selamat datang

Kampus ku

Pesan Kami

DATA

Postingan
Komentar

Total Tayangan Halaman

Like Facebook


Selasa, 10 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN ASMA


A.  Pengertian
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994)
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,1996).
Menurut Crocket (1997) asthma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel.
B.   Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhial atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :
1.        Alergen
2.        Infeksi saluran pernapasan
3.        Tekanan jiwa
4.        Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
5.        Obat-obatan
6.        Polusi udara
7.        Lingkungan kerja
C.  Klasifikasi
1.        Asma bronkhial tipe atopik ( ekstrinsik )
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan  asma bronkiale.
2.        Asma bronkhial tipe non-atopik ( intrinsik )
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
D.  Manifestasi klinis
1.        Alergi debu, spora jamur, bulu kucing, bulu binatang.
2.        Flu ( virus influenza )
3.        Kepribadian labil
4.        Sensitif obat-oabatan ( penisislin, salisalat, beta blocker, kodein, dan sebagainya )
5.        Asap pabrik/kendaraan, asap rokok, serta bau yang tajam.
E.   Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema  mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).
F.   Pathways
( terlampir )
G.  Penatalaksanaan medis
1.    Nonfarmakologi
a.    Penyuluhan
b.    Menghindari faktor pencetus
c.    Fisioterapi
2.    Farmakologi
a.    Agonis beta
b.    Metilxantin
c.    Kortikosteroid
d.    Kromolin dan iputropioum bromide ( atroven )
H.  Askep asma
1.    Pengkajian
a.    Riwayat penyakit saat ini
Wheezing, kelelahan, sianosis, dan perubahan tekanan darah.
b.    Riwayat penyakit dahulu
ISPA, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan polip hidung.
c.    Riwayat penyakit keluarga
Terdapat riwayat penyakit asama pada keluarganya, dan lingkungan.
2.    Pemeriksaan fisik
a.    Keadaan umum
Kesadaran pasien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi.
b.    Breathing
c.    Blood
Keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah , dan CRT.
d.    Brain
Pemeriksaan GCS
e.    Bladder
Pengukuran volume output urine, dan tidaknya oliguria.
f. Bowel
Kecemasan yang dialami klien.
g.    Bone
Pengkajian integumen ( kulit ), rambut, dn pola istirahat.
3.    Pemeriksaan diagnostik
a.    Pengukuran fungsi paru ( spiromateri )
Pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik.
b.    Tes provokasi bronkus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal.
c.    Pemeriksaan kulit
Menunjukan adanya antibodi igE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
d.    Pemeriksaan laboratorium
1.      Analisa gas darah
2.      Sputum
3.      Sel eosinofil
4.      Pemeriksaan darah rutin dan kimia
4.    Pemeriksaan radiologi
Kemungkinan adanya proses patologi diparu atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, ateletaksis, dll.  
I.     Diagnosa keperawatan
1.    Gangguan pertukaran gas b/d spasme bronkus
2.    Tak efektif bersihan jaln napas b/d sesak nafas
3.    Perubahan pola nafas b/d meningkatnya usaha dan frekuensi pernapasan
4.    Kerusakan integritas kulit b/d stress
5.    Penurunan curah jantung b/d gagal jantung
6.    Intoleransi aktifitas b/d melemahnya tubuh
Kasus :
Seorang pasien wanita berumur 23 tahun datang poli penyakit dalam keluhan sesak nafas, sejak  hari sebelum masuk kerumah sakit, sesak dirasakan hilang timbul atau kambuh dan bertambah berat pada malam hari, cuaca dingin, debu, capek, emosi, serta makan makanan yang berminyak. Keluhan sesak ini dirasakan berkurang bila siang hari, tidak disertai rasa sakit dan rasa panas didada. Pasien juga mengeluh sering terbangun tengah malam hari karena sesk nafas. Selain itu, pasien juga mengeluh batuk-batuk dan pilek sejak +- 5 hari yang lalu, batuk tidak berdahak warna putih kehijauan, tidak ngikil, tidak berdarah, dan kepala terasa pusing, nafsu makan menurun, BAK dan BAB normal.
Sebelumnya pasien pernah menderita keluhan yang sama kurang lebih 4 tahun yang lalu, kemudian berobat kerumah sakit dan mendapatkan obat semprot yang dihisap melalui mulut untuk mengurangi keluhan sesaknya, dan obat semprot tersebut masih digunakan sampai saat ini. Apabila timbul keluhan sesak nafas.
Pemeriksaan fisik
Pasien tampak sesak, TTV : tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 94 kali/mnt, RR 30 kali/ mnt, suhu 30 oC.
Toraks : pulmo : pada inspeksi tampak dinding dada simetris, tidak ada retraksi interkostal, tidak ada ketinggalan gerak, eksperi memanjang. Pada palpasi vokal premitus, paru kanan dan kiri normal. Perkusi sonor dikedua lapangan paru. Pada askultasi terdengar suara dasar vesikular dan suara tambahan terdengar suara rongki, dan suara weezing.
Pertanyaan :
1.        Apakah bentuk dada mempengaruhi
Bentuk dada tidak mempengaruhi terjadinya asma karena asma disebabkan adanya penyebab seperti diatas, sehingga bentuk dada tidak mempengaruhi sama sekali dalam penyakit asma.
2.        Mengapa asma meningkat saat malam hari, emosi, dan cuaca.
Asma meningkat pada saat malam hari hal ini disebabkan karena pada malam hari suhu dingin sehingga meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah. Sehingga akan memperbanyak jumlah produksi mukus yang ada pada saluran pernapasan tersebut, kemungkinan asma akan kambuh. Dari segi emosi dapat juga memicu dalam masalah penyakit asma hal ini disebabkan karena adanya kontraksi jantung juga yang menyebabkan produksi mukus secara berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya asma itu kambuh lagi. Begitu pula dengan cuaca pada cuaca misal panas akan mempersesak saat bernapas hal ini disebabkan adanya kemungkinan polusi udara yang dapat memicu timbulnya penyakit asma.
3.        Mengapa warna dahak bisa putih kehijauan.
Warna dahak bisa putih kehijauan hal ini disebabkan karena adanya virus influenza yang menyerang, sehingga oleh antibodi tubuh akan aktif sehingga menyerang virus tersebut dalam perangnya virus tersebut mati dan keluar melalui batuk ataupun lubang hidung dengan warna putih kehijauan.
4.        Efektif mana obat spray atau oral
Dua-dua nya efektif tinggal penggunaaan pada obat tersebut apabila spray maka ia menggunakan dalam jangka yang pendek agar asma tidak kambuh lagi sedangkan obat oral ia penggunaannya dalam jangka waktu yang lama. Contoh obat oral dalam jangka panjang yaitu ketotifen (suatu anti alergi), teofilin lepas lambat, dan sodium kromoglikat/nedokromil.
5.        Jenis terapi asma
a.       Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi pada pasien atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain adalah debu, polusi, merokok, olah raga, perubahan temperatur secara ekstrim, dll., termasuk penyakit-penyakit yang sering mempengaruhi kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis, gastro esophagal refluks disease (GERD), dan infeksi virus. Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan pasien, maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Jika penyebab serangan sudah diidentifikasi, pasien perlu diedukasi mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam serangan asma. Edukasi kepada pasien juga meliputi pengetahuan tentang patogenesis asma, bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat, dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya. Selain itu juga dapat dilakukan fisioterapi napas (senam asma), vibrasi dan atau perkusi toraks, dan batuk yang efisien.
b.      Terapi farmakologi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan jangka panjang untuk mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, beta2 agonis aksi panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu bronkodilator (beta2 agonis aksi cepat, antikolinergik, metilksantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).
Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan metered-dose inhaler (MDI). Contoh obat yang digunakan untuk terapi jangka panjang adalah inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (contoh: Symbicort), kombinasi salmeterol dan flutikason (contoh : Seretide), dan budesonide tunggal (contoh: Pulmicort). Obat ini aman dipakai jangka panjang untuk mengontrol asma yang berat. Obat lain yang diindikasikan untuk pencegahan asma adalah ketotifen (suatu anti alergi), teofilin lepas lambat, dan sodium kromoglikat/nedokromil.
Sedangkan obat untuk melegakan serangan asma yang perlu aksi cepat adalah salbutamol, terbutalin, dan ipratropium bromide. Salbutamol merupakan beta agonis aksi cepat, dan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk sediaan. Ada yang berbentuk tablet, sirup, atau inhalasi. Untuk mengatasi serangan asma, obat ini merupakan pilihan pertama. Salbutamol kadang dikombinasikan dengan ipratriopium bromide (contoh: Combivent) dalam bentuk inhalasi, yang di awal posting ini aku ceritakan untuk ”mengasap” Hanni. Injeksi aminofilin juga masih cukup banyak dipakai di RS untuk mengatasi serangan asma akut yang memerlukan aksi segera.
Idealnya, obat-obat untuk asma diberikan secara inhalasi, artinya dihirup. Bentuknya bisa suatu aerosol atau serbuk kering. Sekarang telah banyak berbagai merk obat inhalasi untuk asma. Bentuk inhalasi dapat diberikan menggunakan nebulizer (seperti yang aku ceritakan di awal posting ini), atau dengan menggunakan sediaan metered-dose inhaler (MDI).
6.        Mengapa kebanyakan pada wanita yang sering terkena asma
Kecenderungan bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy, Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif.
Menurut seorang peneliti dari University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3 kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.
46 persen dari para wanita datang ke rumah sakit pada masa sekitar menstruasi (perimenstrual) dan sampai 40% dari mereka mengalami apa yang disebut gejala asma premenstrual. Kebanyakan wanita mengalami gejala asma dalam minggu-minggu sekitar masa menstruasi dengan puncak gejala umumnya terjadi pada 3 hari menjelang menstruasi.
Bukti lain dari pengaruh hormonal tersebut adalah bila kita melihat pada faktor usia. Pada usia di bawah 12 tahun, penderita asma anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Tapi pada masa-masa pubertas, rasio ini berubah.
Faktor hormonal seorang wanita juga dipengaruhi oleh masa kehamilan. Sekitar 8 persen dari wanita hamil mengalami asma. Karena itu, wanita dengan asma yang merencanakan kehamilan perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mengendalikan gejala asma dan juga terhadap keamanan obat-obat yang dipergunakannya.
7.        Pada anak-anak rentan terkena di banding dewasa.
Penderita alergi dan asma sering dikaitkan dengan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi ganda dapat menimbulkan kegemukan atau obesitas, bahkan sebaliknya terjadi  gangguan kenaikkan berat badan atau malnutrisi. Penelitian yang dilakukan oleh Erika von Mutius dkk dari University Children’s Hospital, Munich, Germany menyebutkan bahwa BMI tampaknya merupakan faktor resiko independent pada terjadinya asma. Sebaliknya didapatkan penelitian pada penderita asma terdapat resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Baum mengungkapkan penderita asma sering terjadi peningkatan platelet-activating factor (PAF) yang ternyata dapat menghambat produksi PGE2 dalam osteoblast.
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu faktor lokal yang berperanan penting untuk pertumbuhan tulang. Ellul dalam penelitiannya mengungkapkan keterkaitan asma dan penyakit celiac pada anak. Secara bermakna didapatkan kenaikkan resiko terjadinya asma pada penderita celiac. Celiac adalah gangguan saluran yang tidak dapat mencerna kandungan gluten dan sejenisnya. Manifestasi klinis yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dermatitis herpertiformis dan gagal tumbuh.Sering dijumpai bahwa penderita asma pada anak mendapatkan overdiagnosis atau overtreatment. Tidak jarang ditemui penderita asma yang didiagnosis dan diobati sebagai tuberkulosis dan saat mengalami infeksi saluran napas atas sering didiagnosis pnemoni hanya berdasarkan foto rontgen dada. Hasil foto rontgen asma, brnkitis,  pnemoni dan tuberkulosis kadang hampir mirip karena terjadi peningkatan gambaran infiltrat paru. Bila tidak cermat maka maka sering terjadi overdiagnosis penyakit lainnya pada kasus asma.
8.        Mengapa setelah melahirkan asma bisa sembuh
Sebenarnya bukan sembuh melainkan sang ibu saat melahirkan ia mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gizi yang baik secra rutinnya sehingga dapat menurunkan kadar asma yang dideritanya.
9.        Asma bisa sembuh atau tidak
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan dan obat-obatan yang ada saat ini hanya berfungsi menghilangkan gejala. Namun, dengan mengontrol penyakit asma, penderita penyakit asma bisa bebas dari gejala penyakit asma yang mengganggu sehingga dapat menjalani aktivitas hidup sehari-hari. Mengingat banyaknya faktor risiko yang berperan, maka prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan untuk mengontrol gejala. Kontrol yang baik ini diharapkan dapat mencegah terjadinya eksaserbasi ( kumatnya gejala penyakit asma ), menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
10.    Efek penggunaan obat pada px asma
Prof.Dr. Zullies Ikawati, Apt, salah satu staf pengajar di Fakultas Farmasi UGM. Zullies memulai penjelasan mengenai obat golongan steroid. Contoh obat golongan steroid antara lain budesonide, beclometason dan deksametason. Obat lini pertama dalam terapi asma ini umum digunakan untuk tujuan pencegahan kambuhnya asma. Kendati dapat pula untuk mengatasi keadaan saat asma kambuh. Pada terapi pencegahan yang mengharuskan pasien mengkonsumsi obat secara rutin sebaiknya menggunakan bentuk sediaan inhalasi atau lebih dikenal dengan sebutan metered dose inhaler (MDI). Penggunaan inhalasi memiliki memiliki onset lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan per oral (obat diminum sehingga melewati saluran cerna). Efek samping pun bisa diminimalisir karena obat hanya bekerja di seputar saluran pernapasan. Mengenai isu gangguan pertumbuhan anak dan timbulnya osteoporosis akibat penggunaan steroid terus-menerus, Zullies menambahkan belum ada fakta selama obat asma digunakan dalam bentuk sediaan inhalasi. Selain dalam bentuk sediaan inhalasi, tetap tidak tertutup kemungkinan menerima obat golongan steroid dalam bentuk sediaan per oral. Efek samping dari obat golongan steroid antara lain meningkatkan tekanan dan kadar gula darah, sehingga penggunaan steroid pada pengidap hipertensi dan diabetes mellitus (DM) perlu mendapat perhatian khusus. Obat golongan steroid juga memiliki efek sebagai imunosupressan yang dapat menurunkan kekebalan tubuh. Sehingga sebaiknya tetap menjaga kondisi dan stamina tubuh selama penggunaannya. Sedangkan penggunaan steroid untuk ibu hamil dan menyusui cukup aman selama obat diberikan atas rekomendasi dokter. Bahkan sebelum melahirkan kerap dilakukan suntikan intravena obat golongan steroid untuk mencegah kekambuhan asma saat ibu melahirkan. Yang perlu diperhatikan adalah saat pasien menerima terapi pencegahan yang mengharuskan penggunaan steroid secara rutin. Selama terapi tubuh menerima steroid dari luar/eksogen yang mengakibatkan sistem endogen (hormon) dalam tubuh tidak memproduksi steroid. Karena itu, penggunaan steroid tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba, dan dosis harus diturunkan perlahan untuk memberi waktu pada sistem endogen agar bisa kembali bekerja memproduksi steroid.
Untuk mengatasi serangan akut, obat golongan beta-agonist misalnya salbutamol menjadi obat lini pertama yang bekerja sebagai bronkodilator (merelaksasi bronkus). Obat golongan ini pun sudah banyak tersedia dalam bentuk inhalasi sehingga bekerja lebih efektif dalam mengatasi serangan akut. Pada keadaan darurat dimana pasien mengalami kesulitan bernapas yang parah digunakan metode pemberian obat secara nebulisasi. Nebulisasi merupakan metode semacam pengasapan obat yang diberikan pada pasien sehingga obat dapat masuk ke saluran nafas dalam kondisi sulit bernafas sekalipun. Sayangnya tidak semua sarana kesehatan memiliki alat nebulizer karena relatif mahal. Di samping penggunaan short acting, ada juga obat golongan beta-agonist yang bekerja long acting, misalnya salmeterol atau formeterol, yang memiliki onset dan durasi efek yang lebih panjang dibanding salbutamol. Biasanya untuk terapi pencegahan kambuhnya asma. Efek samping golongan beta-agonist cukup beragam seperti: tremor/gemetar pada tangan, sakit kepala, hipokalemia (kekurangan kalium), dan takikardi (percepatan denyut jantung). Namun efek samping tersebut tidak selalu terjadi tiap kali penggunaan obat. Muncul atau tidaknya efek samping tergantung kondisi klinis masing-masing individu. Apabila obat beta-agonist digunakan dalam jangka panjang dan secara berlebihan dapat menurunkan efektivitasnya. Hal ini disebabkan karena terjadinya desensitisasi reseptor obat, sehingga reseptor menjadi kurang peka. Karenanya perlu dosis yang lebih besar untuk memperoleh efek yang sama. Untuk itu dokter akan mempertimbangkan dosis yang paling tepat untuk pasien sesuai dengan keadaan klinisnya.
 Terapi obat beta-agonist terkadang dikombinasikan dengan obat golongan antikolinergik untuk mencapai efek yang lebih baik. Sama dengan beta agonis, obat golongan antikolinergik misalnya ipratropium bromida bekerja dengan merelaksasi bronkus. Umumnya digunakan untuk mengatasi serangan akut. Efek samping yang timbul antara lain: mulut kering, mengantuk, dan gangguan penglihatan. Terutama pada penggunaan inhalasi dimana pasien melakukan teknik penyemprotan yang kurang tepat. Dalam beberapa saat mata dapat menjadi kabur. Zullies menyarankan agar pasien mengetahui teknik penggunaan inhalasi yang tepat misalnya dengan bertanya pada dokter atau apoteker. Satu lagi obat yang akrab dalam terapi asma, yaitu teofilin. Teofilin tergolong obat ’tua’ dalam arti sudah digunakan untuk terapi sejak lama. Teofilin memiliki jarak dosis terapi dan dosis toksik yang sempit. Hal ini dapat membahayakan jika pasien mengkonsumsi dosis yang berlebihan. Gejala keracunan teofilin antara lain: insomnia, sakit kepala, mual, dan takikardi. Oleh sebab itu saat ini teofilin sudah banyak ditinggalkan dalam terapi asma. Namun kadang-kadang masih tetap dipakai misalnya pada keadaan darurat, teofilin diberikan dengan menyuntikkan dalam bentuk aminofilin. Pemakaian teofilin ini dipertimbangkan karena harganya yang ekonomis. Teofilin pun masih terdapat sebagai salah satu bahan aktif obat asma yang dijual bebas. Setelah mengulas berbagai jenis obat asma, Zullies menyimpulkan bahwa obat-obat asma tersebut cukup aman. “Saya sarankan untuk penggunaan inhalasi, karena efeknya lebih cepat, sesuai sasaran karena langsung ke saluran nafas, efek sampingnya pun minimal jika dibandingkan penggunaan oral sehingga cukup aman. Dan teknik penggunaan inhalasi yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan terapi.”,
11.    Diagnosa yang mungkin muncul pada kasus
a.       Gangguan pertukaran gas b/d spasme bronkus
b.      Tak efektif bersihan jaln napas b/d sesak nafas
c.       Perubahan pola nafas b/d meningkatnya usaha dan frekuensi pernapasan
d.      Kerusakan integritas kulit b/d stress
e.       Penurunan curah jantung b/d gagal jantung
f.        Intoleransi aktifitas b/d melemahnya tubuh
12.    Cara kerja obat pada pasien asma
Misalnya Ephedrine HCl bekerja mempengaruhi sistem saraf adrenergik secara langsung dan tidak langsung. Theophylline merupakan turunan metilxantin yang mempunyai efek antara lain merangsang susunan saraf pusat dan melemaskan otot polos, terutama bronkus. Keduanya merupakan bronkodilator, yang bekerja meringankan sesak napas.
Dalam manajemen asma, pemakaian theophylline digunakan pada pencegahan serangan maupun untuk pengobatan serangan asma (Tierney, et al. 1998; USPDI, 2000). Sampai sekarang theophylline masih merupakan pilihan yang direkomendasikan, meskipun banyak dijumpai efek samping. Keunggulan pemakaian teofilin terutama karena efek samping toksiknya sudah dikenali, sehingga bisa segera diantisipasi para dokter, di samping kemanfaatan kliniknya sebagai bronkodilator yang memuaskan. Theophylline dapat menimbulkan gejala efek samping berupa gangguan gastrointestinal, takikardi, palpitasi, aritmia, nyeri kepala, gangguan konsentrasi, insomnia, dan kejang (USPDl, 2000; BNF, 1998). Telah luas diketahui bahwa gejala efek samping ini berkaitan dengan kadar theophylline dalam darah. Rentang terapi optimum theophylline berkisar antara 5 – 15 mikro gram per ml (USPDI, 2000).
13.    Kandungan obat semprot
a.       Anti Inflamasi Golongan Steroid:
Obat inhalasi ( MDI, Nebulisasi ), kandungannyan antara lain: Budesonide, Beclomethasone dipropionate, Fluticasone, Flunisolide, dll. Serta
b.      Bronkodilator (melonggarkan saluran pernafasan):
Obat inhalasi (MDI, DPI, nebulisasi), antara lain: Salbutamol MDI, Fenoterol, Formoterol, Salmeterol, kombinasi Formoterol dan budesonide, kombinasi Salmeterol dan fluticasone, dll.
14.    Dampak penyakit asma ke sistem yang lainnya.
a.       Pada sistem integumen
Kulit akan menjadi keriput karena kekurangan kadar oksigen dalam darah sehingga menurunkan hormon elastin dan kolagen sehingga kulit menjadi keriput.
b.      Kardiovaskuler
Akan mengakibatkan gagal jantung disebabkan karena adanya curah jantung yag menurun.
c.       Pencernaan
BAB menjadi tidak normal karena sistem metabolisme dalam tubuh mengalami adanya gangguan.
d.      Indera
Gangguan penciuman karena adanya virus yang masuk seperti virus influenza yang akan menyerang pada saluran pernapasan sehingga hidung tersumbat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar