A. Pengertian
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma
adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang
reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap
berbagai rangsang.
Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran
nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan
makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada
terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris
Sinclair, 1994)
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994)
menjelaskan asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas
terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas
yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan /
kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme
dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,1996).
Menurut Crocket (1997) asthma bronkiale
didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan
dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel.
B. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan serangan asma bronkhial atau sering disebut sebagai faktor pencetus
adalah :
1.
Alergen
2.
Infeksi saluran pernapasan
3.
Tekanan jiwa
4.
Olahraga/kegiatan jasmani yang
berat
5.
Obat-obatan
6.
Polusi udara
7.
Lingkungan kerja
C. Klasifikasi
1.
Asma bronkhial tipe atopik (
ekstrinsik )
Asma timbul karena seseorang yang atopi
akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan,
kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang
bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam
sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC
melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui
penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B
diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh
mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini
dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor
untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk
IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel
mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan
gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar
kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan
diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan
tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam
sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan
menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali
dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul
(preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin,
Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),
trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah
obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang
mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan
kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa,
misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan
yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa
ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi
bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam
jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai
bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad
berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan
dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat
ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang
reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara
patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa
dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel
silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu
daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada
pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama
pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa
dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus
dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi
(wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun
psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis.
HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH)
dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan
mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk
melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk
inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
2.
Asma bronkhial tipe non-atopik
( intrinsik )
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi
bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus
seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat,
serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat
gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik
beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas
adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita
asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan
bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan
terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan
adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang,
maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam
sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi
otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil
dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta
maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus
sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade
adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
D. Manifestasi
klinis
1.
Alergi debu, spora jamur, bulu
kucing, bulu binatang.
2.
Flu ( virus influenza )
3.
Kepribadian labil
4.
Sensitif obat-oabatan (
penisislin, salisalat, beta blocker, kodein, dan sebagainya )
5.
Asap pabrik/kendaraan, asap
rokok, serta bau yang tajam.
E. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi
terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk
imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk
kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap
makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen
diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th
memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk
berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka
orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah
rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen
tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan
basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan
perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan
degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya
mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of
anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A)
dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu :
kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang
akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan
dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran
nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga
reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak
merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli,
akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap
yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik
(atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang
dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu
telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma
intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi
terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang
bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan
cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor
intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan
kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada
stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai
dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas,
berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi
(wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir
tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai
membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara
nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan
tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).
F. Pathways
( terlampir )
G. Penatalaksanaan
medis
1. Nonfarmakologi
a. Penyuluhan
b. Menghindari
faktor pencetus
c. Fisioterapi
2. Farmakologi
a. Agonis
beta
b. Metilxantin
c. Kortikosteroid
d. Kromolin
dan iputropioum bromide ( atroven )
H. Askep
asma
1. Pengkajian
a. Riwayat
penyakit saat ini
Wheezing, kelelahan, sianosis,
dan perubahan tekanan darah.
b. Riwayat
penyakit dahulu
ISPA, sakit tenggorokan,
amandel, sinusitis, dan polip hidung.
c. Riwayat
penyakit keluarga
Terdapat riwayat penyakit asama
pada keluarganya, dan lingkungan.
2. Pemeriksaan
fisik
a. Keadaan
umum
Kesadaran pasien, kecemasan,
kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi.
b. Breathing
c. Blood
Keadaan hemodinamik seperti
nadi, tekanan darah , dan CRT.
d. Brain
Pemeriksaan GCS
e. Bladder
Pengukuran volume output urine,
dan tidaknya oliguria.
f. Bowel
Kecemasan yang dialami klien.
g. Bone
Pengkajian integumen ( kulit ),
rambut, dn pola istirahat.
3. Pemeriksaan
diagnostik
a. Pengukuran
fungsi paru ( spiromateri )
Pemberian bronkodilator aerosol
golongan adrenergik.
b. Tes
provokasi bronkus
Tes ini dilakukan pada
spirometri internal.
c. Pemeriksaan
kulit
Menunjukan adanya antibodi igE
hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
d. Pemeriksaan
laboratorium
1. Analisa
gas darah
2. Sputum
3. Sel
eosinofil
4. Pemeriksaan
darah rutin dan kimia
4. Pemeriksaan
radiologi
Kemungkinan adanya proses
patologi diparu atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum,
ateletaksis, dll.
I. Diagnosa
keperawatan
1. Gangguan
pertukaran gas b/d spasme bronkus
2. Tak
efektif bersihan jaln napas b/d sesak nafas
3. Perubahan
pola nafas b/d meningkatnya usaha dan frekuensi pernapasan
4. Kerusakan
integritas kulit b/d stress
5. Penurunan
curah jantung b/d gagal jantung
6. Intoleransi
aktifitas b/d melemahnya tubuh
Kasus :
Seorang
pasien wanita berumur 23 tahun datang poli penyakit dalam keluhan sesak nafas,
sejak hari sebelum masuk kerumah sakit,
sesak dirasakan hilang timbul atau kambuh dan bertambah berat pada malam hari,
cuaca dingin, debu, capek, emosi, serta makan makanan yang berminyak. Keluhan
sesak ini dirasakan berkurang bila siang hari, tidak disertai rasa sakit dan
rasa panas didada. Pasien juga mengeluh sering terbangun tengah malam hari
karena sesk nafas. Selain itu, pasien juga mengeluh batuk-batuk dan pilek sejak
+- 5 hari yang lalu, batuk tidak berdahak warna putih kehijauan, tidak ngikil,
tidak berdarah, dan kepala terasa pusing, nafsu makan menurun, BAK dan BAB
normal.
Sebelumnya
pasien pernah menderita keluhan yang sama kurang lebih 4 tahun yang lalu,
kemudian berobat kerumah sakit dan mendapatkan obat semprot yang dihisap
melalui mulut untuk mengurangi keluhan sesaknya, dan obat semprot tersebut
masih digunakan sampai saat ini. Apabila timbul keluhan sesak nafas.
Pemeriksaan
fisik
Pasien
tampak sesak, TTV : tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 94 kali/mnt, RR 30 kali/
mnt, suhu 30 oC.
Toraks
: pulmo : pada inspeksi tampak dinding dada simetris, tidak ada retraksi
interkostal, tidak ada ketinggalan gerak, eksperi memanjang. Pada palpasi vokal
premitus, paru kanan dan kiri normal. Perkusi sonor dikedua lapangan paru. Pada
askultasi terdengar suara dasar vesikular dan suara tambahan terdengar suara
rongki, dan suara weezing.
Pertanyaan
:
1.
Apakah bentuk dada mempengaruhi
Bentuk dada tidak mempengaruhi
terjadinya asma karena asma disebabkan adanya penyebab seperti diatas, sehingga
bentuk dada tidak mempengaruhi sama sekali dalam penyakit asma.
2.
Mengapa asma meningkat saat
malam hari, emosi, dan cuaca.
Asma meningkat pada saat malam
hari hal ini disebabkan karena pada malam hari suhu dingin sehingga
meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah. Sehingga akan memperbanyak
jumlah produksi mukus yang ada pada saluran pernapasan tersebut, kemungkinan
asma akan kambuh. Dari segi emosi dapat juga memicu dalam masalah penyakit asma
hal ini disebabkan karena adanya kontraksi jantung juga yang menyebabkan
produksi mukus secara berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya asma itu
kambuh lagi. Begitu pula dengan cuaca pada cuaca misal panas akan mempersesak
saat bernapas hal ini disebabkan adanya kemungkinan polusi udara yang dapat
memicu timbulnya penyakit asma.
3.
Mengapa warna dahak bisa putih
kehijauan.
Warna dahak bisa putih
kehijauan hal ini disebabkan karena adanya virus influenza yang menyerang,
sehingga oleh antibodi tubuh akan aktif sehingga menyerang virus tersebut dalam
perangnya virus tersebut mati dan keluar melalui batuk ataupun lubang hidung
dengan warna putih kehijauan.
4.
Efektif mana obat spray atau
oral
Dua-dua nya efektif tinggal
penggunaaan pada obat tersebut apabila spray maka ia menggunakan dalam jangka
yang pendek agar asma tidak kambuh lagi sedangkan obat oral ia penggunaannya
dalam jangka waktu yang lama. Contoh obat oral dalam jangka panjang yaitu ketotifen
(suatu anti alergi), teofilin lepas lambat, dan sodium
kromoglikat/nedokromil.
5.
Jenis terapi asma
a.
Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi pada
pasien atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma, dan kontrol
terhadap faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan
antara lain adalah debu, polusi, merokok, olah raga, perubahan temperatur
secara ekstrim, dll., termasuk penyakit-penyakit yang sering mempengaruhi
kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis, gastro esophagal refluks disease
(GERD), dan infeksi virus. Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan
pasien, maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta
uji kulit (skin test). Jika penyebab serangan sudah diidentifikasi, pasien
perlu diedukasi mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam
serangan asma. Edukasi kepada pasien juga meliputi pengetahuan tentang
patogenesis asma, bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda
awal keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat, dan bagaimana memonitor
fungsi paru-parunya. Selain itu juga dapat dilakukan fisioterapi napas (senam
asma), vibrasi dan atau perkusi toraks, dan batuk yang efisien.
b.
Terapi farmakologi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan yang
perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan
penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan
jangka panjang untuk mengontrol gejala asma, dan pengobatan
cepat (quick-relief medication) untuk mengatasi serangan akut
asma. Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang antara lain
inhalasi steroid, beta2 agonis aksi panjang, sodium kromoglikat atau
kromolin, nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan metil
ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu
bronkodilator (beta2 agonis aksi cepat, antikolinergik, metilksantin),
dan kortikosteroid oral (sistemik).
Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan
metered-dose inhaler (MDI). Contoh obat yang digunakan untuk terapi jangka
panjang adalah inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol
(contoh: Symbicort), kombinasi salmeterol dan flutikason
(contoh : Seretide), dan budesonide tunggal (contoh:
Pulmicort). Obat ini aman dipakai jangka panjang untuk mengontrol asma yang
berat. Obat lain yang diindikasikan untuk pencegahan asma adalah ketotifen
(suatu anti alergi), teofilin lepas lambat, dan sodium
kromoglikat/nedokromil.
Sedangkan obat untuk melegakan serangan asma yang perlu aksi cepat adalah
salbutamol, terbutalin, dan ipratropium bromide.
Salbutamol merupakan beta agonis aksi cepat, dan banyak dijumpai dalam berbagai
bentuk sediaan. Ada
yang berbentuk tablet, sirup, atau inhalasi. Untuk mengatasi serangan asma,
obat ini merupakan pilihan pertama. Salbutamol kadang dikombinasikan dengan ipratriopium
bromide (contoh: Combivent) dalam bentuk inhalasi, yang di awal
posting ini aku ceritakan untuk ”mengasap” Hanni. Injeksi aminofilin juga masih
cukup banyak dipakai di RS untuk mengatasi serangan asma akut yang memerlukan
aksi segera.
Idealnya, obat-obat untuk asma diberikan secara inhalasi, artinya
dihirup. Bentuknya bisa suatu aerosol atau serbuk kering. Sekarang telah banyak
berbagai merk obat inhalasi untuk asma. Bentuk inhalasi dapat diberikan
menggunakan nebulizer (seperti yang aku ceritakan di awal posting
ini), atau dengan menggunakan sediaan metered-dose inhaler (MDI).
6.
Mengapa kebanyakan pada wanita
yang sering terkena asma
Kecenderungan
bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria mungkin disebabkan
oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan yang dipresentasikan dalam
pertemuan tahunan American College of Allergy, Asthma and Immunology, di Anaheim,
Calif.
Menurut
seorang peneliti dari University of California and the Allergy & Asthma
Medical Group and Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50
tahun ternyata 3 kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit
akibat asma.
46
persen dari para wanita datang ke rumah sakit pada masa sekitar menstruasi
(perimenstrual) dan sampai 40% dari mereka mengalami apa yang disebut gejala
asma premenstrual. Kebanyakan wanita mengalami gejala asma dalam minggu-minggu
sekitar masa menstruasi dengan puncak gejala umumnya terjadi pada 3 hari
menjelang menstruasi.
Bukti
lain dari pengaruh hormonal tersebut adalah bila kita melihat pada faktor usia.
Pada usia di bawah 12 tahun, penderita asma anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan anak perempuan. Tapi pada masa-masa pubertas, rasio ini berubah.
Faktor
hormonal seorang wanita juga dipengaruhi oleh masa kehamilan. Sekitar 8 persen
dari wanita hamil mengalami asma. Karena itu, wanita dengan asma yang
merencanakan kehamilan perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk
mengendalikan gejala asma dan juga terhadap keamanan obat-obat yang
dipergunakannya.
7.
Pada anak-anak rentan terkena
di banding dewasa.
Penderita alergi dan asma sering dikaitkan dengan gangguan gizi ganda
pada anak. Gizi ganda dapat menimbulkan kegemukan atau obesitas, bahkan
sebaliknya terjadi gangguan kenaikkan berat badan atau malnutrisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Erika von Mutius dkk dari University Children’s
Hospital, Munich, Germany menyebutkan bahwa BMI tampaknya merupakan faktor
resiko independent pada terjadinya asma. Sebaliknya didapatkan penelitian pada
penderita asma terdapat resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Baum mengungkapkan penderita asma sering terjadi
peningkatan platelet-activating factor (PAF) yang ternyata dapat menghambat
produksi PGE2 dalam osteoblast.
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu faktor lokal yang berperanan
penting untuk pertumbuhan tulang. Ellul dalam penelitiannya mengungkapkan
keterkaitan asma dan penyakit celiac pada anak. Secara bermakna didapatkan
kenaikkan resiko terjadinya asma pada penderita celiac. Celiac adalah gangguan
saluran yang tidak dapat mencerna kandungan gluten dan sejenisnya. Manifestasi
klinis yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dermatitis herpertiformis dan
gagal tumbuh.Sering dijumpai bahwa penderita asma pada anak mendapatkan
overdiagnosis atau overtreatment. Tidak jarang ditemui penderita asma yang
didiagnosis dan diobati sebagai tuberkulosis dan saat mengalami infeksi saluran
napas atas sering didiagnosis pnemoni hanya berdasarkan foto rontgen dada.
Hasil foto rontgen asma, brnkitis, pnemoni dan tuberkulosis kadang hampir
mirip karena terjadi peningkatan gambaran infiltrat paru. Bila tidak cermat maka
maka sering terjadi overdiagnosis penyakit lainnya pada kasus asma.
8.
Mengapa setelah melahirkan asma
bisa sembuh
Sebenarnya bukan sembuh
melainkan sang ibu saat melahirkan ia mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung gizi yang baik secra rutinnya sehingga dapat menurunkan kadar asma
yang dideritanya.
9.
Asma bisa sembuh atau tidak
Penyakit
asma tidak dapat disembuhkan dan obat-obatan yang ada saat ini hanya berfungsi
menghilangkan gejala. Namun, dengan mengontrol penyakit asma, penderita
penyakit asma bisa bebas dari gejala penyakit asma yang mengganggu sehingga
dapat menjalani aktivitas hidup sehari-hari. Mengingat banyaknya faktor risiko
yang berperan, maka prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan
untuk mengontrol gejala. Kontrol yang baik ini diharapkan dapat mencegah
terjadinya eksaserbasi ( kumatnya gejala penyakit asma ), menormalkan fungsi
paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas hidup
pasien.
10. Efek
penggunaan obat pada px asma
Prof.Dr. Zullies Ikawati, Apt, salah satu staf pengajar di Fakultas
Farmasi UGM. Zullies memulai penjelasan mengenai obat golongan steroid. Contoh
obat golongan steroid antara lain budesonide, beclometason
dan deksametason. Obat lini pertama dalam terapi asma ini umum
digunakan untuk tujuan pencegahan kambuhnya asma. Kendati dapat pula untuk
mengatasi keadaan saat asma kambuh. Pada terapi pencegahan yang mengharuskan
pasien mengkonsumsi obat secara rutin sebaiknya menggunakan bentuk sediaan
inhalasi atau lebih dikenal dengan sebutan metered dose inhaler (MDI).
Penggunaan inhalasi memiliki memiliki onset lebih cepat dibandingkan dengan
penggunaan per oral (obat diminum sehingga melewati saluran cerna). Efek
samping pun bisa diminimalisir karena obat hanya bekerja di seputar saluran
pernapasan. Mengenai isu gangguan pertumbuhan anak dan timbulnya osteoporosis
akibat penggunaan steroid terus-menerus, Zullies menambahkan belum ada fakta
selama obat asma digunakan dalam bentuk sediaan inhalasi. Selain dalam bentuk
sediaan inhalasi, tetap tidak tertutup kemungkinan menerima obat golongan
steroid dalam bentuk sediaan per oral. Efek samping dari obat golongan steroid
antara lain meningkatkan tekanan dan kadar gula darah,
sehingga penggunaan steroid pada pengidap hipertensi dan diabetes mellitus (DM)
perlu mendapat perhatian khusus. Obat golongan steroid juga memiliki efek
sebagai imunosupressan yang dapat menurunkan kekebalan tubuh.
Sehingga sebaiknya tetap menjaga kondisi dan stamina tubuh selama
penggunaannya. Sedangkan penggunaan steroid untuk ibu hamil dan menyusui cukup
aman selama obat diberikan atas rekomendasi dokter. Bahkan sebelum melahirkan
kerap dilakukan suntikan intravena obat golongan steroid untuk mencegah
kekambuhan asma saat ibu melahirkan. Yang perlu diperhatikan adalah saat pasien
menerima terapi pencegahan yang mengharuskan penggunaan steroid secara rutin.
Selama terapi tubuh menerima steroid dari luar/eksogen yang mengakibatkan
sistem endogen (hormon) dalam tubuh tidak memproduksi steroid. Karena itu,
penggunaan steroid tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba, dan dosis harus
diturunkan perlahan untuk memberi waktu pada sistem endogen agar bisa kembali
bekerja memproduksi steroid.
Untuk mengatasi serangan akut, obat golongan beta-agonist misalnya salbutamol
menjadi obat lini pertama yang bekerja sebagai bronkodilator (merelaksasi
bronkus). Obat golongan ini pun sudah banyak tersedia dalam bentuk inhalasi
sehingga bekerja lebih efektif dalam mengatasi serangan akut. Pada keadaan
darurat dimana pasien mengalami kesulitan bernapas yang parah digunakan metode
pemberian obat secara nebulisasi. Nebulisasi merupakan metode
semacam pengasapan obat yang diberikan pada pasien sehingga obat dapat masuk ke
saluran nafas dalam kondisi sulit bernafas sekalipun. Sayangnya tidak semua
sarana kesehatan memiliki alat nebulizer karena relatif mahal. Di
samping penggunaan short acting, ada juga obat golongan beta-agonist
yang bekerja long acting, misalnya salmeterol atau formeterol,
yang memiliki onset dan durasi efek yang lebih panjang dibanding
salbutamol. Biasanya untuk terapi pencegahan kambuhnya asma. Efek samping
golongan beta-agonist cukup beragam seperti: tremor/gemetar pada tangan, sakit
kepala, hipokalemia (kekurangan kalium), dan takikardi (percepatan denyut
jantung). Namun efek samping tersebut tidak selalu terjadi tiap kali penggunaan
obat. Muncul atau tidaknya efek samping tergantung kondisi klinis masing-masing
individu. Apabila obat beta-agonist digunakan dalam jangka panjang dan secara
berlebihan dapat menurunkan efektivitasnya. Hal ini disebabkan karena
terjadinya desensitisasi reseptor obat, sehingga reseptor
menjadi kurang peka. Karenanya perlu dosis yang lebih besar untuk memperoleh
efek yang sama. Untuk itu dokter akan mempertimbangkan dosis yang paling tepat
untuk pasien sesuai dengan keadaan klinisnya.
Terapi obat beta-agonist terkadang dikombinasikan dengan obat
golongan antikolinergik untuk mencapai efek yang lebih baik.
Sama dengan beta agonis, obat golongan antikolinergik misalnya ipratropium
bromida bekerja dengan merelaksasi bronkus. Umumnya digunakan untuk
mengatasi serangan akut. Efek samping yang timbul antara lain: mulut kering,
mengantuk, dan gangguan penglihatan. Terutama pada penggunaan inhalasi dimana
pasien melakukan teknik penyemprotan yang kurang tepat. Dalam beberapa saat
mata dapat menjadi kabur. Zullies menyarankan agar pasien mengetahui teknik
penggunaan inhalasi yang tepat misalnya dengan bertanya pada dokter atau
apoteker. Satu lagi obat yang akrab dalam terapi asma, yaitu teofilin. Teofilin
tergolong obat ’tua’ dalam arti sudah digunakan untuk terapi sejak lama.
Teofilin memiliki jarak dosis terapi dan dosis toksik yang sempit. Hal ini
dapat membahayakan jika pasien mengkonsumsi dosis yang berlebihan. Gejala
keracunan teofilin antara lain: insomnia, sakit kepala, mual, dan
takikardi. Oleh sebab itu saat ini teofilin sudah banyak ditinggalkan
dalam terapi asma. Namun kadang-kadang masih tetap dipakai misalnya pada
keadaan darurat, teofilin diberikan dengan menyuntikkan dalam bentuk aminofilin.
Pemakaian teofilin ini dipertimbangkan karena harganya yang ekonomis. Teofilin
pun masih terdapat sebagai salah satu bahan aktif obat asma yang dijual bebas.
Setelah mengulas berbagai jenis obat asma, Zullies menyimpulkan bahwa obat-obat
asma tersebut cukup aman. “Saya sarankan untuk penggunaan inhalasi, karena
efeknya lebih cepat, sesuai sasaran karena langsung ke saluran nafas, efek
sampingnya pun minimal jika dibandingkan penggunaan oral sehingga cukup aman.
Dan teknik penggunaan inhalasi yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan
terapi.”,
11. Diagnosa
yang mungkin muncul pada kasus
a. Gangguan
pertukaran gas b/d spasme bronkus
b. Tak
efektif bersihan jaln napas b/d sesak nafas
c. Perubahan
pola nafas b/d meningkatnya usaha dan frekuensi pernapasan
d. Kerusakan
integritas kulit b/d stress
e. Penurunan
curah jantung b/d gagal jantung
f.
Intoleransi aktifitas b/d
melemahnya tubuh
12. Cara
kerja obat pada pasien asma
Misalnya
Ephedrine HCl bekerja mempengaruhi sistem saraf adrenergik secara langsung dan
tidak langsung. Theophylline merupakan turunan metilxantin yang mempunyai efek
antara lain merangsang susunan saraf pusat dan melemaskan otot polos, terutama
bronkus. Keduanya merupakan bronkodilator, yang bekerja meringankan sesak
napas.
Dalam
manajemen asma, pemakaian theophylline digunakan pada pencegahan serangan
maupun untuk pengobatan serangan asma (Tierney, et al. 1998; USPDI, 2000). Sampai
sekarang theophylline masih merupakan pilihan yang direkomendasikan, meskipun
banyak dijumpai efek samping. Keunggulan pemakaian teofilin terutama karena
efek samping toksiknya sudah dikenali, sehingga bisa segera diantisipasi para
dokter, di samping kemanfaatan kliniknya sebagai bronkodilator yang
memuaskan. Theophylline dapat menimbulkan gejala efek samping berupa gangguan
gastrointestinal, takikardi, palpitasi, aritmia, nyeri kepala, gangguan
konsentrasi, insomnia, dan kejang (USPDl, 2000; BNF, 1998). Telah luas
diketahui bahwa gejala efek samping ini berkaitan dengan kadar theophylline
dalam darah. Rentang terapi optimum theophylline berkisar antara 5 – 15 mikro
gram per ml (USPDI, 2000).
13. Kandungan
obat semprot
a. Anti
Inflamasi Golongan Steroid:
Obat
inhalasi ( MDI, Nebulisasi ), kandungannyan antara lain: Budesonide,
Beclomethasone dipropionate, Fluticasone, Flunisolide, dll. Serta
b. Bronkodilator
(melonggarkan saluran pernafasan):
Obat
inhalasi (MDI, DPI, nebulisasi), antara lain: Salbutamol MDI, Fenoterol,
Formoterol, Salmeterol, kombinasi Formoterol dan budesonide, kombinasi
Salmeterol dan fluticasone, dll.
14. Dampak
penyakit asma ke sistem yang lainnya.
a. Pada
sistem integumen
Kulit
akan menjadi keriput karena kekurangan kadar oksigen dalam darah sehingga
menurunkan hormon elastin dan kolagen sehingga kulit menjadi keriput.
b. Kardiovaskuler
Akan
mengakibatkan gagal jantung disebabkan karena adanya curah jantung yag menurun.
c. Pencernaan
BAB
menjadi tidak normal karena sistem metabolisme dalam tubuh mengalami adanya
gangguan.
d. Indera
Gangguan
penciuman karena adanya virus yang masuk seperti virus influenza yang akan
menyerang pada saluran pernapasan sehingga hidung tersumbat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar