System Pernafasan
Surfaktan merupakan zat kimia yang diproduksi di paru oleh sel tipe dua alveolar yang mempertahankan tegangan permukaan alveoli dan mencegahnya dari kolaps. Tahanan jalan napas merupakan perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli terkait dengan kecepatan aliran gas yang diinspirasi. Tahanan jalan napas dapat mengalami peningkatan akibat obstruksi jalan napas, penyakit di jalan napas kecil (seperti asma), dan edema trakeal. Jika tahanan meningkat, jumlah udara yang melalui jalan napas anatomis menurun (Potter And Perry,1999)..
Fisiologi Pernapasan
Sebagian
besar sel dalam tubuh memperoleh energi dari reaksi kimia yang
melibatkan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Pertukaran gas
pernapasan terjadi antara udara di lingkungan dan darah. Terdapat tiga
langkah dalam proses oksigenasi, yakni: ventilasi, perfusi, dan difusi
(McCance dan Huether, 1994). Supaya pertukaran gas dapat terjadi, organ,
saraf, dan otot pernapasan harus utuh dan sistem saraf pusat mampu
mengatur siklus pernapasan.
Ventilasi
Ventilasi
merupakan proses untuk mengerakkan gas ke dalam dan keluar paru-paru.
Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thokraks yang elastis dan
persarafan yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah diafragma.
Diafragma dipersarafi oleh saraf frenik yang keluar dari medulla
spinalis pada vertebra servikal keempat. (Potter And Perry,1999).
Kerja Pernapasan
Pernapasan
adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru
berkontraksi. Kerja pernapasan ditentukan oleh tingkat kompliansi paru,
tahanan jalan napas, keberadaan ekspirasi yang aktif, dan penggunaan
otot-otot bantu pernapasan.
Kompliansi
merupakan kemampuan paru distensi (Dettenmeier, 1992) atau mengembang
sebagai respons terhadap peningkatan tekanan intraalveolar. Kompliansi
menurun pada penyakit, seperti edema pulmonar, interstisial, fibrosis
pleura dan kelainan struktur traumatik atau kongenital, seperti kifosis
atau fraktur iga.
Surfaktan merupakan zat kimia yang diproduksi di paru oleh sel tipe dua alveolar yang mempertahankan tegangan permukaan alveoli dan mencegahnya dari kolaps. Tahanan jalan napas merupakan perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli terkait dengan kecepatan aliran gas yang diinspirasi. Tahanan jalan napas dapat mengalami peningkatan akibat obstruksi jalan napas, penyakit di jalan napas kecil (seperti asma), dan edema trakeal. Jika tahanan meningkat, jumlah udara yang melalui jalan napas anatomis menurun (Potter And Perry,1999)..
Anatomi Paru
Saluran Udara
Setelah
melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan dihangatkan
dan dilembabkan dengan uap air, udara inspirasi berjalan menuruni
trakea, melalui bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris sampai ke
alveoli. Antara trakea dan sakus alveolaris terdapat 23 kali
percabangan saluran udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara
merupakan zona konduksin yang menyalurkan udara dari dan ke lingkungan
luar. Bagian ini terdiri dari bronkus, bronkiolus dan brounkiolus
terminalis. Tujuh percabangan berikutnya merupakan zona peralihan dan
zona respirasi, tempat terjadinya pertukaran gas, dan terdiri dari
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Adanya
percabangan saluran udara majemuk ini sangat meningkatkan luas total
penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil sangat menurun mencapai nilai yang rendah.
Tiap
alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru, dan pada umumnya
struktur antara udara dan darah kapiler tempat terjadinya difusi O2 dan CO2 sangat
tipis. Pada manusia didapatkan 300 juta alveoli, dan luas keseluruhan
dinding alveoli yang berhubungan dengan pembuluh kapiler dalam kedua
paru sekitar 70 m3 (Ganong FW, 1998).
Tiap alveolus dilapisi oleh dua jenis sel epitel. Sel tipe I merupakan sel gepeng yang memiliki perluasan sitoplasma yang besar dan merupakan sel pelapis utama. Sel tipe II (pneumosit granular)
lebih tebal dan mengandung banyak badan inklusi lamelar. Sel-sel ini
mensekresi surfaktan. Kemungkinan terdapat pula sel epitel jenis khusus
lainnya, dan paru-paru juga memiliki makrofag alveolus paru (PAMs = Pulmonary Alveolar Macrophages),
limfosit, sel plasma, sel APUD serta sel mast. Sel mas mengandung
heparin, berbagai lipid, histamin, dan berbagai protease yang ikut ambil
bagian dalam reaksi alergi (Ganong FW, 1998).
Bronkus dan Persarafannya
Dinding
trakea dan bronkus mengandung tulang rawan, tetapi relatif hanya
sedikit otot polos. Dindingnya dilapisi oleh epitel bersilia yang
mengandung kelenjar mukus dan serosa. Epitel bersilia ini terdapat
sampai dengan bronkiolus respiratorius, namun kelenjar tidak didapati
pada epitel bronkiolus dan bronkiolus terminalis serta dindingnya tidak
mengandung tulang rawan. Walaupun demikian, dindingnya mengandung lebih
banyak otot polos, dan jumlah otot polos terbanyak bila dibandingkan
dengan ketebalan dindingnya, didapatkan pana bronkiolus terminalis.
Dinding bronkus dan bronkiolus dipersarafi oleh susunan saraf otonom.
Ditemukan banyak reseptor muskarinik, dan perangsangan kolinergik
mengakibatkan bronkokonsriksi. Di sel mast. Otot polos dan epitel
bronkus didapatkan reseptor adrenergik β1 dan β2.
Banyak dari reseptor tersebut tidak mempunyai persarafan. Sebagai
reseptor terletak pada ganglia dan ujung saraf koligernik, dan
menghambat pelepasan asetilkolin. Pada manusia, reseptor β2 lebih menonjol, dan pemberian inhalasi atau suntikan agonis β seperti isoproterenol menimbulkan bronkodilatasi dan penurunan sekresi bronkus(Ganong FW, 1998).
Sebagai
tambahan, terdapat pula persarafan nonkoligernik, nonadrenergik pada
bronkiolus yang menyebabkan bronkodilatasi, dan bukti menunjukkan bahwa
VIP merupakan mediator yang berperan dalam terjadinya dilatasi.
Leukotrien LTC4, LTD4, dan LTE4 (lihat
bab 17) merupakan bronkokonstriktor kuat, terutama pada pemberian secara
inhalasi. Beberapa serat saraf pada paru-paru mengandung substansi P
yang menimbulkan bronkokonstriksi serta sekresi mukus. Serat saraf
lainnya mengandung CCK 8, CGRP dan polipeptida lain, namun fungsi dari
polipeptida tersebut masih belum diakui(Ganong FW, 1998)..
Sirkulasi Paru
Hampir
seluruh darah dalam tubuh mengalir melalui arteri pulmonalis menuju
jalinan kapiler paru, tempat terjadinya oksigenasi darah dan kemudian
dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. Arteri bronkialis
yang jauh lebih kecil dan letaknya terpisah, merupakan cabang aorta; dan
vena bronkialis akan mengirimkan darahnya menuju vena azygos. Peredaran
bronkial berfungsi memberi nutrisi pada bronkus dan pleura, namun
didapatkan anastomosis yang luas antara jalinan kapiler bronkial dengan
pulmonal. Didapatkan saluran limfe pada paru pada jumlah yang jauh lebih
besar dibandingkan pada organ lain(Ganong FW, 1998)..
Mekanika Pernapasan
Inspirasi & Ekspirasi
Paru-paru
dan dinding dada adalah struktur elastik. Pada keadaan normal, hanya
ditemukan selapis tipis cairan di antara paru-paru dan dinding dada.
Paru-paru dengan mudah dapat bergeser sepanjang dinding dada seperti
halnya 2 lempengan kaca yang direkatkan dengan air dapat digeser tetapi
tidak dapat dipisahkan. Tekanan di dalam “ruang” antara paru-paru dan
dinding dada (tenanan intrapleura) bersifat subatmosferik. Pada saat
kelahiran, jaringan paru dikembangkan sehingga terengang, dan pada akhir
ekspirasi tenang, kecenderungan daya rekoil jaringan paru untuk
menjauhi dinding dada diimbangi oleh daya rekoil dinding dada ke arah
yang berlawanan. Apabila dinding dada dibuka, paru-paru akan kolaps; dan
apabila paru-paru kehilangan elastisitasnya, dada akan mengembam
menyerupai bentuk gentong (barrel shaped).
Inspirasi
merupakan proses aktif. Kontraksi otot-otot inspirasi akan meningkatkan
volume intratorakal. Takanan intrapleura di bagian basis paru akan
turun dari nilai normal sekitar –2,5 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfer) pada awal ispirasi, menjadi –6 mmHg. Jaringan paru semakin
teregang. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif,
dan udara mengalir ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya rekoil paru
mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi sampai
terjadi keseimbangan kembali antara daya rekoil jaringan paru dan
dinding dada. Tekanan di dalam saluran udara menjadi lebih positif, dan
udara mengalir meninggalkan paru-paru. Selama pernapasan tenang,
ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot
untuk menurunkan volume intratorakal. Namun pada awal ekspirasi, masih
terdapat kontraksi ringan otot inspirasi. Kontraksi ini berfungsi
sebagai peredam daya rekoil paru dan memperluas ekspirasi.
Pada
inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun mencapai –30 mmHg,
menimbulkan pengembangan jaringan paru yang lebih besar. Apabila
ventilasi meningkat, derajad pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan
melalui kontraksi aktif otot-otot ekspirasi yang menurunkan volume
intratorakal(Ganong FW, 1998)..
Volume Paru
Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi (atau jumlah udara yang keluar dari paru setiap ekspirasi) dinamakan volume alun napas (tidal volume/TV). Jumlah udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa disebut volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume/IRP).
Jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru
melalui kontraksi otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume/ERV), dan udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume residu (residual volume/RV).
Ruang di dalam saluran napas yang berisi udara yang tidak ikut serta
dalam proses pertukaran gas dengan darah dalam kapiler paru disebut ruang rugi pernapasan. Pengkuran kapasitas vital,
yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru-paru
setelah inspirasi maksimal, seringkali digunakan di klinik sebagai
indeks fungsi paru. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi
mengenai kekuatan otot-otot pernapasan serta beberapa aspek fungsi
pernapasan lain. Fraksi volume kapasitas vital dikeluarkan pada satu
detik pertama melalui ekspirasi paksa (volume ekspirasi paksa 1 detik, FEV1, FEV 1”, kapasitas vital berwaktu/timed vital capasity) dapat memberikan informasi tambahan; mungkin diperoleh nilai kapasitas vital yang normal tetapi nilai FEV1
menurun pada penderita penyakit asma, yang mengalami peningkatan
tahanan saluran udara akibat kontribusi bronkus. Pada keadaan normal,
jumlah udara yang diinspirasikan selama satu menit (ventilasi paru, volume respirasi semenit) sekitar 6L (500 mL/napas x 12 napas/menit). Ventilasi volunter maksimal (Maximal Voluntary Ventilation/MVV), atau yang dahulu disebut kapasitas pernapasan maksimun (Maximal Breathing Capasity),
adalah volume gas terbesar yang dapat dimasukkan dan dikeluarkan selama
1 menit secara volunter. Pada keadaan normal, MVV berkisar antara
125-170 L/menit(Ganong FW, 1998)..
Otot-Otot Pernapasan
Gerakan diafragma
menyebutkan perubahan volume intratorakal sebesar 75% selama inspirasi
tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar rongga toraks,
membentuk kubah di atas hepar dan bergerak ke arah bawah seperti piston
pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara 1,5
cm sampai 7 cm saat inspirasi .
Diafragma
terdiri atas tiga bagian: bagian kostal, dibentuk oleh serat otot yang
bermula dari iga-iga sekaliling bagian dasar rongga toraks; bagian
krural, dibentuk oleh serat otot yang bermula dari ligamentum sepanjang
tulang belakang; dan tendon sentral, tempat bergabungnya serat-serat
kostal dan krural. Serat-serat krural melintasi kedua sisi esofagus.
Tendon sentral juga mencakup bagian inferior perikardium. Bagian kostal
dan krural diafragma dipersarafi oleh bagian lain nervus frenikus dan
dapat berkontraksi secara terpisah. Sebagai contoh .pada waktu muntah
dan bersendawa, tekanan intra-abdominal meningkat akibat kontraksi serat
kostal diafragma, sedangkan serat-serat krural tetap lemas, sehingga
memungkinkan bergeraknya berbagai bahan dari lambung ke dalam
esofagus(Ganong FW, 1998)..
Otot inspirasi penting lainnya adalah muskulus interkontalis eksternus,
yang berjalan dari iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan.
Iga-iga berputar seolah-olah bersendi di bagian punggung, sehingga
ketika otot interkontalis eksternus berkontraksi, iga-iga di bawahnya
akan terangkat. Gerakan ini akan mendorong sternum ke luar dan
memperbesar diameter anteroposterior rongga dada. Diameter transversal
boleh dikatakan hampir tidak berubah. Masing-masing otot interkostalis
eksternus maupun diafragma dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat
pada keadaan istirahat. Potongan melintang medula spinalis di atas
segmen servikalis ketiga dapat berakibat fatal bila tidak diberikan
pernapasan buatan, namun tidak demikian halnya bila dilakukan pemotongan
di bawah segmen servikalis kelima, karena nervus frenikus yang
mempersarafi diafragma tetap utuh; nervus frenikus timbul dari medula
spinalis setinggi segmen servikal 3-5. Sebaliknya, pada penderita dengan
paralisis bilateral nervus frenikus agak sukar tetapi cukup adekuat
untuk mempertahankan hidup. Muskulus skalenus dan sternokleidomastoideus
di leher merupakan otot-otot inspirasi tambahan yang ikut membantu
mengangkat rongga dada pada pernapasan yang sukar dan dalam(Ganong FW,
1998)..
Apabila
otot ekspresi berkontraksi, terjadi penurunan volume intratorakal dan
ekspirasi paksa. Kemampuan ini dimiliki otot-otot interkostalis internus
karena otot-otot ini berjalan miring ke arah bawah dan belakang dari
iga ke iga, sehingga pada waktu berkontraksi akan menarik rongga dada ke
bawah . kontraksi otot dinding abdomen anterior juga ikut membantu
proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam serta
dengan meningkatkan tekanan intra abdominasi yang akan mendorong
diafragma ke atas.
Tonus Bronkus
Secara
umum, otot polos pada dinding bronkus berfungsi membantu mempertahankan
distribusi ventilasi yang merata. Rangsangan pada reseptor sensorik di
saluran napas oleh iritan dan zak kimia seperti sulfur dioksida
menimbulkan reflek bronkokonstriksi yang disalurkan melalui jaras
kolinergik. Bronkokonstriksi juga dapat ditimbulkan oleh udara dingin
serta sewaktu melakukan kerja jasmani, mungkin karena adanya peningkatan
pernapasan sewaktu olahraga akan mendinginkan saluran udara. Leukotrin
menyebabkan bronkonstriksi, sedangkan antagonis LTD, dapat mengurangi
derajad bronkokonstriksi sewaktu berolahraga. Selain itu otot-otot
bronkus juga melindungi bronkus sewaktu batuk. Tonus bronkus memiliki
irama sirkadian, yaitu konstriksi maksimal terjadi sekitar pukul 06.00
pagi dan dilatasi maksimal terjadi sekitar pukul 18.00 sore. VIP
menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, dan telah dibuktikan adanya sistem saraf nonadrenergik nonkolinergik yang
mengatur tonus bronkus melalui VIP. Dilaporkan pula adanya defisiensi
atau tidak terdapatnya VIP pada sebagian besar penderita asma(Potter And
Perry,1999)..
Kompilasi Paru-Paru dan Dinding Dada
Interaksi
antara daya rekoil jaringan paru dan daya rekoil dinding dada dapat
diperlihatkan pada subjek hidup. Subjek percobaan bernapas melalui
sebuah spirometer yang dilengkapi sebuah katup di belakang mouth-piece,
dengan kedua cuping hidung dijepit rapat. Mouth-piece ini dilengkapi
dengan alat pengukur tekanan. Setelah subjek menghirup sejumlah volume
udara, katup diputar sehingga saluran udara tertutup. Otot-otot
pernapasan dibiarkan berelaksasi, sementara tekanan dalam saluran udara
dicatat. Tindakan ini diulang setelah menghirup atau secara aktif
mengeluarkan sejumlah volume udara. Kurva tekanan saluran udara yang
diperoleh melalui percobaan dan ini digambarka terhadap volume,
merupakan kurva tekanan relaksasi keselurugan sistem pernapasan . pada volume paru yang sesuai dengan jumlah udara dalam paru pada akhir ekspirasi tenang (volume relaksasi,
sama dengan kapasitas residu fungsional), tekanan dalam saluran udara
sama dengan nol. Peningkatan volume dalam paru menghasilkan tekanan
positif, sedangkan penurunan volume dalam paru menimbulkan tekanan
negatif. Perbandingan antara perubahan volume paru dengan satuan
perubahan tekanan saluran udara (ΔV/ΔP) menggambarkan kemudahan diregangnya (komplians)
jaringan paru dan dinding dada. Pada umumnya, pengukuran dilakukan pada
kisaran kurva tekanan relaksasi yang paling curam, dan nilai normalnya
adalah 0,2 L/cm H2O. Walaupun demikian, komplians bergantung
pada volume udara dalam paru; seorang yang hanya memiliki satu paru
menunjukkan nilai ΔV separuh dari ΔV individu normal untuk ΔV
tertentu. Komplians juga sedikit lebih besar jika diukur selama
pengempisan paru dibandingkan apabila diukur selama pengembangan paru.
Oleh sebab itu lebih banyak informasi dapat diperoleh apabila dilakukan
pemerikasaan kurva tekanan volume keseluruhan. Bendungan dan fibrosis
jaringan interstisial paru akan menggeser kurva ke bawah kanan
(komplians menurun). Pada enfisema, kurva bergeser ke atas kiri
(komplians meningkat). Perlu diperhatikan bahwa kompliasn merupakan
pengukuran statik daya rekoil jaringan paru dan dinding dada. Perbedaan
tekanan yang diperlukan untuk mengalirkan suatu satuan volume udara
menunjukkan besar tahanan jaringan paru dan dinding dada; dan
pengukuran yang lebih bersifat dinamik ini (buan statik) juga berkaitan
dengan besar tahanan aliran udara dalam saluran napas.
Tegangan Permukaan Alveolar
Suatu
faktor penting yang mempengaruhi komplians jaringan paru adalah
tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh cairan yang melapisi alveolus.
Dampak faktor ini pada berbagai volume paru dapat diukur dengan cara
mengeluarkan paru-paru dari tubuh serta mengembangkannya secara
bergantian menggunakan sa-line dan udara sambil mengukur tekanan
intrapulmonal. Kuva tekanan-volume yang diperoleh pada pemberian saline
hanya menunjukkan elastisitas jaringan, karena saline menurunkan
tegangan permukaan sampai hampir nol, sedangkan kurva yang diperoleh
pada pemberian udara menunjukkan elastisitas jaringan dan tegangan
permukaan. Perbedaan antara kedua kurva, yaitu elastisitas akibat
tegangan permukaan, jauh lebih rendah saat volume paru yang kecil
dibandingkan saat volume paru yang besar. Tegangan permukaan juga jauh
lebih rendah dibandingkan tegangan permukaann yang diharapkan pada
pertemuan air-udara dengan dimensi yang sama.
Surfaktan
Tegangan permukaan yang rendah pada waktu alveolus kecil disebabkan oleh adanya surfaktan
(suatu lipid yang merendahkan tegangan permukaan) di dalam cairan yang
melapisi alveolus. Surfaktan merupakan campuran
dipalmitoilfosfatidilkolin (DPPC), berbagai lipid lain dan protein (Tabel 2.1).
Apabila tegangan permukaan tersebut tidak dipertahankan rendah saat
alveouls mengecil selama ekspirasi, maka sesuai dengan hukum Laplace
(lihat bab 30), alveolus akan kolaps. Pada struktur berbentuk sferis
seperti alveolus, tekanan pengembagan setara dengan 2 kali tegangan
dibagi jari-jari (Pernapasan=2T/r);
Tabel 2.1.. Perkiraan komposisi surfaktan
Komponen
|
Persen komposisi
|
Olpalmitoilfosfatidilkolin
Fosfatidilgilsin
Fosfolipid lain
Lipid netrat
Protein
Karbohidrat
|
62
5
10
10
8
8
|
Jika
T tidak diturunkan bila r berkurang, maka nilai tegangan akan melampaui
tekanaan pengembangan. Surfaktan juga berfungsi membantu mencegah
terjadinya edema paru. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa bila
tidak terdapat surfaktan, tegangan permukaan alveolus yang tidak dilawan
akan menimbulkan tekanan sebesar 20 mmHg yang mengakibatkan transudasi
caran dari darah ke dalam alveolus.
Fosfolipid
yang memiliki “kepala” hidrofilik dan 2 “ekor” asam lemak hidrofobik
sejajar berberis sepanjang alveolus dengan ekornya menghadap ke lumen
alveolus, dan tegangan permukaan berbanding terbalik dengan
konsentrasinya per satuan luas. Molekul-molekul fosfolipid bergerak
menjauh sewaktu alveolus membesar saat inspirasi, dan tegangan permukaan
meningkat, sebaliknya tegangan permukaan menurun saat molekul bergerak
saling mendekati selama ekspirasi.
Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar sprsifik,
yaitu organel yang mengandung gulungan fosfolipid dab terikat pada
membran sel, dibentuk dalam sel-sel tersebut dan disekresikan ke dalam
lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang disebut mielin tubular dibentuk
dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya membentuk lapisan
fosfolipid. Sebagian kompleks protein-lipid di dalam surfaktan diambil
kembali ke dalam sel alveolus tipe II secara endositosis danb didaur
ulang.
Pembentukan
lapisan fosfolipid sangat dipermudah oleh protein dalam surfaktan.
Bahan ini mengandung 3 protein utama, SP-A, SP-B, dan SP-C. SP-A adalah
suatu glikoprotein besar dan memiliki ranah (domain) menyerupai
kolagen di dalam strukturnya. Diperkirakan SP-A mempunyai bererapa
fungsi beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik pengambilan
kembali surfaktan oleh sel epitel alveolus tipe II yang
mensekresikannya. SP-B dan SP-C adalah protein yang lebih kecil yang
menfasilitasi pembentukan lapisan fosfolipid monomolekuler.
Surfaktan
mempunyai peranan penting pada kelahiran. Janin di dalam uterus
melakukan gerakan pernapasan, namun jaringan parunya tetap kolaps sampai
saat kalahiran. Setelah lahir, bayi melakukan beberapa kali gerakan
inspirasi kuat dan parunya akan mengembang. Adanya surfaktan mencegah
agar jaringan paru tidak kolaps kembali. Defisiensi surfaktan merupakan
penyebab terjadinya penyakit membran hialis (sindroma gawat pernapasan, RDS = respiratory distress syndrome),
suatu penyakit paru serius yang terjadi pada bayi yang lahir sebelum
sistem surfaktannya berfungsi. Pada bayi tersebut didapatkan tegangan
permukaan dalam paru yang tinggi, dan didapatkan banyak daerah dengan
alveolus yang kolaps (atelektasis). Pemberian fosfolipid saja secara
inhalasi tidak banyak bermanfaat pada RDS. Namun pemberian surfaktan
sapi yang mengandung fosfolipid dan protein ternyata memberikan hasil
yang cukup memuaskan.
Ukuran
dan jumlah inklusi pada sel tipe II akan meningkat oleh pengaruh
hormaon tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih oarah pada
bayi dengan kadar hormon tiroid plasma yang rendah dibandingkan poda
bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses pematangan surfaktan
dalam paru juga dipercepat oleh hormaon glukokortikoid. Menjelang umur
kehamilan cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan
maternal, serat jaringan parunya kaya akan reseptor glukokortikoid.
Selain itu, insulin menghambat penumpukan SP-A dalam kultur jaringan
paru janin manusia, dan didapatkan hiperinsulinisme pada janin dari ibu
yang menderita diabetes. Hal ini dapat menerangkan terjadinya
peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
diabetes.
Bercak
atelektasis juga dikaitkan dengan difisiensi surfaktan pada pasien yang
menjalani pembedahan jantung menggunakan pompa oksigenator dan
sirkulasi parunya dihambat. Selain itu, difisiensi surfaktan mungkin
memegang peranan akan timbulnya beberapa kalainan setelah penutupan
bronkus utama, oklusi satu arteri pulmonalis atau pemberian inhalasi O2 100% jangka lama. Didapatkan penurunan jumlah surfaktan dalam paru seorang perokok sigaret.
Tebel Komponen-komponen yang membentuk kerja pernapasan selama inspirasi tenang, dan persentase kontribusi masing-masing komponen.
Kerja nonelastis
Tahanan viakos
Tahanan saluran udara
Kerja elastis
|
7%
28%
65%
|
Kerja Pernapasan
Otot-otot
pernapasan melakukan kerja untuk meregang jaringan elastis dinding dada
dan paru-paru (kerja elastis), menggerakkan jaringan tidak elastis
(tahan viskos), serta menggerakkan udara melalui jalan pernapasan (Tebel 2.2).
Mengingat bahwa tekanan dikalikan volume (g/cm2 x cm3 = g x cm)
mempunyai besara yang sama dengan kerja (gaya x jarak), maka kerja
pernapasan dapat dihitung dari kurva tekanan relaksasi. Kerja elastik
total yang dibutuhkan untuk inspirasi adalah area ABCD. Perhatikan bahwa
kurva tekanan relaksasi sistem pernapasan total berbeda dengan kurva
tekanan jaringan paru-paru saja. Kerja elastik sebenarnya yang
dibutuhkan untuk meningkatkan volume dalam paru-paru saja adalah area
ABDEA. Jumlah kerja elastik yang dibutuhkan untuk mengembangkan seluruh
sistem pernapasan lebih kecil daripada jumlah kerja yang diperlukan
untuk mengembangkan jaringan paru saja, karena sebagian energi kerja
berasal dari energi elastik yang hilang dari rongga dada (area AFGBA)
setara dengan energi yang diperoleh paru-paru (area AEDCA).
Selama
pernapasan tenang, tahanan gesekan akibat gerakan udara relatif kecil,
namun cukup untuk menimbulkan perubahan tekanan intrapleura yang
menyebabkan perubahan volume dalam paru-paru selama inspirasi dan
ekspirasi, menimbulkan suatu lingkaran histeresis dan bukan suatu
garis ,lurus, apabila tekanan digambarkan terhadap volume. Apabila
aliran udara terjadi turbulen selama pernapasan cepat, energi yang
dibutuhkan untuk menggerakkan udara akan lebih besar dibandingkan bila
aliran udara tersebut laminer.
Perkiraan
kerja total selama pernapasan tenang berkisar antara 0,3 sampai 0,8
kg-m/menit. Nilai ini meningkat dengan jelas selama latihan fisik, namun
kebutuhan energi untuk pernapasan pada individu normal kurang dari 3%
kebutuhan energi total selama latihan fisik. Kerja pernapasan sangat
meningkat pada beberapa penyakit seperti enfisema, asma dan gagal
jantung kongestif yang disertai dispnea dan ortopnea. Otot-otot
pernapasan menunjukkan hubungan panjang tegangan seperti halnya otot
rangka lain atau jantung, dan apabila otot pernapasan diregang secara
berlebihan, kuat kontraksinya berkurang. Otot-otot ini juga dapat
menjadi lebih dan mengalami kegagalan (kegagalan memompa), mengakibatkan
ventilasi yang tidak adekuat. Melalui mekanisme yang belum diketahui,
pemberian aminoilin meningkatkan kekuatan kontraksi otot diafragma pada
manusia dan bermanfaat dalam pengobatan kegagalan pemompaan.
Pertukaran Gas Dalam Paru-Paru
Komposisi Udara Alveolus
Oksigen terus-menerus berdifusi dari udara dalam alveoli (udara alveolus) ke dalam aliran darah, dan CO2
terus-menerus berdifusi dari darah ke dalam alveoli. Pada keadaan
seimbang, udara inspirasi bercampur dengan udara alveolus, menggantikan O2 yang telah masuk ke dalam darah dan mengencerkan CO2 yang telah memasuki alveoli. Sebagian udara campuran ini akan dikeluarkan. Kandungan O2 udara alveolus akan menurun dan kandungan CO2
-nya meningkat sampai inspirasi berikutnya. Pada akhir ekspirasi tenang
(kapasitas residu fungsional), volume udara di dalam alveoli sekitar
2L, sehingga setiap perubahan sejumlah 350 mL selama inspirasi dan
ekspirasi sangat sedikit mengubah besar PO2 dan PCO2.
Pada kenyataannya, komposisi udara alveolus relatif tetap konstan,
tidak hanya pada saat istirahat tetapi juga pada berbagai keadaan lain
(Ganong FW, 1998).
Pengambilan Contoh Udara Alveolus
Secara
teoritis, udara yang diekspirasikan merupakan udara alveolus, kecuali
150 mL, kecuali 150 mL udara ekspirasi awal, walaupun selalu terdapat
udara campuran pada fase peralihan antara udara ruang rugi dengan udara
alveolus. Dengan demikian, untuk melakukan analisis gas diambil bagian
terakhir udara ekspirasi. Dengan menggunakan alat mutakhir yang
dilengkapi dengan katup otomatis uang sesuai, dimungkinkan untuk
mengambil 10 mL terakhir udara ekspirasi selama pernapasan tenang.
Difusi Melalui Membran Alveolus-Kapiler
Gas
berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru atau sebaliknya
melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis yang dibentuk oleh epitel
pulmonal, endotel kapiler serta membran basalis masing-masing yang
berfusi. Tercapai atau tidaknya keseimbangan senyawa yang melintas dari
alveoli ke dalam darah kapiler dalam waktu 0,75 detik yang diperlukan
untuk melewati kapiler paru pada saat istirahat bergantung pada
reaksinya dengan senyawa dalam darah. Sebagai contoh gas anestesi
nitrogen oksida tidak bereaksi, dan N2O mencapai keseimbangan dalam waktu sekitar 0,1 detik. Pada keadaan ini, jumlah N2O
yang masuk ke dalam tubuh tidak dibatasi oleh kemampuan difusi
melainkan oleh jumlah darah yang mengalir melalui kapiler paru (perfusion-limited).
Di pihak lain, karbon monoksida diambil oleh hemoglobin dalam sel darah
merah dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga tekanan parsial CO
di dalam kapiler tetap sangat rendah dan keadaan seimbang tida dapat
tercapai dalam waktu 0,75 detik saat darah berada dalam kapiler baru.
Oleh sebab itu, pada keadaans istirahat perpindahan CO bukan dibatasi
oleh besarnya perfusi, melainkan oleh kemampuan difusi (difusion-limited). Perpindahan O2 terletak antara N2O dan CO; O2
diambil oleh hemoglobin tetapi jauh lebih lambat dibandingkan CO, dan
mencapai keseimbangan dengan darah kapiler dalam waktu sekitar 0,3
detik. Jadi, ambilan O2 juga dibatasi ileh perfusi.
Kapasitas
difusi paru untuk suatu gas berbanding lurus dengan luas membran
alveolus-kapiler dan berbanding terbalik dengan tebal membran. Kapasitas
difusi CO (DLCO) diukur sebagai indeks kapasitas difusi karena pengambilannya dibatasi oleh kemampuan difusi. DLCO
sebanding dengan jumlah CO yang memasuki alveoli dikurangi tekanan
parsial CO dalam darah yang masuk ke kapiler paru. Nilai terakhir ini
mendekati no sehingga dapat diabaikan, kecuali pada perokok habitual,
dan persamaan tersebut menjadi
DLCO =
Pada keadaan istirahat, nilai normal DLCO
sekitar 25 mL/menit/mmHG. Nilai ini meningkat 3 kali selama latihan
fisik akibat dilatasi kapiler dan peningkatan jumlah kapiler yang aktif.
PO2 udara alveolus normal adalah 100 mmHg dan PO2 darah yang memasuki kapiler paru adalah 40 mmHG. Seperti halnya CO, kapasitas difusi O2 pada keadaan istirahat adalah 25 mL/menit/mmHg, dan PO2
dalam darah meningkat mencapai 97 mmHg. Nilai yang sedikit lebih rendah
daripada PO2 alveolus. Nilai ini berkurang menjadi 95 mmHg di dalam
aorta akibat adanya pintas (shunt) fisiologis. DLO2
meningkat mencapai 65 mL/menit/mmHg selama latihan fisik dan menurun
pada penyakit seperti sarkoidosis dan keracunan birilium (biriliosis)
yang menimbulkan fibrosis dinding alveolus. Penyebab lain fibrosis paru
adalah sekresi PDGP berlebihan oleh makrofag alveolus, yang merangsang
sel mesenkim di sekitarnya.
PCO2 darah vena adalah 46 mmHg, sehingga CO2 berdifusi dari darah ke dalam alveoli sesuai selisih tekanan tersebut. PCO2 darah yang meninggalkan paru adalah 40 mmHg. CO2 mampu menembus sleuruh membran biologis dengan mudah, dan kapasitas difusi paru untuk CO2 jaub lebih besar dibandingkan O2. inilah sebabnya mengapa retensi CO2 jarang merupakan masalah pada penderita fibrosis alveolus welaupun terdapat penurunan kapasitas difusi O2 yang nyata(Ganong FW, 1998).
Sirkuasi Pulmonal
Pembuluh Darah Paru
Jalinan
pembuluh darah paru yang menyerupai pembuluh darah sistemik, tetapi
tebal dinding pembuluh arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya hanya
sekitar 30% tebal dinding aorta, dan pembuluh arteri kecil, berbeda
dengan arteriola sistemik, merupakan tabung endotel yang relatif sedikit
mengandung otot polos di dalam dindingnya. Pada dinding pembuluh
jaringan otot polos. Pembuluh kapiler paru berukuran besar, dan
didapatkan banyak anastomosis, sehingga setiap alveolus diliputi oleh
keranjang kapiler.
Tekanan, Volume, dan Aliran
Darah
yang keluar dari ventrikel kiri akan kembali ke atrium kanan dan
selanjutnya diejeksikan oleh ventrikel kanan, menyebabkan sirkulasi
pulmonal memiliki keunikan yaitu bahwa di dalamnya terkandung aliran
darah yang hampir sama dengan jumlah darah di seluruh organ tubuh
lainnya, dengan dua pengecualian dalam kuantitas kecil. Salah satu
pengecualian adalag aliran darah bronkial. Sebagaimana diuraikan
sebelumnya, didapatkan anastomosis yang luas antara kapiler bronkial dan
kapiler pulmonal, dan walaupun sejumlah darah bronkial mengalir ke vena
bronkial, sebagain darah mengalir ke dalam kapiler pulmonal, memintasi
ventrikel kanan. Pengecualian yang lain adalah darah yang mengalir dari
arteri koronaria ke dalam rongga jantung sebelah kiri. Adanya pintas fisiologis kecil yang dibentuk oleh 2 pengecualian tersebut mengakibatkan PO2
darah arteri sistemik turun sekitar 2 mmHg lebih rendah dibandingkan
darah yang telah mencapai keseimbangan dengan udara alveolus, dan
saturasi hemoglobin juga berkurangs sekitar 0,5%.
Keseluruhan
sistem pembuluh darah pulmonal merupakan susunan pembuluh bertekanan
rendah yang dapat mengembang. Tekanan darah dalam arteri pulmonalis
sekitar 24/9 mmHg, dan tekanan arteri rata-ratanya sekitar 15 mmHg.
Tekanan di dalam atrium kiri sekitar 8 mmHg selama diastol, sehingga
selisih tekanan dalam sistem pembuluh pulmonal hanya sekitar 7 mmHg,
jika dibandingkan dengan selisih tekanan dalam sirkulasi sistemik yang
besarnya sekitar 90 mmHg. Menerik untuk diperhatikan bahwa penurunan
tekanan dari arteri pulmonalis sampai ke kapiler paru relatif kecil dan
penurunan tekanan di dalam sistem vena lebih nyata.
Volume
darah di dalam pembuluh pulmonal setiap saat adalah sekitar 1 L, dan
kurang dari 100 mL berada dalam kapiler. Keceopatan sama dengan di dalam
aorta (sekitar 40 cm/detik). Kecepatan aliran ini menurun dengan tajam,
dan agak meningkat kembali di dalam vena-vena pulmonalis yang besar.
Satu sel darah merah membutuhkan waktu sekitar 0,75 detik untuk
melintasi kapiler paru pada keadaan istirahat, dan sekitar 0,3 detik
atau kurang sewaktu latihan fisik(Ganong FW, 1998).
Tekanan Kapiler
Tekanan
di dalam kapiler paru sekitar 10mmHg, sedangkan tekanan onkotiknya
adalah 25 mmHg, sehingga terdapat selisih tekanan yang mengarah ke dalam
sebesar 15 mmHg yang menjaga agar alveolus tetap bebas cairan. Apabila
tekanan di dalam kapiler paru melampaui 25 mmHg seperti yang mungkin
terjadi apabila terdapat “kegagalan mundur” (backward failure)
ventrikel kiri timbul kongesti dan edema paru. Penderita stenosis ketup
mitral juga akan mengalami peningkatan tekanan progresif menahun di
dalam kapiler paru disertai perubahan fibrotik yang luas pada pembuluh
paru. Gejala edema paru pada pada stenosis katup mitral tidak terlalu
menonjol dibandingkan pada gagal jantung kongestif yang sesungguhnya,
mungkin disebabkan karena “terlindungnya” kapiler paru oleh fibrosis dan
konstriksi pembuluh arteri pulmonalis.
Pengaruh Gravitasi
Gravitasi
memberikan dampak yang cukup jelas pada sirkulasi pulmonal. Pada posisi
tegak, bagian atas paru-paru berada jauh di atas jantung, dan bagian
basis berada setinggi atau sedikit di bawah jantung. Akibatnya, terdapat
gradien perbedaan tekanan yang cukup jelas dalam arteri pulmonalis
mulai dari bagian atas sampai bawah paru serta peningkatan linier aliran
darah pulmonal mulai dari apeks sampai basis paru. Tekanan di dalam
kapiler pada bagian puncak paru mendekati tekanan atmosfer dalam
alveoli. Pada keadaan normal, tekanan di dalam arteri pulmonalis cukup
besar untuk mempertahankan perfusi, namun apabila tekanan ini menurun
atau tekanan di dalam alveolus meningkat, sejumlah kapiler kolaps. Pada
keadaan ini, tidak terdapat pertukaran gas pada alveolus yang kolaps
sehingga menjadi bagian dari ruang rugi fisiologi.
Pada
bagian tengah paru, tekanan di dalam arteri dan kapiler pulmonal lebih
besar daripada tekanan alveolus, namun tekanan di dalam venula dapat
lebih rendah dibandingkan tekanan alveolus selama ekspirasi normal,
sehingga pembuluh venula dapat kolaps. Pada keadaan ini, aliran darah
lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan antara arteri
pulmonalis-alveolus dan bukan oleh selisih tekanan arteri-vena
pulmonalis. Setelah melampaui daerah penyempitan, darah “jatuh” ke dalam
pembuluh vena paru yang sangat komplian dan dapat menampung berapapun
banyaknya darah yang dapat melewati daerah pembuluh vena yang sempit.
Peristiwa ini disebut efek air terjun, tapi istilah tersebut kurang tepat karena pada puncak air terjun yang sebenarnya tidak terdapat hambatan.
Pada
bagian bawah paru, tekanan alveolus lebih rendah dibandingkan tekanan
di dalam seluruh bagian sirkulasi pulmonal dan aliran darah ditentukan
oleh perbedaan tekanan arteri-vena.
Rasio Ventilasi/Perfusi
Pada
keadaan istirahat, rasio antara ventilasi dengan aliran darah pulmonal
untuk seluruh paru adalah sekitar 0,8 (4,2 L/menit ventilasi dibagi
dengan 5,5 L/menit aliran darah). Namun, akibat adanya pengaruh
gravitasi, didapatkan perbedaan rasio ventilasi/perfusi yang
cukup jelas pada berbagai bagian paru normal, dan perubahan lokal rasio
ventilasi/perfusi lazim dijumpai pada berbagai penyakit. Apabila
didapatkan penurunan ventilasi alveolus relatif terhadap perfusinya, PO2 dalam alveolus menurun akibat berkurangnya pengiriman O2 ke alveolus dan PCO2 alveolus meningkat karena menurunnya pengeluaran pengeluaran CO2. sebaliknya, apabila terjadi penurunan perfusi relatif terhadap ventilasi, PCO2 berkurang karena lebih sedikit O2 yang memasuki aliran darah.
Seperti
telah diuraikan sebelumnya, pada posisi tegak, terjadi penurunan linier
baik pada ventilasi maupun perfusi, mulai dari basis sampai apeks paru.
Tetapi, rasio ventilasi/perfusi tinggi di bagian atas paru. Dikatakan
bahwa rasio ventilasi/perfusi yang tinggi di bagian apeks berperan pada
terjadinya predileksi tuberkulosis di bagian apeks, karena PO2 alveolus
yang relatif tinggi merupakan lingkungan yang menyokong pertumbuhan
bakteri tuberkulosis.Apabila ventilasi dan perfusi yang tidak merata
dalam paru mencakup daerah yang luas, dapat terjadi penurunan PO2 di dalam pembuluh arteri sistemik dan retensi PCO2. (Ganong FW, 1998).
Reservoar Paru
Akibat
daya mengembangnya yang besar, vena-vena pulmonalis merupakan reservoar
darah yang penting. Apabila seorang indivisu normal berbaring, volume
darah pulmonal meningkat sampai 400 mL, dan apabila individu tersebut
berdiri, sejumlah darah tersebut dikeluarkan ke dalam sirkulasi umum.
Pergeseran ini merupakan penyebab terdapatnya penurunan kapasitas vital
pada posisi berbaring dan bertanggung jawab akan terjadinya ortopne pada
gagal jantung.
Pengaturan Aliran Darah Pulmonal
Vasokonstriksi pembuluh arterior paru ditimbulkan oleh norepinefrin, epinefrin, angiotensin II, tromboksan dan PGF2a; sedangkan fasodilatasi ditimbulkan oleh isoproterenol, asetilkolin dan PGL2. Konstriksi venula pulmonal disebabkan oleh serotonin, histamin, dan endotoksin Escherichia coli.
Pembuluh darah paru dipersarafi secara luas oleh serat saraf
vasokonstriktor simpatis akan menurunkan aliran darah pulmonal sampai
30%.
Walaupun
dipersarafi secara luas dan reaktifitas pembuluh darahnya tinggi,
tampaknya pengaturan aliran darah pulmonal keseluruhan umumnya terjadi
secara pasif, dan penyesuaian lokal perfusi terhadap ventilasi
ditentukan oleh efek lokal O2 atau kekurangannya. Pada waktu
olahraga, terjadi peningkatan curah jantung diikuti peningkatan tekanan
arteri pulmonalis yang sebanding, dengan sedikit atau tanpa
vasodilatasi. Jumlah sel darah merah yang mengalir melalui paru akan
meningkat tanpa penurunan saturasi O2 hemoglobin yang dikandungnya, sehingga jumlah O2
total yang diangkut ke dalam sirkulasi sistemik akan meningkat.
Pembuluh kapiler akan berdilatasi, dan kapiler yang sebelumnya kurang
mendapat perfusi akan “dikerahkan” untuk membawa darah. Efek akhirnya
adalah peningkatan aliran darah pulmonal nyata dengan relatif sedikit
perubahan pada rangsang otosom menuju pembuluh darah pulmonal.
Perubahan lokal aliran darah pulmonal sebagian besar disebabkan oleh perubahan setempat kandungan O2 dalam jaringan . 133Xe
dapat digunakan untuk mengamati aliran darah dengan cara menyuntikkan
larutan gas tersebut dalam larutan saline secara intravena sambil
memantau daerah dada. Gas ini dengan cepat memasuki alveoli yang
mempunyai perfusi normal, tetapi gagal untuk menempati alveoli yang
tidak memperoleh perfusi. Cara lain untuk menentukan lokasi daerah
dengan perfusi yang kurang adalah melalui penyuntikan makroagregat
albumin yang ditandai dengan yodium radioaktif . agregat tersebut
berukuran cukup besar untuk menyumbat kapiler serta arteriola kecil, dan
penyumbatan hanya terjadi pada pembuluh yang darahnya mengalir saat
mencapai paru-paru. Walaupun tampaknya kontradiktif untuk meneliti
pasien yang menderita kelainan aliran darah paru dengan cara menimbulkan
sumbatan pembuluh darah, cara ini cukup aman karena relatif sedikit
partikel yang disuntikkan. Partikel ini hanya menyumbat sebagian kecil
pembuluh darah pulmonal dan dengan cepat dikeluarkan dari tubuh.
Penyumbatan
salah satu bronkus atau bronkiolus akan menimbulkan hipoksia pada
alveolus di belakang sumbatan, akibat kurang memperoleh ventialasi.
Defisiensi O2 tampaknya langsung mempengaruhi otot polos
pembulud darah di daerah sekitarnya, menimbulkan vasokonstriksi,
memintas aliran darah menjauhi daerah hipoksia. Penimbunan CO2
menyebabkan penurunan pH pada daerah tersebut, dan penurunan pH juga
nengakibatkan vasokonstriksi pembuluh paru, yang berlawanan dengan
efeknya pada jaringan lain, yaitu vasodilatasi. Sebaliknya, penurunan
aliran darah ke suatu bagian paru akan menimbulkan konstriksi bronkus
yang memasoknya dan mengalihkan ventilasi dari daerah yang perfusinya
terganggu.
Hipoksia
sistemik juga menimbulkan konstriksi arteriola paru, yang mengakibatkan
peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis(Ganong FW, 1998).
Pertukaran Gas Pernapasan
Gas
pernapasan mengalami pertukaran di alveoli dan kapiler jaringan tubuh.
Oksigen ditransfer dari paru-paru ke darah dan karbon dioksida
ditransfer dari darah ke alveoli untuk dikeluarkan sebagai produk
sampah. Pada tingkat jaringan, oksigen ditrasfer dari darah ke jaringan,
dan karbon dioksida ditrasfer dari jaringan ke darah untuk kembali ke
alveoli dan dikeluarkan. Transfer ini bergantung pada proses
difusi(Potter And Perry,1999).
Difusi
Difusi
merupakan gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi yang
lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. Difusi gas
pernapasan terjadi di membran kapiler alvcolar dan kecepatan difusi
dapat dipengaruhi oleh ketebalan membran.
Peningkatan
ketebalan membran merintangi proses difusi karena hal tersebut membuat
gas memerlukan waktu lebih lama untuk melewati membran tersebut. Klien
yang mengalami edema pulmonar, infiltrasi pulmonar, atau efusi pulmonar
memiliki ketebalan membran alveolar-kapiler yang meningkat akan
mengakibatkan proses difusi yang lambat, pertukaran gas pernapasan yang
lambat dan mengganggu proses pengiriman oksigen ke jaringan.
Daerah
permukaan membran dapat mengalami perubahan sebagai akibat suatu
penyakit kronik (mis. emfisema), penyakit akut (mis. pneumothoraks),
atau proses pembedahan (mis. lobektomi). Apabila alveoli yang berfungsi
lebih sedikit, maka daerah permukaan menjadi berkurang(Potter And
Perry,1999).
Transportasi Oksigen
Sistem
transformasi oksigen terdiri dari sistem paru dan sistem kardi. Proses
penghantaran ini bergantung pada jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru
(ventilasi), aliran darah ke paru-paru dan jaringan (perfusi), kecepatan
difusi, dan kapasitas membawa oksigen. Kapasitas darah untuk membawa
oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut dalam plasma, jumlah
hemoglobin, dan kecenderungan hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen
(Ahrens, 1990).
Jumlah
oksigen yang larut dalam plasma relatif kecil, yakni hanya sekitar 3%.
Sebagian besar oksigen ditrasportasi oleh hemoglobin yang berfungsi
sebagai pembawa oksigen dan karbon dioksida. Molekul hemoglobin
bercampur dengan oksigen untuk membentuk oksihemoglobin. Pembentukan
oksihemoglobin dengan mudah berbalik (reversibel), sehingga memungkinkan
hemoglobin dan oksigen berpisah, membuat oksigen menjadi bebas(Potter
And Perry,1999).
Transportasi Karbon Dioksida
Karbon dioksidaberdifusi ke dalam sel-sel darah merah dan dengan cepat dihidrasi menjadi asam karbonat (H2CO3) akibat adanya anhidrasikabonat. Asam karbonat kemudian berpisah menjadi ion hidrogen (H*) dan ion bikarbonat (HCO3¯). Ion hidrogen dibufer oleh hemoglobin dan HCO3¯
berdifusi ke dalam plasma (lihat Bab 45). Selain itu beberapa karbon
dioksida yang ada dalam sel darah merah bereaksi dengan kelompok asam
amino, membentuk senyawa karbamino. Reaksi ini dapat terjadi dengan
cepat tanpa adanya enzim. Hemoglobin yang berkurang (deoksihemoglobin)
dapat bersenyawa dengan karbon dioksida dengan lebih mudah daripada
oksihemoglobin. Dengan demikian, darah vena menstransportasi sebagian
besar karbon dioksida(Potter And Perry,1999).
Penyesuaian Pernapasan Pada Keadaan Sehat Dan Sakit
Penyesuaian
pernapasan terhadap latihan fisik, hipoksia, termasuk yang terjadi pada
ketinggian, hiperkapnia, serta penyakit pernapasan. Seperti halnya
kompensasi penyesuaian sistem kardiovaskuler terhadap perubahan
lingkungan dan penyakit menggambarkan aksi integrasi mekanisme
pengaturan kardiovaskuler, penyesuaian pernapasan ini menyoroti aksi
mekanisme pengaturan pernapasan(Ganong FW, 1998).
Pengaruh Latihan Fisik
Untuk memenuhi kebutuhan O2 jaringan aktif serta pengeluaran CO2
dan panas selama melakukan latihan fisik, diperlukan kerja terpadu
berbagai mekanisme kardiovaskular dan pernapasan. Perubahan sirkulasi
akan meningkatkan aliran darah ke otot, sementara sirkulasi yang adekuat
pada bagian tubuh yang lain harus dipertahankan. Selain itu, dan
ventilasi juga ditingkatkan sehingga sejumlah tambahan O2 dari darah pada otot yang bekerja akan meningkat, dan ventilasi juga ditingkatkan sehingga sejumlah tambahan O2 dapat disediakan, dan sebagian panas serta kelebihan CO2 dapat disediakan, dan sebagian panas serta CO2 dikeluarkan.
Perubahan Pada Ventilasi
Selama latihan fisik, jumlah O2 yang memasuki aliran darah di paru-paru meningkat, karena adanya kenaikan jumlah O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah serta bertambahnya aliran darah pulmonal per menit. Po2 darah yang mengalir ke dalam kapiler pulmonal akan menurun 40 menjadi 25 mm Hg atau kurang, sehingga perbedaan Po2 alveol-kapiker meningkat dan lebih banyak O2 akan masuk ke dalam darah. Aliran darah per menit meningkat dari 5,5 L/menit menjadi 20-35 L/menit. Dengan demikian jumlah O2 total yang memasuki darah juga bertambah, dari 250 mL/menit saat istirahat mencapai 4000 mL/menit. Jumlah CO2 yang dikeluarkan dari tiap satuan darah meningkat, dan ekskresi CO2 meningkat dari 200 mL/menit mencapai 8000 mL/menit. Peningkatan ambilan O3 sebanding dengan beban kerja yang dilakukan,sampai dicapai batas maksimum. Di atas batas maksimum, konsumsi O2
mendatar dan kadar asam laktat darah terus meningkat. Laktat berasal
dari otot, saat resintensis aerobik cadangan energi tidak dapat
mencukupo penggunaannya dan terjadilah hutang oksigen.
Pada
saat dimulainya latihan fisik, terjadi peningkatan ventilasi mendadak,
dan setelah suatu periode istirahat singkat, diikuti oleh peningkatan
yang bertahap. Pada latihan fisik sedang, kenaikan ventilasi terutama
berupa peningkatan frekuensi pernapasan apabila latihan fisik
diperberat. Pada saat penghentian latihan fisik terjadi penurunan
ventilasi mendadak, yang setelah jeda singkat diikuti dengan penurunan
bertahap mencapai nilai sebelum latihan. Peningkatan mendadak pada awal
latihan fisik kemungkinan disebabkan oleh rangsang psikis serta k\implus
aferen dari propriseptor di otot, tendo, dan persendian. Peningkatan
yang bertahap kemungkinan disebabkan oleh faktor humoral, walaupun
selama latihan fisi sedang, pH, Pco2 dan Po2 darah arteri tidak berubah. Peningkatan ventilasi sebanding dengan peningkatan konsumsi O2,
tetapi mekanisme yang mendasari perangsangan pernapasan masih menjadi
perdebatan. Kemungkinan adanya peningkatan suhu tubuh juga memainkan
peranan. Latihan fisik meningkatkan kadar K+ plasma, dan
peningkatan ini dapat merangsang kemoreseptor perifer. Sebagai tambahan,
mungkin pula kepekaan pusat pernapasan terhadap CO2 meningkat atau fluktuasi Pco2 darah arteri oleh gerak pernapasan bertambah, sehingga meskipun Pco2 darah arteri rata-rata tidak meningkat, CO2 lah yang berperan dalam meningkatkan ventilasi. O2 tampaknya juga berperan, meskipun tidak terdapat penurunan Po2 darah arteri. Saat melakukan suatu beban kerja tertentu sambil bernapas dengan O2
100%, peningkatan ventilasi yang terjadi lebih rendah 10-20%
dibandingkan dengan peningkatan pernapasan saat bernapas dengan udara
biasa. Dengan demikian, tampaknya kombinasi berbagai faktor berperan
dalam terjadinya peningkatan ventilasi saat latihan fisik sedang.
Apabila latihan fisik diperberat, pembuferan jumlah asam laktat yang semakin banyak terbentuk menghasilkan lebih banyak CO2,
dan hal ini menyebabkan vetilasi semakin meningkat. Respons terhadap
peningkatkan latihan fisik bertahap. Dengan bertambahnya pembentukan
asam laktat, peningkatan ventilasi dan pembentukan CO2 tetap berimbang, sehingga CO2 alveol dan darah arteri hampir tidak berubah (pembuferan isokapnik). Oleh adanya hiperventilasi, Po2 alveol meningkat. Dengan bertambahnya akumulasi asam laktat, peningkatan ventilasi melampaui pembentukan CO2, sehingga Pco2 alveol dan Pco2 darah arteri berkurang. Penurunan Pco2
darah arteri merupakan kompensasi pernapasan pada asidosis metabolik
yang ditimbulkan oleh kelebihan asam laktat. Peningkatan ventilasi
tambahan akibat asidosis bergantung pada badan karotis dan hal ini tidak
terjadi apabila badan karotis disingkirkan.
Frekuensi pernapasan setelah latihan fisik dihentikan tidak mencapai nilai basal sebelum hutang O2
dibayar. Keadaan ini dapat berlangsung hingga 90 menit. Rangsang yang
biasanya normal atau tinggi, melainkan melalui konsentrasi H+ yang meningkat akibat asidemia laktat. Besar hutang O2 diatas konsumsi basal mulai dari saat penghentian latihan fisik sampai kembalinya tingkan konsumsi O2 ke nila sebelum latihan. Selama pembayaran hutang O2, terdapat peningkatan O2
sedikit di dalam mioglobin otot. ATP dan kreatinfoosforil disintesis
kembali, dan asam laktat disingkirkan. Sekitar 80% asam laktat diubah
menjadi glikogen dan 20% sisanya dimetabolisis menjadi CO2 dan H2O.
Tambahan CO2
yang dihasilkan oleh pembuferan asam laktat selama latihan fisik berat,
menyebabkan nilai R meningkat mencapai 1,5-2,0. Setelah penghentian
latihan, selama hutang O2 dibayar, nilai R turun menjadi 0,5 atau lebih rendah.
Perubahan dalam Jaringan
Ambilan O2 maksimum selama latihan fisik dibatasi oleh kecepatan maksimum pengangkutan O2 menuju mitokondria otot yang bekerja. Namun pada keadaan normal, keterbatasan ini bukanlah disebabkan oleh kekurangan ambilan O2 di paru, dan hemoglobin dalam darah arteri tetap tersaturasi penuh meskipun melakukan latihan fisik berat.
Selama latihan fisik, penggunaan O2 oleh otot yang bekerja bertambah, sehingga Po2 dari darah ke jaringan bertambah, sehingga Po2 darah dari otot yang aktif turun hampir mendekati nol. Difusi O2 dari darah ke jaringan bertambah, sehingga Po2 darah pada otot berkurang, dan pelepasan O2
dari hemoglobin meningkat. Adanya dilatasi jalinan kapiler serta
bertambahnya kapiler yang terbuka, menyebabkan jarak rata-rata antara
darah dengan sel jaringan sangat menurun; hal ini memudahkan pergerakan O2 dari darah menuju sel. Pada kisaran Po2
di bawah 60 mm Hg, kurva disosiasi hemoglobin-oksigen berada pada
bagian curam, sehingga pada tiap penurunan 1 mm Hg, akan disediakan
relatif banyak O2. Sejumlah O2 akan ditambahkan pula, karena adanya penumpukan CO2
dan peningkatan suhu di jaringan aktif-serta mungkin pula terdapat
peningkatan 2,3-DPG didalam sel darah merah-kurva disosoasi bergeser ke
kanan. Sebagaimana hasil akhir didapatkan peningkatan ekstraksi O2
3 kali dari tiap satuan darah. Peningkatan ini disertai pula dengan 30
kali atau lebih peningkatan aliran darah, sehingga selama melakukan
latihan fisik, dimungkinkan terjadi pertambahan laju metabolisme dalam
otot mencapai 100 kali.
Kelelahan
Kelelahan
merupakan suatu fenomena yang kurang dipahami, yang pada keadaan normal
terjadi sebagai akibat latihan fisik intensif atau beban mental. Selain
itu, kelelahan merupakan gejala pada berbagai penyakit yang berbeda.
Asidosis dan beberapa faktor lain yang timbul selama latihan fisik, ikut
berperan dalam terjadinya kelelahan. Keras atau “berat” suatu latihan
fisik yang dirasakan (subyektif) berkaitan dengan kecepatan konsumsi O2
dan bukan beban kerja aktual (kg m/menit) yang dijalankan. Dikatakan
bahwa serangkaian impuls berturutan pada serat aferen dari propriseptor
di otot akan menimbulkan rasa “lelah”. Pengaruh asidosis oada otak
mungkin pula menyokong timbulnya rasa lelah. Pada individu normal,
latihan fisik berkepanjangan menimbulkan hipoglikemia, tetapi usaha
mencegah terjadinya hipoglikemia tidak mempengaruhi ketahanan seseorang
seseorang atau menunda saat timbulnya kelelahan. Dipihak lain, pada
manusia didapatkan hubungan anyara kelelahan dengan habisnya persediaan
glikogen otot, sebagaimana ditetapkan melalui biopsi otot. Kontraksi
otot yang terus-menerus menimbulkan nyeri, karena otot menjadi iskemik
dan terjadi akumulasi suatu substansi yang merangsang ujung saraf
(“faktor P”). Namun, pada kontraksi intermiten tidak timbul rasa nyeri,
karena faktor P diangkat oleh darah. Kekakuan otot sebagian dapat
disebabkan oleh akumulasi cairan intertisial di dalam otot selama
melakukan kerja berat.
Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2, di tingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Secara tradisional, hipoksia dibagi 4 jenis.Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut : (1) hipoksia hipoksik (anoksia anoksik), yaitu apabila Po2 darah arteri berkurang; (2) hipoksia anemik, yaitu bila Po2 darah arteri normal tetapi jumlah hemoglobin yang tersedia untuk mengangkut O2 berkurang; (3) hipoksia stagna atau iskemik, bila aliran darah menuju jaringan sangat rendah sehingga tidak cukup O2 diantarkan ke jaringan, meskipun Po2 dan konsentrasi hemoglobin normal; dan (4) hipoksia histoksik, bila jumlah O2 yang diantarkan ke jaringan memadai, namun oleh karena kerja suatu agen toksik.
Pengaruh Hipoksia
Pengaruh
hipoksia stagnan bergantung pada jaringan yang terkena. Pada hipoksia
hipoksik dan bentuk hipoksia umum lainnya, otaklah yang pertama kali
dipengaruhi, penurunan mendadak Po2 udara inspirasi sampai
lebih rendah dari 20 mm Hg, misalnya saat kehilangan tekanan mendadak di
dalam ruangan pesawat terbang pada ketinggian di atas 16.000 m,
menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu sekitar 20 detik. Disusul
dengan kematian dalam waktu 4-5 menit. Hipoksia yang tidak terlalu berat
menimbulkan bebagai penyimpangan mental yang tidak berbeda dengan
kelainan akibat alkohol: gangguan dalam mengambil keputusan, mengantuk,
berkurangnya kepekaan terhadap nyeri, rasa gembira, disorientasi,
hilangnya orientasi waktu dan sakit kepala. Gejala lain mencakup
anoreksia, mual, muntah, takikardia dan pada hipoksia berat didapatkan
hipertensi. Kecepatan ventilasi meningkat setara dnegan beratnya
hipoksia pada sel kemoreptor karotis(Ganong FW, 1998).
Sianosis
Hemoglobin
reduksi mempunyai warna gelap, dan bila konsentrasi hemoglobin reduksi
di dalam darah kapiler lebih besar dari 5 g/dL. Tampak warna
biru-kehitaman pada jaringan, yang disebut sianosis. Sianosis
palingm udah dilihat pada kuku dan membran mukosa serta pada cuping
telinga, bibir dan jari-jari, yaitu pada bagian berkulit tipis.
Terlihatnya sianosis bergatung pada jumlah total hemaglobin dalam darah,
derajat hemoglobin yang tidak tersaturasi serta keadaan sirkulasi
kapiler.
Seseorang
mungkin berpikir bahwa sianosis terlihat lebih jelas bila pembuluh
kulit berdialatasi. Namun, bila terdapat konstriksi arteriol dan vena
kulit, aliran darah melalui kapiler sangat lambat dan lebih banyak O2
diambil dari hemoglobin. Inilah sebabnya pada individu normal timbul
sianosi pada bagian tubuh yang terpapar suhu cukup dingin. Pada cuaca
yang sangat dingin tidak timbul sianosis, karena penurunan suhu kulit
menghambat disosiasi oksihemoglobin dan konsumsi O2 menurun
pada jaringan yang dingin. Sianosis juga tidak tampak pada hipoksia
anemik dengan kandungan hemoglobin total yang rendah; pada keracunan
karbon monoksida, karena warna hemoglobin reduksi tertutup oleh warna
merah-cerah dari karbon monoksihemoglobin; atau pada hipoksia
histotoksik, karena kandungan gas dalam darah normal. Perubahan warna
kulit dan membran mukosa yang serupa dengan sianosis(Ganong, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar