut,
anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ukuran tubuh. Anak
laki-laki cenderung kurus dan tinggi, anak perempuan cenderung gemuk.
Pada usia ini, pembentukan jaringan lebih cepat perkembangannya daripada
otot.
b. Perkembangan psikososial
Menurut
freud, perkembangan psikoseksualnya digolongkan dalam fase laten, yaitu
ketika anak berada dalam fase Oedipus yang terjadi pada masa prasekolah
dan mencintai seseorang. Dalam tahap ini, anak cenderung membina
hubungan yang erat dan akrap dengan teman sebaya, juga banyak bertanya
tentang gambar seks yang dilihat dan dieksploitasi sendiri melalui media
Menurut Erickson, perkembangan psikoseksualnya berada dalam tahap
industri vs inverior. Dalam tahap ini, anak mampu melakukan atau
menguasai keterampilan yang bersifst teknologi dan social, memiliki
keinginan untuk mandiri, dan berupaya menyelesaikan tugas, inilah yang
merupakan tahap industri. Bla tugas tersebut tidak dapat
dilakukan, anak akan menjadi inferior. Tahap ini sangat dipengaruhi
factor intrinsik (motivasi, kemampuan, tanggungjawab yang dimiliki,
kebebasan yang dimiliki, interaksi dengan lingkungan, dan teman sebaya )
dan factor ekstrinsik (penghargaan yang didapat, stimulus, dan
keterlibatan orang lain).
c. Temperamen
Sifat
temperamental yang dialami sebelumnya merupakan factor terpenting dalam
perilakunya pada masa ini. Pola perilakunya menunjukkan anak muda
bereaksi terhadap situasi yang baru. Pada usia ini, sifat temperamental
ini sering muncul sehingga peran orang tua dan guru sangat besar untuk
mengendalikannnya. Yang perlu dilakukan orang tua dan guru adalah
bersabar, menciptakan situasi baru agar tidak bosan, menjadi figure
dalam sehari-hari, selalu memberikan harapan, dan mengurangi
ketergantungannya dengan cara memberikan pengertian.
d. Perkembangan kognitif
Menurut
peaget, usian ini berada dalam tahap operasional konkrit, yaitu anak
mengekspresikan apa yang dilakukan dengan verbal dan simbol. Selama
periode ini kemampuan anak belajar konseptual mulai meningkat dengan
pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda, situasi, dan pengalaman
yang dijumpai. Kemampuan anak yang dimiliki dalam tahap opersional konkrit :
a. Konservasi, menyukai sesuatu yang didapat dipelajari secara konkrit bukan magis.
b. Klasifikasi, mulai belajar mengelompokkan, menyusun, dan menguruntukan.
c. Kombinasi,
mulai mencoba belajar dengan angka dan huruf sesuai dengan keinginannya
yang dihubungkan dengan pengalaman yang diperoleh sebelumnya.
e. Perkembangan moral
Masa
akhir kanak-kanak, perkembangan moralnya dikatagorikan oleh kohlbherg
berda dalam tahap konvesional. Pada tahap ini, anak mulai belajar
peraturan-peraturan yang berlaku, menerim peraturan, dan merasa bersalah
bila tidak sesuai dengan aturan yang telah diterimanya. Anak mencoba
bersikap konsekuen. Ornag tua perlu memberikan suatu imbalan atau
hukuman terhadap perilaka anak.
f. Perkembangan spiritual
Anak
usia sekolah menginginkan segala sesuatunya adalah konkrit atau nyata
dari pada belajar tentang “God”. Mereka mulai tertarik terhadap surag
dan neraka sehingga cenderung melakukan atau mematuhi peraturan, karena
takut bila masuk neraka. Anak mulai belajar tentang alam nyata dan sulit
memahami simbol-simbol supranatural sehingga konsep-konsep religius
perlu disajiakan secara konkrit atau nyata dan juga mencoba
menghubungkan fenomena yang terjadi dengan logika.
g. Perkembangan bahasa
Pada
usia ini terjadi penambahan kosakata umum yang berasal dari berbagai
pelajaran di sekolah, bacaan, pembicaraan, dan media. Kesalahan
pengucapan mengalami penurunan karena selama mencari pengalaman anak
telah mendengar pengucapan yang benar sehingga mampu mengucapkannya
dengan benar. Pembentukan kalimatnya teratur dan tidak terpotong-potong
setelah usia 9 tahun. Untuk meningkatkan pengertian terhadap bahasa,
anak perlu diberi kesempatan mendengarkan radio dan menonton televise
untuk meningkatkan konsentrasi dan pengertian. Juga perlu dilibatkan
dalam pembicaraan sosial sehingga egosenrisnya sedikit hilang.
Pembicaraan yang dilakukan dalam tahap ini lebih terkendalai dan
terseleksi, karena anak menggunakan pembicaraan sebagai alat komunikasi.
h. Perkembangan sosial
Akhir
masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok, yanag ditandai dengan
adanya minat terahadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan
yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok. Wujud dari aktivitas
ini banyak orang menyebut sebagai geng anak, tetapi berbeda tujuannya
dengan geng remaja. Tujuan dari geng anak-anak diantaranya memperoleh
kesenangan dalam bermain.
i. Perkembangan seksual
Masa
ini anak mulai belajar tentang seksualnya dari teman-taman telebih guru
dan pelajaran di sekolah. Anak mulai berupaya menyesuaikan penampilan,
pakaian,l dan bahkan gerk gerik sesuai dengan peran seksnya.
Kecenderungan pada usia ini, anak mengembangkan minat-mionat yang sesuai
denga dirinya. Disini, peran orang tua sangat penting untukl
mempersiapkan anak menjelang pubertas.
j. Perkembangan konsep diri
Perkembangan
konsep diri sangat dipengaruhi oleh mutu hubungan dengan orang tua,
saudara dan sanak keluarga lain. Saat usia ini, anak-anak membentuk
konsep diri ideal, seperti dalm tokoh-tokoh sejarah, cerita khayalan,
sandiwara, film, dan tokoh nasional atau dunia yang dikagumi, untuk
membangun ego idea, yang menurut Van den Daele berfungsi sebagai standar
perilaku umum yang diinternalisasi. Pada usia ini pula, anak pada
umumnya mencari identitas diri agar diterima kelompoknya karena takut
kehilangan dukungan dari kelompok.
k. Bermain
Bermain
dianggap sangat penting untuk perkembangan fisik dan fisiologis karena
serlama bermain anak mengembangkan berbagai keterampilan social sehingga
memungkinkannya untuk meniokmati keanggotaan kelompok dalam masyarakat
anak-anak.Bentuk permainan yang sering diminati pada usia ini :
1. Bermain konstruktif membuat
sesuatu hanya untuk bersenang-senang saja tanpa memikirkan manfaatnya,
seperti menggambar, melukis, dan membentuk sesuatu.
2. Menjelajah : ingin bermain jauh dari lingkungan rumah.
3. mengumpulkan : benda-benda
yang menarik perhatian dan minatnya, membawa benda ke rumah, menyimpan
dalam laci, dan tidak memperlihatkan koleksinya dalam laci.
4. Permainan dan olahraga: cenderung ingin memainkan permainan anak besar ( bola basket dan sepak bola ) dan senang pada permainan yang bersaing.
5. Hiburan : anak ingin maluangkan waktu untuk membaca, mendengar radio, menonton, atau melamun.
Keluarga
dengan usia sekolah merupakan salah satu tahap yang mesti dilalui dan
merupakan masa-masa yang sibuk bagi orang tuanya dan banyaknya keinginan
yang dilakukan oleh anak-anak. Pada tahap ini tugas perkembangan
keluarga, yaitu :
1. Mensosialisasikan anak dengan lingkungannya, termasuk keberhasilan dalam belajar dan kebutuhan kelompok dengan teman sebayanya.
2. Mempertahankan hubungan perkawinan yang harmonis.
3. memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga (Friedman. 1998).
B. Masalah anak usia sekolah
Masalah-masalah yang sering terjadi pada anak usia sekolah meliputi bahaya fisik dan psikologis.
· Bahaya fisik
1. Penyakit
Penyakit
infeksi pada usia sekolah jarang sekali terjadi dengan adanya kekebalan
yang di dapat dari imunisasi yang pernah di dapatkan semasa bayi dan di
ulang pada kelas satu atau enam, tetapi yang berbahaya adalah penyakit
palsu atau khayal untuk menghindarkan tugas-tugas yang menjadi
tanggungjawabnya. Penyakit yang sering di temui adalah yang berhubungan
dengan kebersihan diri anak.
2. Kegemukan
Kegemukan
terjadi bukan karena adanya perubahan pada kelenjar, tetapi akibat
banyaknya karbohidrat yang di konsumsi. Bahaya kegemukan yang mungkin
dapat terjadi : anak kesulitan mengikuti kegiatan bermain sehingga
kehilangan kesempatan untuk mencapai ketrampilan yang penting untuk
keberhasilan social, dan teman-temannya sering mengganggu dan mengejek
dengan sebutan “gendut” atau sebutan lain sehingga anak merasa rendah
diri.
3. Kecelakaan
Kecelakaan
terjadi akibat keinginan anak untuk bermain yang menghasilkan
ketrampilan tertentu. Meskipun tidak meninggalkan bekas fisik,
kecelakaan yang di anggap sebagai kegagalan dan anak lebih bersikap
hati-hati akan berbahaya bagi psikologisnya sehingga anak merasa takut
untuk melakukan kegiatan fisik. Hal ini dapat berkembang menjadi rasa malu yang mempengaruhi hubungan social.
4. Kecanggungan
Masa ini anak mulai membandingkan kemampuannya dengan teman sebaya. Bila muncul perasaan tidak mampu dapat menjadi dasar untuk rendah diri.
5. Kesederhanaan
Hal
ini sering di lakukan oleh anak pada saat apapun. Orang yang lebih
dewasa memandangnya sebagai perilaku yang kurang menarik sehingga anak
menafsirkan sebagai penolakan yang dapat mempengaruhi perkembangan
konsep diri anak.
· Bahaya Psikologis
1. Bahaya dalam berbicara
Ada empat bahaya dalam berbicara yang umum terdapat pada anak usia sekolah :
ü Kosa kata yang kurang menghambat tugas di sekolah dan menghambat komunikasi dengan orang lain
ü Kesalahan dalam berbicara, seperti salah ucap dan kesalahan tata bahasa.
ü Anak
yang mempunyai kesulitan berbicara dalam bahasa yang di gunakan di
lingkungan sekolah akan terhalang dalam usaha untuk berkomunikasi dan
mudah merasa bahwa ia berbeda
ü Pembicaraan
yang bersifat egosentris, yang mengkritik dan merendahkan orang lain,
dan yang bersifat membual akan ditentang oleh temannya.
2. Bahaya emosi
Anak
akan dianggap tidak matang baik oleh teman–teman sebaya maupun orang
dewasa, bila ia masih menunjukkan pola–pola ekspresi emosi yang kurang
menyenangkan, seperti marah yang meledak–ledak, danjuga bila emosi yang
buruk seperti marah–marah dan cemburu masih sangat kuat sehingga kurang
disenangi orang lain.
3. Bahaya bermain
Anak
yang kurang memiliki dukungan social akan merasa kekurangan kesempatan
untuk mempelajari permainan dan olahraga yang penting untuk menjadi
anggota kelompok. Anak yang dilarang berkhayal karena membuang waktu
atau dilarang melakukan kegiatan kreatif dan bermain akan mengembangkan
kebiasaaan penurut yang kaku.
4. Bahaya dalam konsep diri
Anak
yang mempunyai konsep diri yang ideal biasanya merasa tidak puas pada
diri sendiri dan tidak puas pada perlakuan orang lian. Bila konsep
sosialnya didasarkan pada pelbagai stereotip, ia cenderung berprasangka
dan bersikap diskriminitif dalam memperlakuakn orang lain. Karena
konsepnya berbobot emosi maka itu cenderung menetap dan terus menerus
memberikan pengaruh buruk pada penyesuaian social anak.
5. Bahaya moral
Ada enam bahaya umumnya dikaitkan dengan perkembangan sikap moral dan perilaku anak – anak :
ü Perkembangan
kode moral berdasarkan konsep teman–teman atau berdasarkan
konsep–konsep media massa tentang benar salah yang tidak sesuai dengan
kode orang dewasa
ü Tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai pengawas dalam terhadap perilaku
ü Disiplin yang tidak konsisten membuat anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya dilakukan
ü Hukumamn fisik merupakan contoh agresivitas anak
ü Menganggap dukungan teman terhadap perilaku yang salah begitu memuaskan sehingga perilaku menjadi kebiasaaan
ü Tidak sabar terhadap perbuatan yang salah.
6. Bahaya yang menyangkut minat
Ada
dua bahaya yang umum dihubungkan dengan minat masa kanak–kanak :
pertama, tidak berminat pada hal–hal yang dianggap penting oleh
teman–teman sebaya, dan kedua, mengembangkan sikap yang kurang baik
terhadap minat yang dapat bernilai bagi dirinya, seperti kesehatn atau
sekolah.
7. Bahaya dalam penggolongan peran seks
Ada
dua bahaya yang umum dalam penggolongan peran seks : kegagalan untuk
mempelajari organ seks peran seks yang dianggap pantas oleh teman
sebaya, dan ketidakmauan untuk melakukan peran seks yang disetujui.
Bahaya yang pertama cenderung berkembang bila anak dibesarkan oleh
keluarga ketika orang tuanya melakukan peran seks yang berbeda dengan
orang tua teman–temannya. Bahaya yang kedua berkembang bilamana anak
perempuan dan laki–laki diharapkan melakukan peran–peran tradisional.
8. Bahaya dalam perkembangan kepribadian
Ada
dua bahaya yang serius dalam perkembangan kepribadian periode ini.
Pertama, perkembagan konsep diri yang buruk yang mengakibatkan penolakan
dari awal masa kanak–kanak. Egosentrisme merupakan hal yang serius karena memberikan rasa penting diri yang palsu.
9. Bahaya hubungan keluarga
Pertentangan
dengan anggota–anggota keluarga mengakibatkan kelemahan ikatan keluarga
dan menimbulkan kebiasaan pola penyesuaian yang buruk, serta
masalah–masalah yang dibawa keluar rumah. Kondisi yang menyebabkan
merosotnya hubungan keluarga :
ü Sikap
terhadap peran orang tua. Orang tua yang kurang menyuai peran orang tua
dan merasa bahwa waktu, usaha dan uang dihabiskan olaeh anak cenderung
mempunyai hubungan yang buruk dengan anak–anaknya.
ü Harapan
orang tua. Pada saat anak masuk sekaolah, banyak orang tua yang
berpengharapan tinggi mengenali mutu–mutu tugas sekolah dan besarnya
tanggung jawab anak di rumah. Bila anak gagal memenuhi harapan ini ,
orang tua sering mengkritik, memarahi dan bahkan menghukum.
ü Metode
penilaian anak. Pelatihan nak otoriter yang sering digunakan
dalamkeluarga besar, dan disiplin lunak yang terutama digunakan dalam
keluarga kecil : keduanya menimbulakn pertentangan di rumah dan
menyebabkan kebencian pada anak. Disiplin yang demokratis biasanya
menghasilakn hubungan keluarga yang baik.
ü Status
social ekonomi. Bila anak merasa bahwa rumah dan miliknya lebih buruk
daripada rumah dan benda milik temannya, anak sering menyalahkan orang
tua, dan orang tua cenderung membenci hal itu.
ü Pekerjaan
orang tua. Pandangan mengenai pekerjaan ayah memngaruhi perasaan anak.
Bila ibu bekerja di luar rumah, sikap anak terhadap ibu diwarnai oleh
pandangan teman–teman mengenai wanita yang bekerja di luar rumah dan
oleh banyaknya beban tanggung jawab yang harus dilakukan di rumah.
ü Perubahan
sikap kepada orang tua. Dalam hubungan dengan orang tua, teman–teman
dan dari apa yang dibaca atau dilihat anak di televise atau filnm, anak
membentuk konsep tentang ibu dan ayah yang ideal.
ü Pertentangan
antar–saudara. Anak yang lebih besar sering mengkritik penampilan dan
perilaku adiknya, sebaliknya adik senang menggoda dan memerintah kakak
atau adik yang lebih muda lagi. Bila orang tua berusaha meghentikan hal
ini, mereka dianggap pilih kasih. Anak–anak kemudian bersatu menghadapi
orang tua dan saudara yang dianggap kesayangan orang tua.
ü Perubahan
sikap kepada sanak keluarga. Anak yang lebih besar tidak senang lagi
dengan sanak keluarganya seperti ketika anak masih kecil dan cenderung
menganggap mereka “ terlalu tua “ atau “ terlalu memerintah “. Bila anak
diharapkan hadir dalam pertemuan keluarga, anak sering menentang dan
megatakan bahwa pertemuan itu “ membosankan “. Sanak keluarga, membenci
sikap ini dan orang tua cenderung memarahi si anak
ü Orang
tua tiri. Anak yang masih ingat orang tua kandung yang tidak lagi
bersamanya di rumah, biasanya membenci orang tua tiri dan
memperlihatkannya dengan sikap kritis, negativitas, dan perilaku yang
sulit. Hal ini merupakan sumber pertentangan di rumah.
Akibat dari bahaya psikologis.
a. Tidak puas terhadap diri sendiri dan iri kepada anak yang lebih popular
b. Kebiasaan
menarik diri, sifat mudah dirangsang yang berlebihan, sangat membenci
otoritas, depresi yang kronis, meninggikan diri sendiri dengan jalan
merendahkan orang lain, hiperaktif, egosentrisme yang berlebihan, dan
kecemasan kronis.
c. Menggunakan
mekanisme pertahanan, seperti rasionalisasi untuk menjelaskan
kelemahan-kelemahan atau proyeksi untuk menyalahkan orang lain, anak
juga dapat menggunakan mekanisme menghindar, khususnya melamun atau
penyakit khayal.
d. Mengambil alih masalahnya dan berusaha “ membeli “ teman-temannya agar diterima kelompok.
2.3 Konsep Bermain pada Anak Sekolah
A. Pengertian
Bermain
adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial dan
bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain,
anak akan berkata-kata, belajar memnyesuaikan diri dengan ling,
melakukan apa yang dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak, serta
suara .(Wong, 2000).
Bermain
adalah cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya
yang tidak disadarinya .(Miller dan Keong, 1983).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan sesaui dengan keinginanya sendiri dan memperoleh kesenangan.(Foster, 1989).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan sesaui dengan keinginanya sendiri dan memperoleh kesenangan.(Foster, 1989).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah
“Kegiatan yang tdk dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari krn bermain sama dengan berja pada org dewasa, yang dapat menurunkan stres anak, belajar berkomunikasi dengan ling, menyesuaikan diri dengan ling, belajar mengenal dunia dan meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial anak”.
“Kegiatan yang tdk dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari krn bermain sama dengan berja pada org dewasa, yang dapat menurunkan stres anak, belajar berkomunikasi dengan ling, menyesuaikan diri dengan ling, belajar mengenal dunia dan meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial anak”.
B. Fungsi bermain
1. Perkembangan sensorik motorik
Pada saat melakukan permainan, aktifitas motorik merrpakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot.
2. Perkembangan intelektual
Anak melakukan ekplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain anak akan melatih diri dan memecahkan masalah.
3. Perkembangan sosial.
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Anak belajar berinteraksi dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada pd kelompok.
4. Perkembangan kreatifitas
Kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkan ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang dilakukannya.
5. Perkembangan kesadaran diri.
Anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkan dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran baru dan mengetahui dampak tingkah laku terhadap orang lain.
6. Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungan, terutama dari orang tua dan guru. Anak akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai sehingga dapat diterima di lingkungan dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada dikelompoknya.
Anak belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang akan dilakukan.
Anak belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang akan dilakukan.
7. Terapi
Pada saat dirawat di RS anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih
dan nyeri, sehingga anak–anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya dalam bentuk permainan.
dan nyeri, sehingga anak–anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya dalam bentuk permainan.
C. Tujuan bermain
1. Untuk melanjuntukan tumbuh kembang yang normal pada saat sakit
2. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi serta ide-idenya
3. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah
4. Dapat beradaptasi secara efektif thp stres karena sakit dan di rawat di RS
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas bermain
1. Tahap perkembangan anak
Perawat harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap tahapan tumbuh kembang anak.
2. Status kesehatan anak
Perawat
hrs mengetahui kondisi ana pada saat sakit dan jeli memilihkan
permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prisnsip bermain pd
anak yang sedang dirawat di RS.
3. Jenis kelamin
Dalam melakukan aktifitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Ada pendapat yang diyakini bahwa permainan adalah salah satu alat mengenal identitas dirinya.
4. Lingkungan yang mendukung
Lingkungan yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak mempunyai cukup ruang untuk bermain.
5. Alat dan jenis permainan yang cocok
Pilih alat bermain sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak.
Alat permaianan tidak selalu harus dibeli ditoko dan harus mahal.
Alat permaianan tidak selalu harus dibeli ditoko dan harus mahal.
E. Klasifikasi bermain
1. Menurut isinya
· Sosial affective play : hubungan interpersonal yagg menyenangkan antara anak dengan orang lain (contoh : ciluk-baa).
· Sense of pleasure play : permaianan yang sifatnya memberikan kesenangan pada anak (contoh : main air dan pasir).
· Skiil play : permainan yang sifatnya memberikan keterampilan pada anak (contoh: naik sepeda).
· Dramatik Role play : anak bermain imajinasi/fantasi (contoh : dokter dan perawat).
· Games : permaianan yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan/skor (contoh : ular tangga).
· Unoccupied
behaviour: anak tidak memainkan alat permainan tertentu, tapi situasi
atau objek yang ada disekelilingnya, yang digunakan sebagai alat
permainan(contoh : jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja
dsb).
2. Karakter sosial
· Onlooker play : anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisifasi dalam permainan (contoh : Congklak).
· Solitary play : anak tampak berada dalam kelompok permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya.
· Parallel
play : anak menggunakan alat permaianan yang sama, tetapi antara satu
anak dengan anak lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga
antara anak satu dengan lainya tida ada sosialisasi.
· Associative play : permainan
ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dengan anak lain, tetapi
tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin dan tujuan permaianan tidak
jelas (contoh bermain boneka, masak-masak).
· Cooperative
play : aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada
permaiann jenis ini, dan punya tujuan serta pemimpin (contoh : main
sepak bola).
F. Bentuk-bentuk permaianan berdasarkan kelompok usia
1. Umur 1 bulan (sense of pleasure play).
· Visual : dapat melihat dengan jarak dekat
· Audio : berbicara dengan bayi
· Taktil : memeluk, menggendong
· Kinetik : naik kereta, jalan-jalan.
2. Umur 2-3 bulan
· Visual : memberi objek terang, membawa bayi ke ruang yang berbeda
· Audio : berbicara dengan bayi, memyanyi
· Taktil : membelai waktu mandi, menyisir rambut.
3. Umur 4-6 bulan
· Visual : meletakkan bayi didepan kaca, membawa bayi nonton TV.
· Audio : mengajar bayi berbicara, memanggil namanya, memeras kertas.
· Kinetik : bantu bayi tengkurap, mendirikan bayi pada paha orang tuanya.
· Taktil : memberikan bayi bermain air.
4. Umur 7-9 bulan
· Visual : memainkan kaca dan membiarkan main dengan kaca serta berbicara sendiri.
· Audio : memanggil nama anak, mngulangi kata-kata yang diucapkan seperti mama, papa.
· Taktil : membiarkan main pada air mengalir.
· Kinetik : latih berdiri, merangkap, latih meloncat.
5. Umur 10-12 bulan
· Visual : Memperlihatkan gambar terang dalam buku.
· Audio : membunyikan suara binatang tiruan, menunjukkan tubuh dan menyebutnya.
· Taktil : membiarkan anak merasakan dingin dan hangat, membiarkan anak merasakan angin.
· Kinetik : memberikan anak mainan besar yang dapat ditarik atau didorong, seperti sepeda atau kereta.
· Kinetik : latih berdiri, merangkap, latih meloncat.
6. Umur 2-3 tahun
· Paralel play dan sollatary play
· Anak bermain secara spontan, bebas, berhenti bila capek, koordinasi kurang (sering merusak mainan)
· Jenis mainan : boneka, alat masak, buku cerita dan buku bergambar.
7. Preschool 3-5 tahun
· Associative play , dramatik play dan skill play.
· Sudah dapat bermain kelompok
· Jenis mainan : roda tiga, balok besar dengan macam-macam ukuran.
8. Usia sekolah
· Cooperative play
· Bermain menjadi lebuh terorganisir, ada aturannya dan ada pemimpnnya
· Mempunyai kesadaran terhadap aturan main
· Tingkat yang lebih tinggi adalah keterampilan berpikir
· Mulai dengan olah raga kompetitif
· Contohnya
tebak-tebakan, menggambar, koleksi, peran aktivitas seksual, permainan
fisik dan kompetitif, membaca, bersepeda, bermain video game
9. Masa remaja
· Anak lebih dekat dengan kelompok
· Olah raga, musik, komputer, dan bermain drama.
B. Prinsip bermain di RS
Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat dan sederhana,
mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang, kelompok umur yang sama, permainan tidak bertentangan dengan pengobatan, semua alat permaianan dapat dicuci, melibatkan orang tua.
mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang, kelompok umur yang sama, permainan tidak bertentangan dengan pengobatan, semua alat permaianan dapat dicuci, melibatkan orang tua.
C. Bahaya bermain
Alat
permainan yang ada saat ini tidak hanya terbatas pada alat permainan
tradisional, tetapi dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, semakin
canggih pula alat permainan yang digunakan oleh anak-anak. Kebanyakan
alat permainan yang canggih bersifat otomatis, dan menggunakan tombol
seperti komputer, video game, dan juga game online, yaitu
sebuah permainan yang memungkinkan pemain yang saling bertanding berada
pada belahan dunia manapun, dengan bantuan akses internet serta
beberapa alat permainan elektronik lainnya. Beberapa permainan bersifat
adu tangkas, beberapa yang lain merupakan pelajaran.
Sebenarnya
yang dipacu alat permainan elektronik adalah kemampuan anak untuk
bereaksi cepat, penerapan strategi, dan dengan latihan yang terus
menerus, sehungga anak akan menjadi tangkas. Tetapi permainan yang ada
pada komputer maunpun video game terkadang kurang mampu mengasah
kemampuan pemecahan masalah, mengingat anak tidak belajar untuk sampai
kepada jawaban yang benar melalui proses-proses yang harus dilaluinya.
Terkadang anak hanya menekan tombol saja untuk mendapatkan jawaban yang
benar, ini bukanlah merupakan gambaran kondisi yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Komputer dan video game
sering membatasi interaksi anak dengan orang lain. Walaupun permainan
dimainkan berdua dengan anak lain, tetapi anak lebih berinteraksi dengan
komputer atau video game dan bukanlah dengan teman sepermainannya. Tema permainan yang ada di komputer atau video game
beberapa diantaranya bersifat agresif, seperti tembak menembak,
kejar-kejaran, dan sebagainya. Imajinasi anak memang dapat masuk kedalam
permainan tersebut, namun imajinasi yang dibangun, bukanlah hasil
ciptaannya. Jadi kurang mendukung pengemabngan kreativitas anak. Mengingat pesonanya yang begitu besar, komputer dan video game bisa mempengaruhi jadwal kegiatan anak sehari-hari.
Orang tua dan guru perlu menimbang berbagai dampak yang mungkin muncul terhadap anak bila bermain komputer dan video game,
dengan mencoba mengurangi dampak negatifnya, seperti pengaruhnya
terhadap kesehatan, kurang interaktifnya anak dengan lingkungannya,
kemungkinana terhambatnya pengembangan berpikir kreatif, dan sebagainya.
Selanjutnya menitik beratkan pada pengaruh positifnya.
2.2 Asuhan Keperawatan Keluarga pada Anak Usia Sekolah dengan Gangguan Bermain
Dalam tahap pengkajian, data yang perlu diperoleh oleh perawat, yaitu data yang berhubungan dengan keluarga dan anak meliputi :
A. PENGKAJIAN
1. Data Umum
· Kepala Keluarga (KK)
· Alamat dan telepon
· Pekerjaan KK
· Pendidikan KK
· Komposisi keluarga
· Tipe keluarga
· Suku bangsa
· Agama
· Status sosial ekonomi keluarga
· Aktivitas rekreasi keluarga
2. Riwayat
· Tahap perkembangan keluarga saat ini
· Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
· Riwayat kesehatan keluarga inti
· Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya
3. Data lingkungan
· Karakteristik rumah
· Karakteristik tetangga dan komunitasnya
· Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
· Sistem pendukung keluarga
4. Struktur keluarga
· Struktur peran
· Nilai atau norma keluarga
· Pola komunikasi keluarga
· Struktur kekuatan keluarga
5. Fungsi keluarga
· Fungsi ekonomi
· Fungsi mendapatkan status sosial
· Fungsi pendidikan
· Fungsi sosialisasi
· Fungsi pemenuhan (perawatan atau pemeliharaan) kesehatan
· Fungsi religius
· Fungsi rekreasi
· Fungsi reproduksi
· Fungsi afeksi
6. Stres dan koping keluarga
· Stressor jangka pendek dan panjang
· Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor
· Strategi koping yang digunakan
· Strategi adaptasi disfungsional
7. Pemeriksaan kesehatan tiap individu anggota keluarga
8. Harapan keluarga
B. Diagnosis dan intervensi keperawatan
Setelah
pengkajian, perawat mengklasifikasikan data untuk merumuskan diagnosis
keperawatan. Pada asuhan keperawatan keluarga, diagnosis keperawatan
yang muncul dapat dua sifat, yaitu yang berhubungan dengan anak
bertujuan agar anak dapat tumbuh dan berkermbang secara optimal sesuai
usia anak dan yang berhubungan dengan keluarga dengan penyebab
(etiologi) berpedoman pada lima tugas keluarga di bidang kesehatan yang
bertujuan agar keluarga memahami dan memfasilitasi perkembangan anak.
Masalah dalam diagnosis keperawatan merupakan kebutuhan dasr klien
(manusia) yang tidak terpenuhi.
C. Contoh rencana asuhan keperawatan
1. Menurunnya atau berkurangnya minat terhadap tugas sekolah yang dibebankan berhubungan dengan anak terlalu asik bermain
Tujuan : anak mau meningkatkan lama waktu belajarnya dan mengurangi waktu bermain
Intervensi :
a. Anjurkan keluarga untuk membuat kesepakatan tentang waktu bermain dan belajar
b. Beri penjelasan pada anak tentang perlunya belajar dan sekolah
c. Anjurkan anak untuk mengurangi waktu bermain
d. Anjurkan orang tua agar mau menemani atau membantu anak belajar
e. Anjurkan orang tua untuk memberikan hukuman jika anak tidak mau belajar dan memberikan pujian jika anak mau belajar
2. Gangguan pemenuhan kebersihan diri berhubungan dengan terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bermain
Tujuan : anak mau melakukan aktivitas kebersihan diri sesuai aturan keluarga
Intervensi :
a. Beri penjelasan pada anak tentang perlunya menjaga kebersihan diri
b. Beri penjelasan pada anak tentang bahayanya tidak menjaga kebersihan diri
c. Anjurkan anak untuk disiplin dalam menaati peraturan keluarga tentang
d. Beri pemahaman kepada keluarga tentang perlunya kedisiplinan dalam menjaga kebersihan diri
3. Berontak/menantang terhadap peraturan keluarga berhubungan dengan larangan bermain dari orang tua
Tujuan : anak mau mematuhi perintah orang tua
Intervensi :
a. Beri penjelasan pada anak tentang pentingnya mendengarkan perintah orang tua
b. Beri penjelasan pada anak tentang pentingnya mematuhi peraturan keluarga
c. Beri penjelasan pada anak tentang perlunya menaati peraturan tentang jam bermain anak
d. Anjurkan pada orang tua agar tidak memarahi anaknya jika berbuat salah tetapi mengingatkan atau memberi hukuman yang edukatif
4. Menarik diri dari lingkungan sosial (menyendiri) berhubungan dengan terlalu asik bermain video game
Tujuan : anak mau bersosialisasi dengan teman sebayanya
Intervensi :
a. Beri penjelasan pada anak tentang perlunya bersosialisasi dengan teman sebayanya
b. Anjurkan anak untuk bermain bersama temannya
c. Anjurkan anak untuk mengurangi waktu bermain video game
d. Anjurkan orang tua untuk memberikan dukungan pada anak agar anak mau bermain dengan teman-temannya.
D. Evaluasi
Tahap
selanjutnya adalah melakukan evaluasi, berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai sesuai dengan kriteria hasil yang telah diterapkan sebelumnya.
Saat evaluasi perawat hendaknya selalu memberi kesempatan keluarga untuk
menilai keberhasilannya, kemudian diarahkan sesuai dengan tugas keluarga di bidang kesehatan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Perkembangan
anak usia sekolah meliputi : perkembangan biologis, perkembangan
psikososial, temperamen, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa,
perkembangan sosial, perkembangan seksual, perkembangan konsep diri,
bermain.
2. Pada anak usia sekolah, bermain dapat menimbulkan seatu keadaan bahaya.
3. Pada asuhan keperawatan keluarga pada anak usia sekolah dengan gangguan bermain, diagnosis yang mungkin muncul antara lain
· Menurunnya atau berkurangnya minat terhadap tugas sekolah yang dibebankan berhubungan dengan anak terlalu asik bermain
· Gangguan pemenuhan kebersihan diri berhubungan dengan terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bermain
· Berontak/menantang terhadap peraturan keluarga berhubungan dengan larangan bermain dari orang tua
· Menarik diri dari lingkungan sosial (menyendiri) berhubungan dengan terlalu asik bermain video game
4. Saat evaluasi perawat hendaknya selalu memberi kesempatan keluarga untuk menilai keberhasilannya, kemudian diarahkan sesuai dengan tugas keluarga di bidang kesehatan.
3.2 Saran
Sebagai
calon perawat kita diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan
pada anak usia sekolah dengan gangguan bermain sesuai protap asuhan
keperawatan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.untukku .com/artikel-untukku/arti-bermain-bagi-anak-untukku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar